Sejak 1966, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto secara sistematis membangun arsitektur ingatan nasional yang sangat selektif, mengarahkan rakyat pada satu versi sejarah: PKI sebagai dalang tunggal, tentara sebagai penyelamat, dan Soeharto sebagai figur mesianik. Upaya ini dilakukan melalui:
Kurikulum pendidikan yang mendoktrinkan narasi tunggal dari SD hingga perguruan tinggi.
Media massa terpusat yang memonopoli suara dan wacana publik.
Indoktrinasi budaya populer, termasuk film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang diputar wajib setiap tahun.
Hasilnya, generasi demi generasi dilatih untuk melihat sejarah bukan sebagai hasil tafsir dan dinamika sosial-politik, melainkan sebagai doktrin absolut yang tak boleh digugat.
2. Ketakutan sebagai Alat Politik
Narasi tunggal bertahan bukan hanya karena propaganda, tapi juga karena rasa takut yang direproduksi. Diskusi soal G30S kerap dikaitkan dengan potensi pelanggaran hukum, stigmatisasi, bahkan kekerasan. Kata "komunis" tak lagi merujuk pada ideologi, melainkan sebagai simbol kejahatan total dan mutlak.
Ketakutan ini berfungsi sebagai alat:
Mengendalikan oposisi politik.
Menjaga stabilitas kekuasaan.
Menutup peluang rekonsiliasi dan kritik struktural.
Dengan kata lain, narasi tunggal adalah benteng dari ketakutan kolektif yang diciptakan dan dipelihara demi kelangsungan kekuasaan tertentu.
3. Ketidaksiapan Masyarakat terhadap Sejarah sebagai Tafsir
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbiasa memandang sejarah sebagai bidang yang dinamis, penuh interpretasi, dan bukan mutlak. Sebagian besar masih melihat sejarah dengan lensa moral hitam-putih: ada pahlawan, ada pengkhianat---tanpa ruang abu-abu.
Hal ini disebabkan oleh:
Minimnya budaya literasi sejarah yang kritis.
Fetish terhadap 'kebenaran tunggal' dalam budaya otoritarian.
Ketidaksiapan emosional untuk menghadapi versi yang mengguncang kenyamanan psikologis.
4. Siapa yang Diuntungkan dari Narasi Tunggal?
Narasi tunggal tidak netral. Ia menguntungkan aktor-aktor tertentu: