Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Secarik senyuman terpampang di lekukan bibir Arka yang bewarna perpaduan hitam-merah. Dengan geliat yang pas, dia merapikan gaya duduknya yang hampir menyerupai seorang preman pasar. Mungkin gen bawaan yang membawa sifat seorang pembawa kekacauan di pasar tidak bisa dia lawan, tetapi dia mesti bisa mengendalikan geliat memberontak itu.

            "Silahkan dimulai ceritanya, Paman..."

            Tangannya berada di atas kedua paha dengan posisi mengepal.  Kedua kaki juga dirapatkan sehingga hanya ada sedikit celah antara kedua lateral betisnya, itupun karena pengaruh morfologi. Begitu juga dengan tatapannya, masih tajam tetapi tidak lagi meninggalkan kesan membunuh. Sekarang dia telah jinak sepenuhnya.

            "Tidak ada yang terlalu istimewa berkaitan dengan pemerintahan negeri di atas air itu. Memang aku dan Fatsar tidak terlalu lama menetap di sana, kira-kira hanya sekitar satu minggu. Aku tidak bisa mengisahkan dengan baik bagaimana kekuasaan dipertaruhkan di tempat itu. Tapi, sejauh yang aku pahami, tidak ada bedanya pemegang kekuasaan antara tempat itu dengan yang ada di sekitaran benua ini. Jelas sekali, tempat itu dipegang kekuasaannya oleh satu orang yang diberi wahyu oleh langit. Seorang raja!! Mutlak diperintah oleh seorang pria dewasa yang merupakan keturunan dari raja salaf.

            "Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah pasti dari mereka yang telah diberi wahyu. Sumber resmi negeri itu menyebutkan bahwa jumlah raja yang terdata sekitar tujuh puluh tiga. Seperti yang kita ketahui, mereka yang naif itu berkuasa sampai Kematian datang menjemput mereka. Rata-rata usia raja Tsep-li qashna sekitaran sembilan puluh lima tahun. Jika sumber yang resmi ini kita jadikan rujukan, maka sudah terlewati masa selama tujuh ribu lima belas tahun. Tapi tentu, ini hanya rekam sejarah yang bisa dijawat. Beberapa sumber mengatakan bahwa negara itu sudah ada semenjak lima puluh tibu tahun yang lalu. Entah memang sudah menganut sistem kerajaan atau tidak, kita tidak bisa memastikan lebih lanjut."

            Sebuah cincin yang bermata batu hias bewarna hijau-biru melekat dengan erat di jari tengah-kiri Ganohe. Sedari awal dia bercerita, cincin itu selalu dielus-elus manja dan diputar-putar di sekitaran lingkar jari yang begitu besar itu. Kedua tangan Ganohe kasar dan keras, kulitnya seperti mempunyai lapisan bertumpuk-tumpuk yang telah mengeras menjadi seperti kuku. Kuku aslinya juga terlihat begitu putih, juga panjang-panjang seperti hiasan jemari para bangsawan di kerajaan pusat. Begitu juga, beberapa bagian di tangan kirinya memiliki bekas luka irisan yang telah lama. Kulit putih yang terbakar matahari, orang ini lebih terlihat seperti gelandangan dari kalangan kaya yang sering hilir mudik di sekitaran tahun baru; sering mengaku berasal dari ibukota benua yang jauh berada di tengah benua.

            "Ini adalah suatu pertanyaan yang tidak terlalu signifikan. Kami juga tidak terlalu memikirkan masalah bentuk pemerintahan dari negeri-negeri yang kami singgahi. Memang, aku harus mengakui secara pribadi bahwa memahami perbandingan antar negeri menjadikan kami seperti almari informasi berjalan. Syukurlah, tidak terlalu banyak pihak yang mempedulikan kami. Setidaknya kami masih bisa berjalan-jalan dengan bebas dan tanpa beban. Begitulah, kota Tsep-li qashna adalah sebuah kota unik yang memiliki pemerintahan marjinal."

            Arka mendengarkan dengan seksama. Api dari sebuah lilin yang menyala sedari tadi meredup dengan cepat. Begitu juga, pencahayaan ruangan yang lumayan kekuningan, sekarang mulai tertelan lagi ke dalam kegelapan yang membutakan. Nenek Nyon buru-buru mencari lilin yang penting itu di ruang belakang. Hanya tinggal Arka, Fatsar dan Ganohe yang berdiam di ruang makan itu. Mulut mereka tertutup rapat, tidak ada lagi perkataan yang penting dimuntahkan. Setidaknya untuk saat ini.

            "Ah, sayang sekali. Padahal aku berpikir ada bentuk negeri lain di luar sana. Ternyata, memang hanya ada raja-raja yang berkuasa di atas singgasana mereka masing-masing. Setidaknya masih banyak hal penting disyukuri di desa sempit ini. Ada lima orang atuk-atuk yang memegang kekuasaan dan kepentingan desa ini. Ah, ternyata tempat sempit yang diapit sama perbukitan ini tidak begitu buruk juga." Bayang-bayang ide yang mengawang di dalam pikiran Arka bergejolak mencari berbagai pertanyaan-pertanyaan baru yang harus ditanyakan. Sekali lagi, ini adalah momen langka ketika para pengembara bisa singgah berlama-lama di tempat ini. Arka yakin betul, di luar cuaca tidak begitu baik. Dari selatan masih terlihat bumbungan awan yang begitu hitam, setengah langit seperti ditelan ke dalam perut awan itu. Belum lagi angin yang bergerak kencang sesekali. Keadaan itu bukanlah kondisi yang tepat untuk menjejali suasana desa di malam hari, apalagi di bagian utara. Lentera-lentera yang bersinar warna-warni, entah bagaimana caranya mereka melakukan hal itu. Belum lagi berbagai hiburan, terutama para lakon lawak yang sering memperagakan adegan lucu di sekitaran taman bunga daerah itu. Tidak lupa, juga beberapa ahli silap mata dengan kemampuan menipunya yang begitu hebat. Sungguh terbalik dari keadaan tempat ini.

            "Hmm, tiba-tiba kita semua diam-diaman seperti ini," tutur Fatsar mencoba membuka celah baru pembicaraan, "Apa memang tidak ada lagi yang perlu dibicarakan? Masa? Aku yakin, masih banyak yang menggantung di dalam tempurung ini. Perlu diakui, hanya kita saja yang terlalu malu untuk membukanya. Tapi, itu adalah tanggapan yang baik sekali, bagaimana kalau memang tidak ada lagi niatan di antara kita bertiga untuk berbicara lagi?" Tidak ada reaksi, semua orang masih terdiam di dalam renungannya masing-masing.

            Arka berusaha mengerluarkan kata-kata yang dikatakan "menggantung" oleh Fatsar itu. Banyak yang ingin ditanyakan oleh Arka. Aneh saja, ketika hendak mengeluarkan satu huruf, semua ide itu seakan tertarik lagi ke dalam brankas ide yang kodenya begitu rumit itu. Lidah yang tidak bertulang itu, ungkapan yang akrab terdengar itu terasa banyak bohongnya. Padahal, di saat-saat seperti ini, seringkali persepsi mengatakan bahwa lidah itu seutuhnya adalah tulang; kaku dan immobilitas. Kesempatan sedang bersinar dengan terangnya, mengapa harus Arka melepaskan kejadian ini dengan begitu mudahnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun