Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Ketika sejarah gagal direkonsiliasi, ia akan hidup dalam bentuk hantu digital yang tak kunjung usai diperdebatkan."

Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dua narasi ekstrem terus berseliweran dan dipelihara di ruang digital Indonesia: ancaman kebangkitan komunisme dan ancaman gerakan khilafah. Dua spektrum ini---kiri dan kanan ideologis---tidak hanya hadir sebagai warisan konflik sejarah, tetapi berkembang menjadi alat mobilisasi politik, pengalihan isu, dan pembingkaian musuh imajiner.

1. Narasi Anti-Komunis: Bayangan Tak Pernah Padam

Sejak reformasi 1998, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti hidup kembali tiap tahun, terutama menjelang peringatan G30S/PKI. Di era Jokowi, narasi ini menguat di medsos dengan bentuk:

Tuduhan terhadap Presiden Jokowi sebagai "keturunan PKI" atau "pro-komunis" tanpa dasar bukti faktual.
Viralitas video-video lama terkait G30S/PKI yang ditarik ke konteks kontemporer.
Disinformasi bahwa ada penyusupan ideologi komunis di lembaga negara, padahal secara hukum ideologi komunisme masih dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/1966.
Yang penting dicatat: meskipun tak ada bukti organisasi PKI bangkit kembali, fobia komunis digunakan untuk membungkam diskusi kritis, termasuk soal HAM, rekonsiliasi, dan hak korban.

2. Narasi Anti-Khilafah: Ketakutan akan Islam Politik Radikal

Seiring dengan meningkatnya ketegangan global pasca-Arab Spring dan ISIS, narasi ancaman khilafah juga menguat di Indonesia:

Diperkuat oleh pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017, dengan dalih membahayakan ideologi Pancasila.
Penyebutan kata "khilafah" langsung diasosiasikan dengan radikalisme, terorisme, dan anti-NKRI, tanpa ruang klarifikasi.
Aktivitas dakwah atau kajian Islam konservatif mudah distigma sebagai bentuk infiltrasi khilafah.
Ironisnya, narasi ini sering kali dibingkai secara simplistis, mengabaikan bahwa banyak kelompok Islam hanya ingin penegakan syariat secara moral pribadi, bukan sistem negara.

3. Siapa yang Diuntungkan?

Di tengah kompleksitas ini, muncul pertanyaan penting: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh narasi dualistik ini?

Jawabannya bisa dilihat dari tiga sisi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun