Salah satu dari mereka terlihat tersulut, kaki kanannya yang begitu besar itu membentak tanah. Getarannya terasa, bahkan sempat menggoyangkan meja tempat Ganohe menyandarkan tangan di atasnya. Seperti gajah saja kedua orang ini, pikir Arka.
      "Barusan kami mendengar suara teriakan dari kedai ini. Apa ada masalah dengan penghuni kedai ini? Lalu, siapa sebenarnya dua orang ini, Nenek Nyon? Tamu? Bukankah sudah dimasukkan ke dalam telingamu itu berkali-kali bahwa dilarang menerima tamu; entah itu penduduk daerah ini atau para pengembara, selepas maghrib. Telingamu itu pekak atau bagaimana? Sudah jelas kau melanggar keras aturan ketenangan malam di tempat ini. Dasar kere tidak *******."
      Suatu hinaan yang berlebihan. Terangsang betul Arka dengan semua luapan darah mudanya. Tangan kanannya dengan cepat mengepal dan hampir melayang ke arah pipi prajurit bangsat itu. Untung dia segera sadar, lebih baik nerimo daripada mencari masalahh lebih lebar dengan para petugas keamanan korup itu. Dia tidak ingin kejadian malam ini berubah menjadi skandal yang mematikan, baik baginya ataupun bagi Nenek Nyon.
      "Maaf. Kedua orang ini dua keponakanku yang datang bertamu sehari di tempat ini." Nenek Nyon masih berusaha mengelabui kedua prajurit itu. Keringat dingin justru lebih cepat meluncur dari pori-pori keriput Nenek Nyon, terima kasih kepada upaya pembohongannya. Lebih baik andai kedua, atau salah satu, dari prajurit itu tidak mendekat. Bisa-bisa mereka menyadari kebohongan yang telah diperbuat Nenek Nyon. Di dalam hati, Nenek Nyon berdua sebanyak-banyak, memohon perlindungan kepada mereka berdua. Ah, tidak lupa juga kepada kedua tamunya ini.
      "Keponakan? Mengapa tidak melapor dulu?"
      "Maafkan kami, tuan prajurit. Kami baru pertama kali datang ke tempat ini. Keluarga kami memang sudah lama putus hubungan dengan Nenek Nyon. Kami datang sekedar untuk menjawat kembali tali hubungan keluarga yang terputus. Itu saja." Ganohe juga berperan di dalam sandiwara pelarian ini. Semua kata-kata yang keluar telah dia pikirkan matang-matang. Dia harus memastikan bahwa tidak ada kesan keterpaksaan sedikitpun. Semua hanya demi terhindar dari lilitan hukum yang sangat dia benci.
      "Lalu, masalah teriakan keras yang mengganggu itu?" pertanyaan para prajurit masih berputar-putar di pangkal masalah yang sama. Sudah jelas bahwa mereka sedang menginterogasi semua yang ada.
      "Itu adalah aku." Semua orang terkejut, memandang Arka yang bersandar dengan santai ke kusen pintu. "Tadi aku melihat seekor kecoa berlari ke arahku. Tentu aku terpekik 'kan? Aku pikir dalam keadaan seperti itu siapapun akan melupakan aturan."
      Fatsar semakin pucat. Tindakan vigilant yang dilakukan Arka bisa berdampak buruk bagi bocah itu. Jika dia ditangkap, tentu rasa bersalahnya akan semakin menjadi-jadi.
      "Dasar bodoh!!! Meski pengakuanmu itu benar, itu tetaplah bukan pengecualian. Dasar sialan!!! Kau akan menerima hukumanmu. Minggu depan datanglah ke pusat desa. Semua kejadian ini telah kami catat. Apapun hukumannya, kau harus menerimanya bocah!!!"
      Kedua prajurit itu kemudian pergi. Tanpa berpamitan, dengan cepat-cepat mereka menyusuri jalan setapak yang dihempas angin yang berhembus kencang dari arah belakang. Debu-debu berterbangan dan menyerang kedua prajurit. Arka tidak tinggal diam. Segera dia menutup pintu.