Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun, perlu dipahami: Soekarno adalah arsitek Nasakom---persatuan antara nasionalis, agama, dan komunis. Ia sangat mungkin ingin mencegah perang saudara, menjaga keseimbangan kekuasaan yang rapuh. Namun di tengah ketegangan itu, diam menjadi kelemahan.

Pidato-pidatonya setelah peristiwa G30S masih mencoba merangkul semua pihak, tapi arus sejarah bergerak lebih cepat dari retorikanya. Soekarno terjebak dalam panggung sejarah yang ia sendiri ciptakan---dan kehilangan kendali atas naskahnya.

4. Militer: Dari Korban Menjadi Aktor Sentral

Militer, khususnya Angkatan Darat, menjadi sasaran utama G30S. Namun dalam hitungan hari, militer juga berubah menjadi aktor dominan. Di bawah komando Soeharto, institusi ini bergerak dengan satu suara, satu tujuan: membasmi PKI hingga akar-akarnya.

Di sinilah militer bukan hanya responsif, tetapi juga transformasional. Mereka menata ulang peta kekuasaan, menggantikan dominasi politik sipil dengan militeristik, dan memulai bab baru yang kelak dikenal sebagai Orde Baru.

Militer bukan sekadar institusi. Ia menjelma menjadi penafsir tunggal narasi nasional, termasuk tentang siapa benar, siapa salah, dan siapa yang harus dilenyapkan dari ingatan kolektif.

Dalam tragedi G30S, tidak ada tokoh yang benar-benar suci. Aidit, Soeharto, Soekarno, dan militer---semuanya manusia, dengan bayangan ambisi, ketakutan, dan strategi. Mereka adalah pelaku sekaligus korban dari arus sejarah yang kompleks, yang hingga kini masih menyisakan teka-teki dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

C. Narasi Versi Negara vs Versi Alternatif (Historiografi Kritis)

Sejarah, dalam banyak hal, bukan sekadar catatan masa lalu, tapi cermin dari siapa yang memegang pena. Peristiwa G30S 1965 adalah contoh paling dramatis dari bagaimana sejarah bisa menjadi medan tempur narasi. Selama lebih dari tiga dekade, bangsa Indonesia tumbuh dalam satu versi resmi: versi negara yang dibangun, dipelihara, dan dijaga ketat oleh rezim Orde Baru. Namun di balik layar, ada narasi-narasi alternatif yang perlahan menyusup, menantang, dan menggugat legitimasi sejarah dominan itu.

1. Versi Negara: G30S sebagai Pengkhianatan PKI dan Pahlawan Militer

Dalam versi ini, G30S digambarkan sebagai sebuah kudeta berdarah yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia. Film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang wajib ditonton di sekolah-sekolah menjadi alat utama untuk menanamkan imajinasi kolektif tentang kekejaman PKI dan heroisme militer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun