"Ketika sejarah gagal direkonsiliasi, ia akan hidup dalam bentuk hantu digital yang tak kunjung usai diperdebatkan."
Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dua narasi ekstrem terus berseliweran dan dipelihara di ruang digital Indonesia: ancaman kebangkitan komunisme dan ancaman gerakan khilafah. Dua spektrum ini---kiri dan kanan ideologis---tidak hanya hadir sebagai warisan konflik sejarah, tetapi berkembang menjadi alat mobilisasi politik, pengalihan isu, dan pembingkaian musuh imajiner.
1. Narasi Anti-Komunis: Bayangan Tak Pernah Padam
Sejak reformasi 1998, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti hidup kembali tiap tahun, terutama menjelang peringatan G30S/PKI. Di era Jokowi, narasi ini menguat di medsos dengan bentuk:
Tuduhan terhadap Presiden Jokowi sebagai "keturunan PKI" atau "pro-komunis" tanpa dasar bukti faktual.
Viralitas video-video lama terkait G30S/PKI yang ditarik ke konteks kontemporer.
Disinformasi bahwa ada penyusupan ideologi komunis di lembaga negara, padahal secara hukum ideologi komunisme masih dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/1966.
Yang penting dicatat: meskipun tak ada bukti organisasi PKI bangkit kembali, fobia komunis digunakan untuk membungkam diskusi kritis, termasuk soal HAM, rekonsiliasi, dan hak korban.
2. Narasi Anti-Khilafah: Ketakutan akan Islam Politik Radikal
Seiring dengan meningkatnya ketegangan global pasca-Arab Spring dan ISIS, narasi ancaman khilafah juga menguat di Indonesia:
Diperkuat oleh pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017, dengan dalih membahayakan ideologi Pancasila.
Penyebutan kata "khilafah" langsung diasosiasikan dengan radikalisme, terorisme, dan anti-NKRI, tanpa ruang klarifikasi.
Aktivitas dakwah atau kajian Islam konservatif mudah distigma sebagai bentuk infiltrasi khilafah.
Ironisnya, narasi ini sering kali dibingkai secara simplistis, mengabaikan bahwa banyak kelompok Islam hanya ingin penegakan syariat secara moral pribadi, bukan sistem negara.
3. Siapa yang Diuntungkan?
Di tengah kompleksitas ini, muncul pertanyaan penting: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh narasi dualistik ini?
Jawabannya bisa dilihat dari tiga sisi: