Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Tidak seperti itu. Juga, bukan anjing liar dalam artian sebenarnya. Aku hanya mencoba menjelaskan sesuai dengan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang. Yang menyerang para manusia itu adalah penduduk asli dari benua barat. Semacam makhluk yang belum pernah ditemukan ataupun diketahui sebelumnya oleh manusia yang hidup di masa sekarang. Mungkin saja golongan yang mengacak-acak gerombolan itu adalah keturunan dari mereka yang pernah menjajah benua ini ratusan ribu tahun yang lalu. Pasalnya, mereka tidak terkesan barbar, apalagi bertindak hanya menggunakan insting seperti hewan liar. Mereka adalah makhluk berakal tinggi, sama halnya dengan kita. Mereka menyerang gerombolan itu, mereka menyerang dari balik kegelapan, sehingga sangat sulit untuk dihadapi oleh beberapa petarung yang ada di rombongan itu. Semua harapan untuk bertahan hidup memudar dengan cepat. Yang tersisa hanya upaya untuk menyelamatkan diri. Pontang-panting mereka berlarian menuju pantai. Beberapa terjadi di tengah jalan dan segera menjadi santapan bagi makhluk-makhluk aneh itu. Sang saudagar adalah yang pertama diterkam, tubuh gendutnya tidak cocok untuk dibawa berlari kencang. Begitu menyedihkan, tubuhnya dikoyak-koyak dan disantap dengan lahap oleh makhluk-makhluk itu."

             Saraf Arka dipaksa aktif secara bersamaan. Hal itu menciptakan sensasi gemetar yang menjalar ke seluruh tubuh. Alasannya sudah jelas, untuk seseorang yang cukup imajinatif seperti Arka, dia langsung membayangkan peristiwa pemangsaan itu. Semuanya terbayang dengan sangat jelas di dalam ruang yang berada di dalam tempurung kepalanya itu. Dia seperti salah satu dari anggota rombongan yang bersikeras menginjakkan kaki di benua barat itu, suatu keputusan yang kelak mereka sesali di alam baka. Terutama setelah menyaksikan si saudagar tua yang gendut disantap secara beramai-ramai oleh sesuatu yang belum pernah mereka kenali sebelumnya. Semua dongeng-dongeng horor, pamali ataupun kisah-kisah yang menakutkan yang diciptakan oleh para orang tua, semuanya terasa seperti sampah jika dibandingkan dengan pengalaman horor nyata satu ini. Apalagi ketika hal itu memang hinggap di dalam pikiran masing-masing dari kawanan yang masih hidup, suatu kesimpulan yang berusaha mereka tolak mati-matian tetapi tidak bisa, ketika mereka menyadari bahwa tidak berapa lama lagi merekalah yang akan mati menjadi santapan bagi makhluk-makhluk aneh itu.

            "Lalu, hmm, Om Ganohe, bagaimana catatan yang membeberkan ini semua bisa lolos dari semua kejadian mengerikan itu?" memang hanya itu pertanyaan yang tersisa. Plot dari kisah itu sudah sangat jelas, kematian adalah klimaks dari premis yang tidak terlalu menguntungkan. Juga, kejadian itu membawa rasa ketakutan tersendiri ketika ingatan kolektif tentang perbudakan masa lalu terkuak. Pantas saja umat manusia sempat berada di posisi yang sangat rendah di dalam waktu yang sangat lama.

            Ganohe menarik nafas panjang, menahannya sebentar sebelum melepaskan sisa pembakaran kembali ke luar. Matanya memandang ke arah kiri-kanan, semak-belukar yang masih terlihat tenang meski sesekali dihempas oleh geruyupan arus angin selatan yang begitu menggila. Suara celakan anjing liar tidak lagi terdengar. Begitu tenang, tidak membawa sedikitpun kesan ketakutan ataupun bahaya. Hanya terdengar suara mereka bertiga, sedari tadi ribut dan mengabaikan ketenangan malam yang hanya berorkestrakan suara jangkrik yang masih melimpah.

            "Sayang, tidak ada penjelasan yang begitu jelas tentang hal itu. Lagipula, sudah jelas bukan, bahwa tidak mungkin si penulis masih sempat mencorat-coret untuk menuangkan semua  kejadian dan pengalaman buruk itu. Satu hal juga, rombongan itu berhasil bertahan selama beberapa hari sebelum nasib buruk menimpa mereka semua. Di masa rehat itulah si penulis sempat mencurahkan beberapa hal penting di masa pelarian mereka. Intinya sama, yaitu ketakutan yang teramat sangat dan rasa keputusasaan yang semakin menjamur di dalam diri masing-masing anggota rombongan. Hanya terdengar suara tangisan, teriakan dan sumpah serapah yang tiada habisnya. Beberapa anggota rombongan tewas selama pelarian itu, hanya karena jiwa mereka yang sudah tersegel rapat di dalam jurang kesedihan. Suatu hal yang tidak terlalu bagus."

            Dengan tatapan tertunduk, Arka tetap melangkah ke depan. Sekarang dia bersama dua pengembara itu telah memasuki kawasan kumuh. Tidak ada orang yang terlihat. Ya, wajar saja karena faktor bulan Juli. Kalaupun memang masih ada beberapa kere di tempat ini, palingan mereka mengunci diri di dalam rumah atau telah tertidur pulas di atas ranjang. Sekarang, hanya tinggal tujuh ratus meter lagi sebelum mencapai pasar desa alias lokasi bazar Juli. Suara keriuhan dan aura kehebohan telah terasa bahkan di ujung perumahan kumuh ini. Rasa tertarik dan senang memuncak di pundak masing-masing orang. Membayangkan entah apa yang akan mereka beli atau mereka nikmati nantinya.

            "Ah, sebelum hal itu, aku masih penasaran tentang Bangsawan Pure yang sempat disebutkan oleh Om Fatsar tadi. Mereka itu, apa ya?" Memang benar, Arka tidak memberi kendor sedikitpun terhadap kerahasiaan sebuah informasi. Ya, walaupun kata-kata yang terangkai barusan juga terkesan dipaksakan dan hiperbolik. Fatsar hanya memandangi bocah itu sebentar, kemudian berusaha memusatkan kekuatan otaknya untuk mengingat-ingat informasi tentang Bangsawan Pure itu. Untung saja dia cukup pintar, keluwesan otaknya mempermudah dirinya mengingat semua hal. Dan hanya tinggal menuggu beberapa saat sebelum dia memulai ceritanya kembali.

            "Sebenarnya, aku cukup terkejut ketika kamu menjelaskan tentang sejarah dari desa TarukoPedang ini tadi. Satu hal, bahwa kisah tentang Bangsawan Pure cukup mirip bagian awalnya. Atau, kita bisa mengatakan bahwa antara kisah asal-usul dari TarukoPedang dengan Kisah Bangsawan Pure adalah cerita yang sama. Aku hanya akan membeberkan hal-hal yang belum sempat kamu jabarkan, ataupun memang pernah? Tapi aku lupa. Ya, kita dengar saja kisahnya."

            Arka tertawa ringan. Apa ini sebuah kebetulan? Atau, apakah hal ini pantas dilabeli sebagai keajaiban? Bagaimana bisa? Maksudnya, bagaimana bisa cerita-cerita yang selalu dia dengar ketika masih kecil adalah sebuah kabar yang cukup terkenal di luar TarukoPedang? Padahal di tempat ini sendiri, kisah itu tidak lebih dari sebuah mitos pengantar tidur. Tidak ada satu pihakpun yang menaruh perhatian kepadanya. Benar-benar lucu!

            "Dari apa-apa yang aku ketahui, Bangsawan Pure memang merujuk kepada tujuh orang ksatria yang memiliki kekuatan untuk mengubah alur pemberontakan yang terjadi di benua ini. Uniknya, manusia masa itu menganggap mereka sebagai para dewa yang turun dari langit. Mereka berjumlah tujuh orang dan tidak mengenakan pakaian compang-camping. Kulit mereka lebih cerah dengan rambut ikal sebahu. Mereka juga lebih tinggi daripada manusia yang ada di zaman itu.  Juga, seperti halnya cerita dari desa ini, ketujuh orang itu memiliki masing-masing pedang yang menyimpang semacam kekuatan yang unik yang menjadi harapan untuk mengalahkan bangsa yang tengah menjajah benua ini pada masa itu."

            Arka hanya tersenyum, memang memiliki kemiripan yang teramat sangat kisah yang dibeberkan oleh Fatsar itu. "Apa aku mesti harus melanjutkan mendengarkan Om Fatsar? Kelihatannya, aku sudah mengetahui hal-hal yang mungkin akan kamu ucapkan selanjutnya." Pernyataan yang tidak terlalu disukai oleh tipikal orang seperti Fatsar. Ya, walau bagaimanapun, "Lebih baik tetap didengarkan saja. Setidaknya sebagai pengisi waktu sebelum kita sampai ke tempat bazar." Tidak berniat memulai konfrontasi baru, Arka menyetujui hal itu. Rasa egonya juga dicoba untuk ditekan sedalam-dalamnya. Bisa jadi apa yang akan disampaikan oleh Fatsar selanjutnya murni belum diketahui oleh Arka sebelumnya. Mengapa terlalu bersikeras, mengganggap diri lebih baik daripada seorang pengembara yang jelas-jelas lebih luas memandang dunia daripada dirinya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun