Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Fatsar! Jangan menunda-nunda! Segera berlari ke arah pintu itu lalu buka. Itu bukanlah perbuatan yang sulit. Segera!!!" Ganohe semakin mendesar sejawatnya itu untuk menyahuti para penjaga yang begitu mengamuk di luar. Fatsar sendiri kehabisan akal, dia hanya termenung dalam tanpa jelas pangkal dari pemikirannya saat itu. Satu hal yang bisa dipastikan, ketakutan telah mengambil alih haluan emosinya saat ini. Semacam mekanisme tubuh tersulut. Tubuhnya tiba-tiba menjadi beku dan tidak bisa digerakkan.

            "Ah, sudahlah. Biarkan aku saja yang membuka pintu itu," serobot Arka yang masih belum memahami inti dari suasana mencekam ini.

            "Bodoh!! Jangan melakukan hal itu. Bisa-bisa masalah diperlebar nantinya. Mereka akan menjadikan perkataan polosmu sebagai dalil untuk menjebloskan kita!!!" Akhirnya, setelah beberapa jam berdiam diri di warung kecil Nenek Nyon, Ganohe mulai menampakkan ekspresi lain selain datar, yaitu panik.

            "Tidak apa. Lagipula, aku hanya seorang bocah." Dengan cepat Arka meluncur ke arah pintu. Hampir saja Ganohe kecolongan tidak menyadari presensi kehadiran dari Arka, begitu lembur bocah itu menyelinap dari jangkauan pandangan Ganohe. Pengembara tinggi itu hanya melongo, mencoba mencerna kejadian yang baru saja dia lihat dari bocah itu.

            "Apa yang terjadi?" Nenek Nyon berlari ke arah ruang makan. Wajahnya pucat dengan kucuran keringat dingin yang banyak. Sialan!! Itu lah yang terbesit di dalam pikiran Ganohe. "Ini... maksudku... beberapa penjaga memaksa masuk," Ganohe berusaha mengendalikan dirinya, berharap agar Nenek Nyon tidak tertarik ke dalam pusaran kekacauan ini.

            "Mengapa demikian?"

            "Aku juga tidak memahaminya. Maksudku, Nenek Nyon, mungkin ini imbas dari perbuatan kurang sopan kami beberapa waktu lalu. Kami mohon maaf." Aliran darah dengan cepat mengisi ruang-ruang kosong di sekitaran permukaan kulit wajah Ganohe, menyirah jadinya orang itu. Arah matanya juga tertunduk tajam, seperti seorang yang menekur dalam di dalam doanya yang khusuk. Begitu juga Fatsar, meski tidak diketahui apakah dia menyesal atau terlalu larut dalam ketakutannya?

            Pintu yang terbuat dari kayu itu dibuka perlahan-lahan. Tali yang diikatkan ke salah satu paku di tepi pintu itu, ikatannya dilepas. Beberapa putaran sebelum lapisan-lapisan tali yang saling bergumul itu mulai longgar dan memberikan keluasan kepada pintu kayu. Sebelum dibuka, Arka coba mengintip dari celah pintu yang tidak seberapa besar. Yang terlihat ada dua orang pria bertubuh besar dan kekar. Keduanya berkumis lumayan tebal dengan masing-masing pipi seperti longsor ke arah bawah. Mereka mengenakan zirah besi yang biasa digunakan oleh para pasukan desa. Di tangan mereka juga memegang tombak yang menghuyung ke arah atas. Hanya beberapa saat sebelum kedua prajurit itu menyadari bola mata Arka yang besar sedang menatap mereka tajam.

            "Buka pintunya!!! Untuk apa mengintip dari celah itu?"

            Arka hanya terdiam, tangan yang masih menahan pintu itu dilepaskan. Pintu itu terbuka, bertepatan dengan sebuah sambaran petir dari arah selatan itu, tepatnya di suatu tempat di belakang rumah Arka. Semua mata yang memandang, suatu ilusi yang tercipta dari figur gelap dua prajurit yang berpadu dengan cahaya yang menyilaukan. Bukan sebuah ketakjuban, melainkan kengerian ketika membayangkan masing-masing dari penghuni kedai akan diseret dengan tubuh yang terlucuti dan rantai besi panjang yang mengikat kedua tangan mereka.

            "Ya? Ada apa? Mengapa dua orang prajurit datang bertamu ke tokoku malam-malam begini? Bukan aku lancang, tetapi sop tomat tela habis sedari tadi. Jatah makan kalian baru ada lagi besok. Kembalilah ketika jam buka kami masih ada." Uluran kata yang terucap, semua tidak lebih dari bagian untuk mengulur waktu dengan para prajurit itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun