Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak 1966, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto secara sistematis membangun arsitektur ingatan nasional yang sangat selektif, mengarahkan rakyat pada satu versi sejarah: PKI sebagai dalang tunggal, tentara sebagai penyelamat, dan Soeharto sebagai figur mesianik. Upaya ini dilakukan melalui:

Kurikulum pendidikan yang mendoktrinkan narasi tunggal dari SD hingga perguruan tinggi.
Media massa terpusat yang memonopoli suara dan wacana publik.
Indoktrinasi budaya populer, termasuk film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang diputar wajib setiap tahun.
Hasilnya, generasi demi generasi dilatih untuk melihat sejarah bukan sebagai hasil tafsir dan dinamika sosial-politik, melainkan sebagai doktrin absolut yang tak boleh digugat.

2. Ketakutan sebagai Alat Politik

Narasi tunggal bertahan bukan hanya karena propaganda, tapi juga karena rasa takut yang direproduksi. Diskusi soal G30S kerap dikaitkan dengan potensi pelanggaran hukum, stigmatisasi, bahkan kekerasan. Kata "komunis" tak lagi merujuk pada ideologi, melainkan sebagai simbol kejahatan total dan mutlak.

Ketakutan ini berfungsi sebagai alat:

Mengendalikan oposisi politik.
Menjaga stabilitas kekuasaan.
Menutup peluang rekonsiliasi dan kritik struktural.
Dengan kata lain, narasi tunggal adalah benteng dari ketakutan kolektif yang diciptakan dan dipelihara demi kelangsungan kekuasaan tertentu.

3. Ketidaksiapan Masyarakat terhadap Sejarah sebagai Tafsir

Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbiasa memandang sejarah sebagai bidang yang dinamis, penuh interpretasi, dan bukan mutlak. Sebagian besar masih melihat sejarah dengan lensa moral hitam-putih: ada pahlawan, ada pengkhianat---tanpa ruang abu-abu.

Hal ini disebabkan oleh:

Minimnya budaya literasi sejarah yang kritis.
Fetish terhadap 'kebenaran tunggal' dalam budaya otoritarian.
Ketidaksiapan emosional untuk menghadapi versi yang mengguncang kenyamanan psikologis.
4. Siapa yang Diuntungkan dari Narasi Tunggal?

Narasi tunggal tidak netral. Ia menguntungkan aktor-aktor tertentu:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun