Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Menurut catatan yang masih ada, dikatakan bahwa perlu waktu hampir enam bulan bagi kapal itu hanya untuk menembus penghalang kabut itu. Selepas itu, masih tersisa waktu sembilan hari untuk mengarungi lautan bebas yang tidak memiliki langit. Maksudku, dari apa yang tertulis di dalam catatan kuno itu, tidak ada perbedaan antara langit biru di siang hari dengan langit gelap di malam hari, matahari seperti tidak bertahta di atas lautan itu. Para pelaut yang berada di atas kapal itu menggambarkan bahwa kegelapan telah mengambil alih kuasa cahaya di lautan itu. Nuansa kegelapan malamnya pun juga berbeda. Dari catatan yang sama, dikatakan bahwa tidak sepenuhnya langit di tempat itu bewarna gelap, terkesan seperti hitam dengan sedikit pancaran keunguan di beberapa tempat. Terkadang, yang terlihat hanyalah hamparan cahaya bewarna ungu itu, terlihat begitu aneh dan mengerikan bagi para pelaut yang terbiasa menikmati suasana rasi bintang dengan latar hitam tak berpangkal."

            Suasana kembali menjadi intens, Arka mendengarkan dengan seksama sembari memikirkan dengan teliti hal-hal yang disampaikan oleh Ganohe. Lautan bebas? Tidak, itu adalah hal yang biasa. Langit malam dengan pendaran cahaya ungu? Apa maksudnya itu? Itulah yang ditanyakan oleh Arka kepada Ganohe. "Sayang sekali, tidak ada kepastian tentang hal itu. Bahkan ketika kapal itu berhasil kembali dengan 'selamat' dari benua barat itu, tetap tidak ada informasi mengenai cahaya ungu itu." Hanya itu yang bisa dijawab oleh Ganohe. Arka mengangguk kemudian menyilakan Ganohe kembali melanjutkan ceritanya kembali.

            "Setelah perjuangan menembus lautan yang ganas itu, bahtera besi berhasil memasuki perairan yang lebih dangkal. Para pelaut juga bisa menyaksikan dengan jelas keberadaan pesisir yang tidak begitu jauh dari mereka. Dari salah satu catatan, yang ditulis oleh seorang pelaut dengan inisial D****, dia mengatakan bahwa posisi kapal seribu kaki dari pesisi waktu itu. Pulau---benua -- yang terlihat dari lambung kapal terlihat begitu gelap dan tidak berpenghuni. Tidak ada tanda-tanda peradaban di sana sedikitpun. Yang terlihat hanyalah kegelapan berbentuk gugusan perbukitan dan sebuah gunung yang sangat tinggi dengan sesekali terlihat aliran cahaya bewarna ungu itu merembet naik ke atas langit. Suatu pemandangan ganjil yang lain.

            Bukan hanya itu, bahkan juga perairan yang berada di sekitaran tempat itu bewarna sangat hitam pekat. Hal ini baru disadari oleh anggota ekspedisi itu ketika salah satu dari mereka menengok ke arah bawah. Tidak terlihat ada cahaya sedikitpun; hanya kegelapan yang mengundang ke alam kematian. Begitu sunyi, bahkan mampu membawa jiwa masing-masing dari nahkoda kapal pergi ke alam kegilaan. Dan itu berhasil!!! Beberapa pelaut mengalami kegilaan tidak lama setelah kapal memasuki perairan aneh itu. Beberapa di antara mereka berhasil disembuhkan dengan serangkaian acara pengusiran setan yang begitu melelahkan. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka melompat ke arah laut dan tidak pernah terlihat lagi.        

            Berbagai keganjilan yang terjadi, hal ini memaksa kapten kapal untuk memikirkan ulang agar kapal segera kembali sebelum mencapai benua yang dimaksud. Jelas, keputusan ini sangat ditentang oleh si saudagar yang telah banyak menyumbangkan hartanya untuk pembangunan kapal besi itu. Setelah perdebatan dan saling hina yang alot dan cukup lama, akhirnya terpecahlah gerombolan itu ke dalam dua kelompok: mereka yang ingin kembali dan mereka yang tetap ngotot ingin melanjutkan perjalanan ke benua yang ada di hadapan mata. Dikatakan bahwa masih terdapat dua ratus lima penumpang yang masih selamat. Mereka yang memilih untuk pulang, sembari ditertawakan dengan sebutan "pecundang," berjumlah lima puluh tujuh orang; termasuk ahli masak dan beberapa nahkoda yang ahli di dalam bidang navigasi. Kelompok ini tidak memiliki tukang pukul untuk mempertahankan diri. Selebihnya memilih bergabung dengan kelompok yang tetap ingin menginjakkan kaki di benua itu untuk "mengetahuinya." Hanya itu yang terjadi. Tiga bulan kemudian, kapal besi itu berhasil kembali ke kota asalnya dengan selamat, meski kembali harus mengorbankan tiga puluh sembilan awak yang ada; entah itu mati karena bencana selama perjalanan, kecelakaan tidak masuk akal, penyakit, ataupun sengaja dibunuh untuk dijadikan bahan makanan.

            Begitulah kisah dari asal muasal pengetahuan manusia benua ini tentang benua barat sana. Aku tahu, pasti kau akan menanyakan nasib tentang kelompok yang satu lagi bukan? Sebelum aku menjawab itu, izinkan aku pergi ke belakang sebentar. Aku ingin buang air kecil dulu."

            Arka mendesis pertanda kurang menyukai kebetulan ini. Mengapa unggas itu harus mengeluarkan cairan emasnya secepat ini? Memang hari dingin, tetapi apa tidak bisa kegiatan alamiah itu ditunda sebentar? "Mohon maaf Nek, dimana letak kakus kedai ini?" Nenek Nyon tidak menjawab. Dia hanya mengacungkan salah satu jarinya ke sebuah lorong yang terletak di sisi kanannya. Hanya ada satu lorong sempit dengan sebuah pintu di ujungnya, berjarak kira-kira sepuluh meter. Tidak salah lagi, itu pasti kakus yang dimaksud! "Hmm, mohon maaf Nenek, apa kakusnya bersih?" Nenek Nyon memandang dengan sebuah senyuman hangat. "Ah, tidak aku sangka masih ada pengembara yang telah bertahun-tahun jauh dari kenyamanan rumah masih memerhatikan kebersihan. Tentu anak muda. Meski kami ini golongan kere, tetap kami tetap menjaga kebersihan. Mungkin tidak sebersih yang ada di dalam pikiranmu. Meski demikian, aku tetap menjamin bahwa ruangan itu akan membawa kenyamanan tersendiri bagimu ketika berada di dalamnya." Ganohe tidak menyahut, dia cepat-cepat beranjak dari kursi dan segera memercepat langkah kakinya ke arah lorong itu. Pintu yang terbuat dari beberapa papan kayu yang digabungkan itu dibuka dengan sangat terburu-buru, dia masuk kedalam kemudian menutup kembali pintunya. Semua terjadi dengan sangat cepat.

            "Ah, apa Om Ganohe memang seperti itu orangnya?" Fatsar memandang dengan penuh keheranan, "Apa maksudnya Arka?" Arka menyandarkan diri ke punggung kursi itu, kakinya menjulur ke dalam meja dalam sehingga kaki kursi terdorong ke belakang. Apa itu tindakan yang diperbolehkan? "Dia terlihat begitu terburu-buru ketika hendak buang air. Apa itu tidak masalah?" Fatsar hanya bisa tertawa, tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya. Bocah yang ada di hadapannya hanya jengkel menanggapi, mengapa bisa terkesan lucu dirinya itu? "Mengapa mesti tertawa? Ini tidak lucu Om Fatsar. Masalahnya, tempat ini, maksudku di daerah ini tidak ada seorangpun yang menahan hasrat untuk buang air. Sedikit terasa saja, entah di dalam situasi apapun, orang-orang pasti akan mencari kakus untuk melepas hajatnya. Jadi, andai keadaan Om Ganohe itu terlihat oleh orang-orang kampung ini, pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak seperti diri Om juga. Aneh 'kan? Perbedaan kebudayaan ini?"

            Sia-sia saja, Fatsar tetap terbawa bahkan semakin menggila. Untung saja, kali ini suaranya ditahan agar tidak mengganggu ketentraman malam desa lagi. "Hahaha, memang melucu juga kamu Nak Fatsar. Memang kamu lebih berpengalaman daripada cucuku ini, tapi jangan sampai sedemikian juga reaksinya. Biarkan saja semuanya mengalir secara alami. Cucuku ini juga sedang dalam proses. Takutnya dia juga akan meniru sikapmu itu, dia akan tertawa ketika menghadapi orang yang lebih rendah pengalamannya darinya di masa depan nanti." Fatsar perlahan-lahan menurunkan volume tertawanya. Dia memahami perkataan Nenek Nyon itu. Intinya hanya saling menghargai, suatu hal yang sangat mudah dikerjakan, tetapi juga sangat mudah untuk dilanggar.

            Arka memulai pembicaraan panjang ini lagi, "Mengapa tidak Om Fatsar saja yang melanjutkan?"

            "Mengapa terburu-buru begitu? Lebih baik tunggu saja Ganohe kembali. Palingan sebentar lagi dia juga akan datang."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun