Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam tanggal 30 September 1965 menyimpan detik-detik genting sejarah Indonesia yang akan mengguncang negeri selama puluhan tahun. Suasana Jakarta kala itu---tenang di permukaan---menyimpan ketegangan mendalam di balik dinding-dinding markas militer dan rapat-rapat politik rahasia.

Tepat menjelang tengah malam, operasi bersandi Gerakan 30 September (G30S) mulai digulirkan. Satuan militer yang mengklaim diri sebagai bagian dari "Gerakan Dewan Revolusi" bergerak senyap. Tujuh jenderal TNI AD menjadi target. Mereka dianggap sebagai bagian dari "Dewan Jenderal" yang diduga ingin menggulingkan Presiden Sukarno.

30 September 1965 (Malam - Dini Hari)

Pukul 02.00 -- 04.00 WIB, pasukan dari Cakrabirawa dan Batalyon 454/Komando Tjakrabirawa mulai bergerak: Jenderal Ahmad Yani dibunuh di rumahnya setelah menolak diajak "menghadap Presiden". Letjen S. Parman, Mayjen M.T. Haryono, dan Brigjen D.I. Panjaitan juga diculik dan dibunuh di tempat atau dalam perjalanan. Mayjen Suprapto, Mayjen Sisim Marzuki, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo juga menjadi korban penculikan yang berakhir dengan pembunuhan.

Jenazah mereka kemudian dibawa ke Lubang Buaya, sebuah lokasi terpencil di Jakarta Timur, dan dimasukkan ke dalam sumur tua.

1 Oktober 1965 (Pagi - Siang)

Di pagi hari, kelompok G30S menduduki RRI (Radio Republik Indonesia) dan Markas Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD). Mereka menyiarkan deklarasi pendirian Dewan Revolusi, sebuah struktur politik baru yang disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan revolusi rakyat.

Namun, deklarasi ini tidak menyebut keterlibatan PKI secara eksplisit, dan hanya menggunakan nama-nama militer yang sebagian telah tewas. Ini menimbulkan kebingungan publik dan kalangan internal militer sendiri.

Mayor Jenderal Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima KOSTRAD, dengan cepat mengambil alih kendali. Ia mengonsolidasikan kekuatan militer dan memobilisasi pasukan untuk merebut kembali titik-titik strategis Jakarta.

Menjelang sore, KOSTRAD berhasil mengambil alih RRI, dan menyatakan bahwa pemberontakan telah terjadi. Soeharto mengumumkan bahwa ia bertindak atas nama Presiden untuk menumpas gerakan kontra-revolusi.

1 Oktober (Malam)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun