Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Arka, mungkin saja pengembara ini ingin segera beristirahat. Lebih baik kita lepas saja mereka kembali ke penginapan desa. Bukan begitu saudara sekalian?" Pertanyaan Nenek Nyon itu, bagaimana pun juga, terasa begitu sulit untuk dijawab baik oleh Fatsar ataupun Ganohe.

            "Tidak sepenuhnya begitu, errrgh, Nenek Nyon. Bagaimanapun kami belum memesan tempat di penginapan manapun. Kami khawatir, bagaimanapun juga, andai kami luntang-lanting menghadapi angin yang menusuk ini. Terlebih, beberapa hari ini kabarnya desa ditutupi oleh gumulan awan hitam yang datang dari arah selatan, di belakang kedai ini." Fatsar menjelaskan dengan singkat. Sebisa mungkin dia menghindari perkataan yang bertele-tele, lagipula matanya masih berat menggantung.

            "Benar Nenek Nyon. Kami pikir, kami akan tidur di pelataran jalan malam ini."

            Timpalan Ganohe itu membuat Arka menjadi sedih. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa benar mereka akan menggembel itu selama semalaman nanti?

            "Hahaha, jangan begitu. Desa ini mungkin tidak seperti apa yang pernah kalian hadapi di daerah-daerah lainnya di Vrijland ini. Semua penginapan yang ada, baik di daerah utara ataupun selatan, buka siang-malam. Ada pembagian kerja yang jelas antara siang dan malam. Keamanan juga tidak perlu disangsikan, para prajurit lebih banyak berjaga di malam hari daripada di siang hari. Terlupa memesan kamar bukanlah awalan dari sebuah neraka. Kalian tetap akan mendapatkan tempat nantinya."

            Kabar dari Nenek Nyon itu terdengar sebagai sebuah kabar gembira bagi kedua pengembara itu. Jika ditilik ulang, rasanya sudah dua kali mereka terselamatkan dari bencana selama menumpang di kedai ini. Pertama ketika Fatsar hampir ditangkap dan diseret oleh para penjaga karena berbuat keributan di kala senja. Yang kedua tentu saja sedang terjadi di depan mata kedua pengembara ini. Bayang-bayang kelam ketika mereka akan tidur di samping anjing kampung yang terselimuti hawa dingin perbukitan, semua itu ternyata tidak perlu terjadi. Setidaknya mereka masih bisa berjalan dengan dagu tegak di daerah pusat turis, mereka masih bisa menego ataupun mencari penginapan yang sesuai dengan anggaran mereka. Ini adalah sebuah keajaiban yang besar!!!

            "Nah, berarti kita masih memiliki cukup waktu untuk melanjutkan pembicaraan kita ini bukan, Om Ganohe?" Arka tiba-tiba menyelinap ke dalam perbincangan tentang kasur. Ganohe menatap dingin, hanya bisa mengucapkan, "Tentu saja."

            "Pertanyaanku sederhana saja: Apa Om Ganohe mengetahui sesuatu tentang benua asal penjajah? Atau benua barat kalau tidak salah. Apa Om tahu sesuatu tentang tempat itu?"

            Ganohe menarik nafas dalam. Dia merasakan bahwa konsentrasi oksigen di otaknya sedang menipis. Harus diisi ulang dulu supaya tidak terjadi kekacauan ketika dia berusaha mengulang semua ingatannya tentang pertanyaan bocah ini. Terlihat pintar di hadapannya bagaikan menjadi suatu standar tersendiri. Walau hanya ada tiga orang pendengar, dikurangi satu karena alasan yang sudah jelas, tetapi tentu citra adalah sesuatu yang bersifat harga mati. Walau hanya terdapat dua orang yang menanggap dirinya jelek, di antara seribuan yang menyukainya, tetap saja angka 2 itu terkesan kumuh dan mengotori reputasinya saja.

            "Aku mengetahui, tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang aku ketahui tentang benua utara. Yang jelas, benua barat adalah sebuah benua yang sangat misterius. Dikabarkan bahwa hampir setiap saat benua itu tertutup oleh sebuah hijab kabut yang begitu tebal. Pernah dikatakan bahwa sempat terjadi sebuah ekspedisi yang dipelopori oleh seorang kaya-raya di sebuah kota di pesisir barat. Atas perintah darinya, dirancanglah sebuah kapal besar (juga berkat bantuan dari arsitek Tsep-li qashna) yang terbuat dari besi-besi yang dilumatkan dan dibentuk sedemikian rupa. Intinya, berbeda dari kapal-kapal kayu yang tidak begitu tahan menghadapi arus laut barat yang begitu ganas, badai yang datang silih berganti, juga arusnya yang begitu deras dan mematikan. Dikatakan bahwa hampir semua pelaut unggul diangkut ke atas kapal itu, apa yang terjadi selanjutnya menjadikan kota di pesisir barat itu melemah kekuatannya sehingga bisa dikuasai dengan mudah oleh kerajaan pusat. Tapi, tentu itu bukan fokus utama kita bukan?

            Kapal besi itu mengarungi lautan yang belum pernah ditaklukkan itu. Dengan harap-harap cemas, para awak berjuang keras menghadapi kerasnya alam yang berada di hadapan mereka. Angin yang begitu kencang menjadikan mereka seperti debu di atas sisa pembakaran. Di hari-hari pertama, banyak dari awak yang langsung terbang melayang terhembus oleh angin. Yang bertahan berusaha mencari pegangan apa pun untuk bisa selamat. Beruntung sekali!!! Sangat beruntung sekali!!! Kapal itu pada kenyataannya adalah sebuah kapal besi. Jika tidak, kapal yang dibuat dengan modal besar dan sekaligus membawa pemilik modal bersamanya itu sudah terkoyak-koyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun