Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Tidak ada informasi pasti semenjak kapan pemisahan ini terjadi. Tetapi, dari kabar burung yang pernah ada, dikatakan bahwa hal itu baru terjadi sekitaran lima ribu tahun yang lalu. Mengapa aku mengatakan "baru"? Tentu, jika perkara ini dibandingkan dengan rekam sejarah TarukoPedang yang dikatakan sudah ada semenjak sembilan puluh tiga ribu tahun yang lalu, hal ini terkesan pelik dan insignifikan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, lima ribu tahun berjalannya pemikiran terkutuk ini, semuanya telah mengubah hal-hal yang tidak pernah dikenal di era yang sama sepuluh ribu tahun yang lalu.

            Dikatakan bahwa pemikiran busuk ini berasal dari ide beberapa saudagar kaya yang pernah melancong ke desa ini waktu itu. Mereka menyaksikan kedekatan antara kalangan berlebih dengan para gelandangan atau para petani yang berkukuh keras di atas lahan-sawah. Bagi para saudagar itu, hal demikian adalah sesuatu yang sangat menjijikkan. Bagi mereka, harus terdapat perbedaan yang jelas antara yang berlebih dengan mereka yang berkekurangan. Itu adalah hal yang mutlak, hukum alam!!! Tidak diperkenankan andaikata mereka yang berpakaian bagus dan halus harus bersentuhan secara mesra dengan mereka yang telanjang dada dengan banyak bekas luka di punggung mereka.

            Dikatakan juga, bahwa para saudagar yang suka melancong ke tempat ini dulu adalah sumber uang paling banyak bagi mereka yang berlebihan. Maka jangan heran ketika para berlebih di desa ini waktu itu cepat-cepat memenuhi permintaan mereka. Ada juga kabar burung yang mengatakan bahwa sebenarnya para berlebih sempat menolak mentah-mentah usulan yang mereka anggap "biadab" ini. Akan tetapi, para saudagar dari negeri asing itu tidak kehilangan akalnya. Mereka mengancam bahwa andaikata perlakuan "keseteraan" itu masih berlaku, maka mereka akan enggan untuk singgah kembali hingga tuntutan mereka dikabulkan. Suatu pilihan yang sulit bukan? Maka, itulah awal dari kastanisasi dari tempat ini."

            Pembicaraan Nenek Nyon terpotong sebentar. Pintu yang cukup lama tertutup itu, sekarang telah dibuka dari seseorang yang berada di baliknya. Ganohe telah terpuaskan, semua hajatannya telah sampai. Dia berjalan dengan tenang, mengarah kepada kursi yang bokongnya telah panas semenjak dia duduki. Terlihat olehnya orang-orang sedang berbicara, sebelum kemudian terhenti ketika dia datang. "Bagaimana? Kakus kedai kami lumayan 'kan?" Nenek Nyon menanyakan hal itu dengan nada jenaka. Entah itu ejekan atau apalah. Ganohe hanya bisa mengangguk, tidak ada komentar apapun. Sesaat kemudian dia kembali duduk, menyaksikan sekitar kemudian mencoba menerka-nerka apa saja yang terjadi selama dia absen tadi. Barulah Nenek Nyon melanjutkan jawabannya.

            "Awalnya terjadi perdebatan, apakah mereka yang berkekurangan itu memang harus diusir sepenuhnya dari desa ini atau haruskah terdapat lokalisasi khusus. Setelah berembuk cukup lama, akhirnya diputuskan bahwa mereka yang berkekurangan akan mengisi lahan yang berada di sebelah selatan desa. Tidak ada yang tahu pasti mengapa demikian. Pendapat paling umum hanya mengatakan bahwa bagian selatan desa lebih dekat kepada pesawahan-perkebunan serta padang rumput yang terdapat di barat daya desa."

            Fatsar mengangguk-angguk, mungkin saja dia memang memahani apa-apa saja yang telah disampaikan oleh Nyon barusan. Sementara Ganohe yang baru datang kembali, setelah menafsirkan sebentar arah pembicaraan, dia langsung mendeduksi bahwa Fatsar menanyakan masalah pembedaan di desa ini. Karena hal itu juga, "Aku mamahami sekarang, bahwa sekarang telah terjadi perubahan posisi. Nah, aku juga memiliki beberapa pertanyaan untuk dijawab berkenaan dengan desa ini. Arka, masalah ceritaku tadi akan dilanjutkan setelah beberapa pertanyaanku bisa dijawab. Kau setuju bukan?" Jika berbicara tentang Arka yang biasanya, seharusnya dia menolak dengan tegas. Akan tetapi, sekarang Arka mulai mengendorkan egoisme nya itu. Seperti mendapatkan ilham baru, dia menyadari bahwa jika dia mau berbaik hati mengikuti arah pembicaraan ini, sudah barang kali tentu, dia akan mendapatkan lebih banyak informasi daripada memaksakan jawaban atas pertanyaannya saja. "Tentu Om Ganohe. Aku menurut."

            "Nenek Nyon, ketika kami sedang mencari informasi mengenai keberadaan desa ini, kami sempat diberitahu oleh seorang pemilik warung tuak di sebuah kota di bagian barat bahwa tempat ini diperintah oleh lima orang yang bergelar Tetua. Aku merasa ini sedikit aneh. Mengapa demikian? Karena kelima Tetua itu kebanyakan didominasi oleh para kere yang telah uzur. Aku juga baru mengetahui bahwa Tetua yang baru diangkat akhir-akhir ini adalah yang pertama berasal dari kalangan kaya semenjak tiga ribu tahun yang lalu. Nah, aku harap Nenek Nyon bisa menjelaskan sedikit tentang hal itu."

            Nenek Nyon tertawa kecil, suatu respon yang cukup membuat terkejut orang-orang lain. "Nah, Nak Ganohe, apa dirimu ingin jawaban yang sedikit atau yang panjang?" Tidak lama berselang, giliran Arka diikuti Fatsar yang tertawa. Mereka memahami apa yang dimaksud Nenek Nyon. Ganohe yang menekur, seperti tidak terjadi apa-apa saja. Tertawaan orang-orang di sekitar tentu membuat dirinya tidak nyaman juga, sehingga akhirnya dia harus menanggapi pertanyaan itu. "Lebih menjelaskan tentu lebih baik, Nenek Nyon."

            "Baiklah kalau begitu." Nenek Nyon kembali menengok ke dalam gelas tehnya yang telah kosong. Palingan hanya terdapat sisa-sisa ampas di dasar gelas. Sesekali masih terlihat uap air yang melayang keluar. Mata Nenek Nyon kembali menatap ke arah Ganohe, barulah dia mulai berbicara.

            "Sebenarnya, jawaban dari pertanyaanmu itu sangat sederhana. Intinya, yang berkuasa sebagai Tetua selama ini berasal dari keturunan yang sama. Para Tetua adalah orang-orang terpilih dari lima keluarga yang dianggap paling beradat di desa ini di era tiga puluh ribu tahun yang lalu. Satu hal yang unik adalah, bahwa meski kelima keluarga itu dipandang sangat tinggi secara adat, tetapi mereka menolak untuk mendapatkan upeti ataupun hidup dengan bermewah-mewahan. Mereka lebih menyukai pekerjaan seperti bertani atau mengembala. Itulah juga yang menjadikan mereka tergolong ke bagian berkekurangan selama kastanisasi awal terjadi.

            Meski mereka harus dikelompokkan ke status yang lebih rendah secara sosial, tetapi pengaruh adat mereka tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh para penduduk setempat. Para berlebih pun juga berpikir demikian. Sehingga, pada akhirnya, mereka tetap menikmati hak mereka untuk menempati kursi pemerintahan tertinggi di desa ini. Bersama-sama, yang lima itu harus memikirkan upaya pemajuan dan penguatan desa dari berbagai ancaman dari pihak luar. Juga tidak lupa mereka tetap harus membudayakan tradisi kuno dan berbagai pengetahuan yang telah banyak mereka tuangkan ke dalam berbagai catatan dan perkamen yang tersimpan rapi di pustaka desa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun