Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Eh!? Memang benar itu, Arka muda. Tetapi, maksudku adalah nama dari benua kita ini. Tanah kita secara luas. Bukan nama desa ini." Arka menepuk dahi, apa maksud dari orang ini? Bukannya tanah yang dia pijak ini memang bernama TarukoPedang? Lalu, mengapa tiba-tiba dia mengarahkan kepada nama dari benua ini?

            "Dasar Om, memang seharusnya jawabannya TarukoPedang bukan?"

            "Sudah, jangan nyolot begitu. Jawab saja kalau kamu memang paham," Fatsar sedikit jengkel dengan nada suara yang begitu berat-tinggi-dipendam itu.

            "Ya, ya, ya. Jangan tiba-tiba merasa marah begitu. Nama dari benua ini adalah Vrijland."

            Jawaban yang bagus!! Fatsar bertepuk tangan sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya, "Hebat!! Tidak sia-sia kamu selalu membaca di perpustakaan desa selama ini. Lalu, apa arti dari Vrijland itu?" Arka kembali menunduk sebentar, sesekali dia memegang dagunya dengan tangan kanannya. Seakan-akan sebuah pijar cahaya terlecut di dalam pikirannya, dia segera menjawab dengan sangat percaya diri, "Vrijland memiliki arti Tanah yang Bebas." Kembali, Fatsar seorang bertepuk tangan sendiri.

            "Memang bagus pengetahuan yang telah kamu pahami. Setelah itu, apa kamu mengetahui sejarah dari penamaan benua kita ini?"

            Arka tercengang cukup lama. Sejarah? Apa nama itu juga memiliki sejarah? Bukannya sudah ada semenjak zaman dahulu? Mengapa perlu ada kajian sejarah dalam penamaan benua ini? Semua pertanyaan itu mencambuk neuron-neuron Arka agar berpikir lebih cepat dan lebih cermat. Kepalanya langsung memanas dan pori-pori kepalanya membesar dengan cepat. Keluar dan menetes dengan konstan butiran-butiran keringat yang segera membasahi wajah Arka di tengah kedinginan malam hari ini. Rasanya semua ini sia-sia saja. Toh, sudah lima menit berlalu, Arka belum juga menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Orang-orang yang ada di ruangan juga sudah bosan menunggu. Kalau begini terus, bisa-bisa tamunya pergi karena hari sudah semakin larut.

            "Nenek Nyon!! Apa Nenek mengetahui tentang sejarah penamaan benua ini?" Arka bertanya, sudah jelas tempurung anak itu menyerah. Sayang sekali, Nenek Nyon pun sepertinya enggan membantu. Padahal Arka yakin betul bahwa neneknya ini mengetahui, walaupun sekelumit, tentang sejarah penamaan benua ini. "Maaf, lebih baik tanyakan langsung kepada Om Fatsar ini. Nenek yakin dia mengetahui lebih baik daripada Nenek." Arka kesal sekali. Untuk apa neneknya ini seakan-akan berkomplot dengan orang asing ini? Terlebih setelah dia melihat kedipan mata yang begitu mencurigakan dari neneknya kepada si pendek itu.

            Arka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melayangkan bendera putihnya kepada Fatsar. Sesekali dia berusaha merayu Nenek Nyon lagi, berharap agar Nenek Nyon mengubah aluan pikirannya dan kemudian memberikan, setidaknya, beberapa petunjuk tentang apa yang menjadi dasar dari kata Vrijland itu sendiri. Namun sayang, sekali lagi Nenek Nyon bergeming keras. Akhirnya sudah bisa dipastikan, Arka hanya mengucapkan kata-kata, "Aku tidak tahu apa-apa, Om Fatsar."

            "Hahaha, cukup lama juga bagi kamu untuk mengeluarkan kata-kata itu. Sudahlah, mengenai sejarah dari penamaan benua ini, kita harus mengingat kembali satu kejadian luar biasa yang pernah terjadi di tempat ini, yaitu perbudakan massal yang hampir melanda seluruh manusia yang hidup di seluruh penjuru di benua ini."

            Arka terkejut, kemudian meloncatkan kata-kata, "Apa benar begitu Om? Perbudakan bagaimana? Tahun berapa?" Fatsar mengambil nafas sebentar, kemudian melanjutkan, "Memang pernah terjadi perbudakan besar-besaran di benua ini. Waktunya, tidak ada yang mengetahui dengan pasti. Yang aku ketahui hanyalah sekitaran seratus ribu tahun yang lalu." Mata Arka terbelalak tanda tidak percaya. Seratus ribu tahun? Selama itu kah perjalanan dari peradaban benua ini dimulai? "Apa Om? Seratus ribu tahun yang lalu? Sudah setua itu ya?" Fatsar hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun