Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Lihatlah dirimu, Palp. Tidak biasanya ada lawan yang berhasil melukaimu. Apalagi mereka yang sanggup merobek salah satu nadimu. Apa orang ini sedemikian hebatnya?" Pertanyaan itu seakan terdengar begitu menyaktikan bagi Palp. Pengguna belati itu hanya melihat sebentar ke arah tangan kirinya yang terbuka, darah telah berhenti mengalir berkat entah apa. Hatinya mengomel tajam, menyesali luka yang 'hanya' diberikan seorang lawan yang begitu lemah dan lembek.

            "Ini adalah sebuah kebetulan," jawab Palp.

            "Kebetulan!!?"

            "Ya, kebetulan. Orang itu menggenggam butiran pasir di tangan kanannya tadi. Aku sempat heran mengapa tiba-tiba orang itu mengayuhkan pedang dengan tangan kirinya. Sempat aku terlalu percaya diri dengan menganggap bahwa si Amin ini telah menyerah. Segera aku meloncar ke depan untuk mengincar tenggorokannya. Pada saat itulah dia memanfaatkan kelengahanku, dia melemparkan butiran pasir itu ke wajahku. Aku langsung kelilipan, tidak bisa menyaksikan apa-apa karena mataku begitu perih kemasukan pasir. Itulah momen yang dia manfaatkan untuk menyerangku. Beruntung sekali, jantung yang dia incar ini berhasil aku selamatkan. Aku menahan serangannya dengan tangan kiri ini. Awalnya tidak separah ini lukanya, kemudian dia mengarahkan pedangnya semakin ke arah dalam, menuju lenganku. Aku segera menyerang balik, dan aku sempat mencongkel mata kirinya dengan belati ini. Itulah yang terjadi. Setidaknya karena luka inilah aku bisa mendapatkan mata orang bodoh ini. Semenjak itu dia seperti tidak terkontrol, daya penglihatannya jauh berkurang. Sejak itulah aku berhasil mendaratkan bahwa tusukan ke tubuhnya. Akhirnya, ya, kau bisa lihat sendiri keadaan mayat orang itu."

            Suara cekikikan terdengar jelas. Itulah sifat dari seorang Geist, sesuatu namanya, dia seperti hantu yang berbahagia melihat kematian. Keberadaan makhluk bernyawa seperti semacam gangguan bagi kesehatan mentalnya. Bahkan, jika memang ada kesempatan, dia mencoba membunuh rekannya sendiri. Seperti Papl misalnya. Hantu ini pernah mencoba membunuh Palp sebanyak tiga ratus tiga puluh satu kali. Beruntung sekali, Palp berhasil lolos dan justru hal itu membantunya menyempurnakan kemampuan observasi dirinya.

            Suara gagak berkali-kali melengking di atas udara. Nun jau di atas sana, dua ekor gagak yang melayang sambil saling mengitari itu memanggil-manggil saudara-saudaranya yang lain. Dua tangkapan besar sedang menanti. Yang satu sudah sempat mereka cicipi, sedangkan yang satu lagi masih segar dan begitu menggoda. Hanya manusia saja yang tidak bisa memahami dan mendengarkan dengan jelas suara komunikasi mereka. Dari kejauhan pun sudah terdengar beberapa kali suara saudara gagak yang menyahuti. Kegembiraan terpancar di dalam rona mata mereka yang membulat besar. Dengan secepat tenaga mereka terbang menuju lokasi yang ditentukan. Gagak tidak ada rasa kenyang dan puasnya. Meski baru saja menyelesaikan hidangan bangkai gajah dua hari, tetapi lambung mereka seperti memiliki banyak lubang hitam yang menyerap secara masif tumpukan daging dan lemak itu, semuanya kembali kosong. Setidaknya kali ini mereka akan menyantap sesuatu yang lebih lezat, daging manusia yang suka memakan segala.

            "Jadi," Geist menendang-nendang kecil kepala Amin, "Kita apakan kedua bangkai ini? Beruntung sekali para gagak itu andai kita biarkan mereka menyantap secara Cuma-Cuma kedua bangkai ini." Palp hanya memandang sekilas. Dia merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Itu semacam daun kering yang digulung, kemudian dibakar dan dihisap. Tindakan itu begitu dinikmati oleh Palp. Asap putih yang mengalir lancar dari hidungnya, mengudara ke langit lepas, mereka membawa semua rasa kesal dan marah Palp menuju ketiadaan. Pikiran yang tadinya berkecamuk dan rancu, sekarang menjadi lebih tenang dan rileks. Walau paru-parunya terasa begitu terbakar. "Kita akan membawa salah satu mayat ke desa jelek itu. Tinggalkan saja di pelantaran balai desa mereka. Anggap saja itu sebagai peringatan awal tentang kehancuran mereka yang semakin dekat. Bagaimana??"

            "Kau yakin?" Geist menanggapi kecut penawaran itu. Rasa ketidaksetujuan jelas terpancar dari raut wajahnya yang begitu kusut. "Kita tidak bisa melakukan sesuatu tanpa persetujuan Tuan Farez. Aku tidak ingin mencari gara-gara."

            "Kita tidak mencari gara-gara Geist," Palp langsung memotong pembicaraan. "Tuan Farez, sebelum aku datang menghabisi kedua makhluk ini, telah mengatakan kepadaku untuk memberikan sesuatu sebagai peringatan awal bagi desa itu. Beliau mengatakan bahwa tidak menyenangkan nantinya jika kita memang menyerang secara mendadak. Lebih baik kita biarkan mereka memersiapkan diri, lalu, barulah kita hancurkan berkeping-keping. Itu adalah cara terbaik untuk memuaskan nafsu kita semua. Kita akan hancurkan mereka dan akan bawa kemelaratan yang luar biasa bagi yang berhasil selamat."

            Senyuman getir menempel di wajah Palp. Rasa kebanggaan menjadi bagian dari pasukan hitam telah merasuki dirinya. Ekspresi wajah itu semakin lama semakin tebal. Seperti joker, dia begitu tidak sabaran ingin membasmi semua musuh yang berdiri di hadapannya. Yang terpenting baginya adalah kehancuran dari tempat yang telah membuangnya itu. Tidak masalah, apakah nanti dia harus membunuh keluarganya sendiri, apalagi adik keparatnya itu. Yang paling dia nanti-nanti adalah, bagaimanapun juga, membunuh semua kere yang berdiri di hadapannya. Menanti setiap selokan yang ada di TarukoPedang dipenuhi oleh aliran darah yang segar dan berbau amis. Semua itu telah terbayang dengan sempurna di dalam imajinasi liarnya yang begitu bergelora.

            "Dasar orang-orang sinting. Setidaknya, meskipun aku sangat menikmati kematian orang-orang, aku tidak pernah terlibat di dalam pembantaian yang selalu kalian lakukan. Terutama dalam hal ini, menghancurkan sebuah desa pemberontak yang telah berkali-kali menolak membayar upeti kepada kerajaan. Ini akan menjadi penghancuran total bukan?" Geist menunjukkan wajah bergidik. Seluruh tubuhnya tiba-tiba kecut, ketika terbayang olehnya penyiksaan yang akan terjadi di TarukoPedang. Lebih kecut lagi ketika melihat ekspresi Palp yang begitu mengerikan. Senyuman orang itu begitu lebar, tidak lupa berbentuk seperti huruf U. Matanya juga naik ke atas. Sudah jelas, orang itu sedang kehilangan kesadarannya. Dia hanya menikmati semua ekstasi kekejian yang berada dan menumpuk di dalam otaknya yang telah bermutasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun