Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Mayat Amin diangkat oleh hantu itu. Meski dipenuhi oleh luka-luka yang masih mengalirkan sisa-sisa darah merah segar, Geist tetap menikmati bagian ini. Dia selalu ingat ajaran kedua orangtuanya dulu, sebelum pergi lebih baik ucapkan salam perpisahan dulu. Hal itu juga yang akan dia lakukan. "Baiklah, aku akan pergi membawa mayat ini. Silahkan kau menghayal sepenuhnya. Aku tidak peduli."

            Kekuatan pusakanya kembali muncul. Tubuhnya menghilang perlahan-lahan. Dimulai dari kakinya, kemudian menjalar semakin ke atas. Bahkan mayat Amin juga ikut terpengaruh. Dalam waktu tujuh detik, nyaris tidak ada lagi jejak yang nampak dari keberadaan Geist. Entah dia masih berdiri di sana atau sudah berjalan jauh pun, tidak ada yang tahu pasti. Semuanya kembali sepi seperti sedia kala. Palp juga telah bergerak lagi. Dia berjalan perlahan-lahan ke arah bekas rumahnya. Tempat yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sekarang, dia akan datang menghancurkan kampung halamannya itu. Tidak masalah, pikirnya. Yang terpenting dia telah mendapatkan kekuatan yang selama ini dia idamkan. Kehancuran desa itu hanya lah bagian dari balas dendam masa lalu.

            Kawanan burung gagak telah berkumpul di atas langit biru. Mereka bersemarak menghitamkan kebiruan itu. Tatapan tiga puluhan gagak itu kompak menatap ke arah bawah. Hanya ada satu bangkai jadinya. Tidak apa, yang penting itu masih bisa dikonsumsi. Suara gagak-gagak itu, jika disimak lebih dalam, lebih menyerupai suara tawa orang dewasa yang berjumlah tiga puluh orang. Apa yang mereka ejek? Tidak ada yang tahu pasti. Secara serempak mereka menukik ke bawah, dengan akselerasi yang meyakinkan, mereka berbondong-bondong mendatangi bangkai yang telah mengeluarkan aroma menggiurkan itu. Satu persatu dari mereka mendarat. Kemudian berlomba-lomba mencabik-cabik pakaian, kemudian merobek-robek daging bangkai itu. Semuanya merasa begitu bahagia. Perut mereka akan lebih kenyang lagi sekarang. Tidak masalah, mungkin santapan ini tidak begitu alot lagi dagingnya, yang penting masih terasa lezat.

            Palp menyaksikan dari kejauhan. Air liurnya terkumpul secara tiba-tiba. Dia pasti ngiler menyaksikan pemandangan itu. "Aku begitu iri dengan para gagak yang bisa memakan bangkai itu. Sayang sekali, aku hanya bisa membunuh tanpa bisa menyantapnya." Dia berbalik arah. Melanjutkan perjalannya.

***

            Suasana di sekitaran bazar terlihat begitu riuh. Malam yang dingin mencekam ini pun tidak begitu dipedulikan. Orang-orang hanya peduli menyaksikan berbagai atraksi, dagangan ataupun tempat-tempat makan baru. Satu bulan ini dipastikan pengeluaran masing-masing rumah tangga meningkat tajam. Sekurang-kurangnya, mereka akan menghabiskan banyak uang untuk membeli banyak makanan di malam hari itu. Itu juga yang menjadi penyebab dari dua perkara; kegemukan yang tiba-tiba terjadi serta merebaknya para pedagang makanan dadakan selama bulan Juli ini.

            Berbagai macam makanan tersedia, dimulai dari nasi goreng semua varian, mie tiauw semua varian, tepung goreng, ayam goreng, ayam rebus, bebek goreng, bebek rebus dan sebagainya. Para pedangan kebanyakan berasal dari kalangan kere yang menimbrung mencari rizki selama festival bazar berlangsung. Bukan berarti ini adalah semacam justifikasi untuk meremehkan mereka. Orang-orang tetap jago di dalam ranah masak-memasak. Menggunakan berbagai macam bahan dan rempah yang dengan mudahnya bisa mereka cari di hutan. Bisa dikatakan bahwa modal mereka sangat minim. Namun tetap saja satu bulan penuh berkah itu tidak cukup kuat untuk mengangkat derajat kekayaan mereka. Sudah terlalu jauh jurang pembatas antara para kaya murni dengan para kere yang dipaksakan kaya selama satu bulan itu. Hal ini justru menciptakan suatu kasta baru di dalam kalangan kere itu sendiri. Ada kere borjuasi, ada juga kere tulen.

            "Wah, memang luar biasa aura menyenangkan dari festival itu. Dari kejauhan saja sudah nampak dan terasa begitu dekat. Apa saja yang bisa kita dapatkan di sana, Arka?" Fatsar begitu bersemangat. Dirinya bisa menahan semua kedinginan perbukitan ditambah angin mencekam yang berasal dari selatan, semua hanya demi menyaksikan festival. Sudah lama dia tidak menyaksikan pesta rakyat itu. Terakhir kali, seingatnya itu adalah masa lima tahun yang lalu. Di sebuah kota yang bersama Jovial. Selebihnya hanya petualangan membosankan.

            "Tentu saja Om Fatsar. Kita bisa mendapatkan banyak hal di sana, terutama makanan. Orang-orang hanya mengeluarkan banyak uang demi makanan. Selain itu, juga ada berbagai pernak-pernik yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh. Seingatku ada yang menjual ukiran batu seperti kayu, ada juga hasil ukiran marmer, lukisan, hasil olahan tanah liat, seni bunga dan lain sebagainya. Sesekali juga ada para peramu masa depan, para peramal dan juga atraksi sulap yang menyenangkan."

            Ganohe hanya menatap tanah, seperti tidak ada rasa ketertarikan di dalam dirinya. Semua ini telah menjadi bawaan dirinya semenjak tujuh tahun yang lalu. Padahal dahulunya dia adalah seorang periang. Selain itu, dia juga piawai membawakan berbagai lawakan yang jenaka. Setiap kali orang-orang berkumpul di sekitar dirinya, mereka pasti akan lepas gelak-tawanya. Juga, tidak lupa dirinya yang dahulu hanya seorang penebang kayu yang begitu sederhana menjalani hidup. Entah mengapa, semenjak beberapa prajurit kerajaan pusat datang dan mengobrak-abrik kampung tempat dia tinggal, rasa marah dan dendam begitu besar menyeruak dari hatinya. Suatu rasa ingin memenggal atau membunuh orang-orang yang menganggu ketenangan hatinya. Itu adalah awal dari masa-masa yang kelam. Tidak ada lagi Ganohe yang periang, tukang lawak dan seorang penebang kayu yang suka bernyanyi menuju ke hutan rimba. Semua hanya tinggal kenangan belaka.

            "Ngomong-ngomong Arka, apa Nenek Nyon tidak ikut berjualan di bazar itu? Lumayan bukan untuk mencari tambahan pendapatan?" Pertanyaan itu tidak terlalu menarik perhatian Arka. Bagi bocah itu jawabannya sudah cukup jelas, "Tidak terkejar lagi. Maksudnya, Nenek dan aku sudah bekerja keras di siang hari. Kami tidak memiliki tambahan tenaga apa-apa ketika malam tiba. Lagipula, para pedangan makanan di bazar itu rata-rata para pengembala yang tidak terlalu keras kerjanya, juga para ibu rumah tanggan dan perempuan yang di siang hari lebih banyak menghabiskan waktu di rumah." Fatsar hanya mengangguk kecil. Di dalam hati dia bertanya kepada dirinya sendiri, untuk apa menanyakan hal semacam itu? Sedari awal sudah jelas jawabannya bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun