Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Mengenai Fatsar, tidak banyak yang diketahui tentang si pendek ini. Masa lalunya seperti tersegel, tidak bisa dijamah dengan pasti. Yang ada hanya spekulasi atau kabar-kabar dari orang-orang yang tidak jelas hubungannya dengan Fatsar. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah anak orang kaya yang bangkrut. Versi lain juga mengatakan bahwa dia adalah anak orang kaya yang diusir dari rumah karena sikap bengalnya. Ada juga yang mengatakan bahwa dia memang orang kaya yang sengaja mencari pengalaman di luar dengan menjadi seorang pengalana. Kelihatannya, semua pendapat yang ada masih menunjukkan sisi terang dari orang ini. Satu versi kelam menyatakan bahwa Fatsar adalah bekas seorang penyamun. Dia telah memerkosa dan membunuh banyak wanita, atau memotong kelamin pria sebelum dia habisi. Karir bejat itu berakhir ketika dia menjadi buronan kerajaan. Hampir semua pemburu buronan menjadikan dirinya target. Pernah hampir tertangkap, pada akhirnya dia memutuskan pensiun dan tidak pernah menginjakkan kaki di dunia yang kelam itu lagi. Upaya menjadi pengembara, tidak lain, agar dia bisa menghilangkan jejak dari jangkauan para aparatur. Tidak lupa, hal itu juga agar ingatan masyarakat memudar pelahan-lahan. Entah yang mana yang benar, yang jelas masa lalu orang itu diselubungi misteri karena suatu hal.

            "Oh iya, Arka, ceritaku tentang benua barat sempat terpotong tadi bukan? Sampai dimana tadi ya?" Seperti sedang menebus hutangnya yang masih tersangkut beberapa penny, Ganohe berusaha mengingat-ingat kembali batas kata yang dia ucapkan sebelum dia kebelet pergi ke kakus. Malang juga, ternyata Arka pun juga berakal pendek saat itu. Dia juga melupakan sampai mana batas cerita, atau narasi panjang mengenai ekspedisi yang pernah terjadi untuk menjelajahi benua barat itu. "Sayang sekali bukan? Tapi, seingatku cerita itu sempat terpotong ketika kita hendak membicarakan perihal nasib dari para yang menginjakkan kaki di benua itu?" Seperti penggambaran yang awam, sebuah lampu togok bersinar dengan warna kekuningan di dalam dunia imajinasi Arka. Seingatnya, memang sampai tahapan itulah ceritanya sempat terpotong tadi. "Benar Om!! Sampai itu. Apa Om Ganohe bisa menjelaskan lebih lanjut lagi?"

            "Tentu. Tapi, aku tidak mengetahui dimana persisnya aku memotong pembicaraan itu tadi. Tetapi, yang jelas rombongan yang bersikeras ingin menginjakkan kaki di benua barat, mereka semua mengalami nasib dan pesakitan yang luar biasa. Bagaimana hal ini bisa diketahui? Mudah saja. Salah satu dari mereka adalah seorang pengembara yang memang mahir menulis. Dia mencoretkan semua yang terjadi ke dalam beratus lembar kertas yang beruntung terselamatkan."

            Arka segera memotong, "Mengapa Om menyematkan kata 'terselamatkan'? Siapa yang menyelamatkan memangnya?" Ganohe hanya tersenyum kecil. Mungkin udara sejuk ini yang membuat emosinya yang selalu kalem-temper itu mengalami sedikit perubahan. Entah dia menyimak atau tidak pertanyaan Arka barusan. Dia tetap menjawabnya, walau nampaknya hal itu telah diantisipasi oleh Ganohe sendiri. "Lebih tepatnya tulisan itu terselamatkan oleh alam. Tidak ada yang selamat satupun dari para penjelajah itu. Ketika beberapa nelayan mencari ikan di perbatasan antara lautan benua ini dengan benteng kabut yang melindungi benua barat sana, mereka menemukan sebuah catatan tebal yang mengapung. Beruntung sekali! Entah kertas jenis apa yang digunakan oleh pengembara itu, catatan itu kedap air dan hanya mengalami sedikit kerusakan saja. Mirisnya, kerusakan itu disebabkan karena beberapa ketebalan kertas ketumpahan darah seseorang. Orang-orang hanya menyebutkan bahwa kertas yang terkena siraman darah itu, darah tersebut merupakan darah dari si pengembara."

            Arka hanya menggeleng-geleng. Terbayang olehnya, setidaknya ada dua skenario: Andai dia adalah salah satu dari beberapa nelayan tersebut, tentu rasa tertarik dan rasa takut mencampur aduk menjadi satu. Setidaknya ketika melihat darah segar, lengkap dengan bau anyirnya, meresap dengan sempurna ke setiap serat yang menyusun kertas yang bewarna kekuningan. Atau, dia bisa membayangkan dirinya sebagai anggota kawanan yang paling terakhir mati. Entah dia sudah berada di laut, atau bagaimana, hal itu tidak bisa dibayangkan sedikitpun. Rasa ketakutan adalah satu-satunya rasa yang terjumput, bereaksi keras hingga membuntukan kepala yang sudah kaku mengalirkan ide-ide, bahkan rangsangan insting hewani pun tersendat. Melihat, entah makhluk apa yang sedang menyerang dirinya. Merasakan detak jantung yang begitu kencang dan bebunyi sangat keras. Ataupun ketika aliran darahnya merebak ke luar dari jalur yang seharusnya. Kesadaran yang perlahan-lahan memudar, ataupun ketika menyaksikan Sang Kematian menari-nari di sekitar dirinya. Mempermaikan waktu, tertawa sengir kepadamu, menjelaskan bahwa kematian telah menyapa dirimu sebenarnya, hanya saja dia ingin bermain lebih lama.

            "Om Ganohe, apa saja yang terjadi dengan para pengembara itu?" Pertanyaan itu sudah jelas akan ditanyakan oleh Arka. Ganohe menolak untuk langsung menjawab, setidaknya kali ini dia mengutarakan hal itu dengan sopan. Awan hitam yang membumbung tinggi dari arah selatan, seharusnya mereka bergerak lebih cepat sekarang. Tidak ada yang mengetahui pasti posisi bencana itu sekarang. Tidak ada bintang yang memberikan petunjuk. Semuanya terlihat kelam. Pasti, secara alami, langit malam sedang mendung sekarang. Ini terlihat seperti awan yang bertumpuk-tumpuk. Entah mana yang merupakan awan hitam, entah mana yang merupakan awan murni. Tentu tidak ada yang berani berasumsi bahwa awan tersebut telah mengjangkau seluruh daerah TarukoPedang. Bazar yang terjadi di bulan Juli ini adalah suatu berkah yang tidak boleh dicampuradukkan dengan kemungkinan kehancuran yang akan datang. Meski pikiran terburuk itu memang telah terjadi, semua orang seakan-akan mencoba menutup mulut dan mencoba mengelak dari pertanyaan realitas itu. Tidak peduli, apakah mereka seorang kaya atau seorang kere. Yang jelas, jangan sekali-sekali membicarakan daerah selatan!!

            "Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi." Itu adalah sebuah pertanda yang ditunggu-tunggu oleh Arka. Dia begitu senang mendengar hal itu, semua inderanya kembali difokuskan untuk mendengar semua penjelasan yang akan dikeluarkan oleh Ganohe.

            "Tidak banyak yang bisa aku jelaskan sebenarnya. Ya, bukan salahku juga. Aku hanya menyampaikan ulang hal-hal yang pernah aku baca di sebuah pustaka. Aku lupa dimana pustaka itu berada, tetapi di situlah beberapa lembaran dari catatan penting itu disimpan. Nah, ini dia! Yang akan aku ceritakan ini hanya beberapa yang tersedia di sumber bacaan waktu itu. Jadi, bukan salahku andaikata penjelasan ini tidak terlalu menjelaskan perjalanan lengkap salah satu rombongan itu di benua barat sana. Yang jelas, mereka berhasil bertahan hidup selama tujuh puluh lima hari di sana. Entah beberapa lembar itu menjelaskan peristiwa dari rentang waktu kapan, aku tidak mengetahuinya."

            Arka sedikit kesal mendengar kata-kata itu. Bukan karena suatu tindakan kejujuran itu, melainkan ada satu hal lain yang mengusik hatinya begitu keras. Hal ini tidak bisa dia pendam begitu saja, harus diberitahukan untuk tujuan bersama. "Sebenarnya, aku tidak begitu peduli kedalaman dari cerita Om Ganohe. Yang penting, aku mendengar informasi-informasi itu. Itu saja!! Lebih dalam lebih bagus, tetapi aku juga bukan seorang bocah kere naif dan bodoh. Aku sedari awal sudah menyadari, bahwa, kisah Om Ganohe yang kebanyakan berasal dari penuturan pembawa kabar lain dan juga berbagai perkamen atau catatan kuno, ke semua sumber itu memiliki kelemahannya masing-masing. Jadi, jangan terlalu membebankan diri dengan hal-hal itu. Tetaplah menceritakan hal-hal yang perlu diceritakan." Itu adalah sebuah perkataan yang berani! Ganohe hanya terdiam, memandangi Arka dengan perasaan yang sulit untuk ditebak. Lebih dari itu, si tunjang itu juga tidak menerima kenyataan, bahwa dia barusan diceramahi oleh seorang anak kecil. Untung saja dia berkepala dingin. Hal itu, keberatan itu, tidak sempat menjalar menjadi suatu permasalahan besar yang tidak perlu.

            "Baiklah, kejadian besar pertama yang tertulis di dalam catatan itu berkaitan dengan pendaratan mereka ke pesisir benua barat. Tidak ada benarnya antara pantai di sana dengan pantai di tempat ini, hanya saja pasirnya yang berwarna merah dan lebih tajam. Tidak lupa juga disebutkan, bahwa pasir-pasir yang bewarna merah itu seakan-akan sedang mengalami suatu proses perapian. Pesisir itu memiliki suhu yang panas, dan jika berlama-lama di atasnya, selop atau sepatu yang melindungi telapak kaki dan meleleh. Setidaknya ada tujuh orang awak yang tewas karena peristiwa itu. Setidaknya mereka perlu diberikan apresiasi. Mereka tewas karena sibuk hilir mudik membawa barang bawaan. Tidak perlu disesali. Hanya saja tubuh mereka yang mati langsung dipanggang oleh pasir merah itu. Yang selamat hanya bisa menyaksikan kulit mereka meleleh, juga daging mereka yang berasap dan berubah warna perlahan-lahan.

            Hari-hari pertama dilalui oleh kelompok itu dengan penuh kebingungan. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, berusaha masuk lebih dalam, tetapi tidak menemukan satupun sumber air yang bisa digunakan. Rasa putus asa mulai mendera, pasalnya persediaan air semakin menipis. Begitu juga dengan persediaan makanan. Rasa keraguan juga mulai menjadi, tidak lain karena, penampakan alam benua barat yang begitu berbeda daripada benua ini. Hanya ada bebatuan bewarna hitam kelam, sesekali terlihat tumbuhan merangas yang tidak diketahui jenis apa itu. Suhu udara mengalami naik turun secara tiba-tiba. Belum lagi suara-suara, entah itu hewan buas atau apa, yang kerap terdengar ketika malam hari tiba. Bagaimana caranya menentukan malam hari? Bukankah di sana selalu gelap? Sederhana saja, ternyata di tempat itu juga ada bintang. Setidaknya hal itulah yang menjadi acuan bagi kelompok itu."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun