Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

***

            Tumpahan darah yang menggenangi rerumputan di sekitar daerah perbatasan, itu adalah pemandangan yang memberikan suatu horor yang lain bagi Amin yang masih hanyut di dalam shock-nya. Arto, teman karibnya, telah terlebih dahulu dicium oleh Sang Kematian. Sebuah bolongan terpampang di leher Arto yang sudah berkerut banyak. Semua darah yang dengan setia mengiringi hidupnya selama ini, mereka sudah keluar menjauh dari Arto. Darah itu berharap mendapatkan majikan yang baru, walau itu hanya sekedar mimpi. Sekarang, hanya tinggal Amin yang satu-satu tersisa, seorang prajurit dari desa TarukoPedang yang memberontak.

            "Sialan!!! Mengapa ini semua harus terjadi?? Aku tidak menyangka  kalau Arto yang begitu lihat menggunakan pedang akan dikalahkan oleh si pengkhianat Palp!! Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?" Sia-sia Amin berkata-kata demikian, dia hanya bersimpuh dengan tubuh lemas. Sedangkan Palp menatap ke arah prajurit putus arang itu dengan tatapan yang begitu mengejek. Semua ini sudah jelas, seakan-akan hidup Amin berada di tangan pengkhianat itu sekarang. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan Amin untuk membalikkan keadaan?

            "Bagaimana, orang tua kumisan jelek? Prajurit selemah dirimu tidak memiliki kesempatan apa pun untuk menang dariku, jika kamu bersikeras untuk melawan. Memohon ampunan kepadaku juga adalah sebuah kesia-siaan. Bagaimana? Suatu dilema yang besar bukan?" Nada Palp tertahan di muara mulutnya. Suara yang keluar juga tidak sedap untuk didengar. Beberapa burung yang sempat menari-nari indah di sekitar Palp juga menjauh darinya. Apalagi Amin, orang itu semakin tersulut setelah mendengar kata-kata penuh cemooh dengan nada penuh hinaan itu. Jiwanya terasa begitu terbakar, dunia telah berubah menjadi neraka dalam waktu singkat. Dia hanya teringat satu hal, pedang yang telah lama menemaninya masih terkunci rapi di dalam sarung kulitnya yang telah lusuh karena usia. Dengan cekatan tangan kanannya meraih gagang pedang itu, menariknya keluar kemudian menghadang ke arah Palp yang masih tersenyum sumringah.

            "Jadi, ini jawabanmu Amin?" tangan Palp kembali meraih belati yang tersimpan di saku celananya itu. Suatu tindakan yang sembrono sebenarnya. "Ya. Satu-satunya yang aku inginkan adalah kematian untukmu, Palp si pengkhianat!!!" Palp itu hanya tersenyum. Dilihatnya Amin yang ngos-ngosan berlari ke arahnya dengan mata yang penuh keraguan, ketakutan dan kecemasan. Semua keberanian ini hanyala kebohongan belaka. Sebentar dia menatap ke arah langit biru yang luas. Terbesit di dalam pikirannya, apa yang terlihat oleh Arto ketika dia membolongi lehernya tadi? Suara derap kaki Amin semakin berat, mendekat dengan kecepatan penuh tanpa ada yang bisa menghentikannya. Palp hanya memandangi dengan tenang, "Baiklah." Pemuda itu meloncat ke depan, sesekali melakukan gerak zig-zag untuk membingungkan Amin. Sebelum belati yang dipegangnya berusaha menembus pertahanan Amin untuk menjangkau jantung orang itu.

***

            "Sejauh yang pernah aku baca, bocah Arka, di dunia ini terdapat tiga buah benua. Yang pertama benua Vrijland ini, kemudian sebuah benua yang berada di utara dan satu lagi sebuah benua yang berada di barat. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa benua ini pada awalnya tidak berpenghuni, suatu daratan luas yang hanya dihuni oleh kumpulan hewan liar yang sangat sulit dijinakkan. Keberadaan tapak kaki manusia di atas benua ini, menurut catatan yang aku baca, dapat ditilik ulang sejauh tujuh ratus ribu tahun yang lalu. Dan tentu, seperti yang saya jelaskan sedari awal, keberadaan pertama manusia di atas tanah benua ini adalah para budak. Mereka adalah sekelompok manusia yang awalnya hidup di benua utara, sebelum akhirnya para penjajah yang berasal dari benua barat datang menculik mereka dan membawa mereka ke tempat ini."

            Suasana di luar kedai semakin ribut karena suara hempasan angin yang melabrak apapun yang ada di hadapannya. Udara dingin juga semakin terasa, mereka merangkap masuk dari celah sekecil apapun yang berada di kedai ini. Sesekali terdengar suara rintihan tikus-tikus got yang bersarang di atas langit-langit kedai Nenek Nyon. Begitu memilukan mendengar suara mereka itu, sepertinya mereka begitu susah menghadapi serangan dingin di atas. Juga, terdengar sesekali suara orang-orang yang begitu ribut di luar. Mereka pasti beberapa petani atau pengembala ternak yang pulang terlambat ke desa. Mereka hanya bisa mengeluarkan kata-kata serapah yang mengutuk keberadaan hawa dingin ini. Arka menutup telinganya cepat-cepat, berharap agar tidak mendengar sedikitpun kata-kata mereka. Kalau tidak, dia bisa mengingat kata-kata umpatan itu dan menggunakannya juga di lain waktu.

            "Om Fatsar, mengapa dengan mudahnya para penjajah itu bisa menculik beberapa manusia yang berasal dari benua utara itu? Apa di sana manusianya juga lemah?" Nenek Nyon mengelus-elus kepala cucunya itu. Dia bangga bisa memiliki seorang cucu yang cerdas meski hanya berasal dari golongan kere. Fatsar mulai menunjukkan tanda-tanda kewalahan menghadapi gempuran pertanyaan dari anak kecil ini. Sebelum akhirnya, "Nah, untuk menjawab pertanyaanmu itu, aku percayakan kepada Om Ganohe untuk menjawabnya." Suatu upaya pendelegasian!! Sontak, Ganohe terperajat tidak percaya dengan keputusan yang dia anggap diambil sepihak oleh Fatsar itu.

            "Mengapa aku?" Ganohe memberontak.

            "Maafkan aku. Tetapi, aku sedikit kelelahan. Setidaknya, berikan aku ruang sedikit untuk beristirahat," Fatsar mengucapkan itu sembari menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun