Mempolakan PKI sebagai musuh bersama rakyat dan negara.
Menyanjung militer sebagai penyelamat tanpa cela.
Menghapus ruang tafsir kritis dan menegasikan korban sipil non-PKI.
Bahkan, anak-anak sekolah diajak untuk menonton film propaganda secara berkala, menciptakan trauma visual yang membekas hingga dewasa. Hasilnya, pelajar tidak sekadar belajar sejarah, tapi mewarisi ketakutan ideologis tanpa sempat menimbang bukti atau argumen alternatif.
2. Film: Medium Propaganda yang Efektif dan Emosional
Salah satu instrumen paling ampuh dalam membentuk memori kolektif adalah film "Pengkhianatan G30S/PKI" karya Arifin C. Noer. Film ini:
Menyajikan versi sejarah sebagai drama moral absolut antara baik dan jahat.
Memvisualkan kekejaman PKI secara hiperbolis dan repetitif.
Ditayangkan secara massal di sekolah, kampung, hingga istana negara.
Kekuatan film tidak hanya terletak pada informasi, tetapi pada pengaruh emosi dan ingatan visual yang lebih kuat dari teks buku pelajaran. Bagi jutaan rakyat Indonesia, sejarah G30S tidak dibentuk oleh arsip atau diskusi, tapi oleh adegan-adegan horor yang terus diulang.
3. Politik: Rekayasa Memori demi Legitimasi Kekuasaan
Setiap rezim politik membutuhkan narasi untuk mempertahankan legitimasinya. Orde Baru memanfaatkan tragedi G30S untuk:
Membenarkan pembubaran PKI tanpa proses hukum.
Melegitimasi pembersihan massal terhadap simpatisan kiri.
Mengkonsolidasikan kekuasaan militer di atas institusi sipil.
Mewujudkan Soeharto sebagai figur sentral penyelamat bangsa.
Setelah Reformasi, meskipun sebagian narasi mulai dibuka, warisan politik memori Orde Baru masih kuat. Beberapa elit masih menunggangi isu komunisme untuk menyerang lawan politik, menunda rekonsiliasi, dan menolak pembacaan ulang sejarah.
4. Memori Kolektif sebagai Medan Kontestasi
Memori kolektif bukanlah warisan yang netral. Ia adalah medan kontestasi antara kuasa, identitas, dan trauma. Dalam konteks Indonesia:
Pendidikan masih enggan memberi ruang pada pendekatan multi-perspektif.
Industri film belum banyak mengeksplorasi sisi kemanusiaan korban yang distigmatisasi.
Wacana politik kerap mereproduksi ketakutan masa lalu sebagai alat kontrol.
Akibatnya, narasi resmi tetap mendominasi ruang publik, sementara narasi korban, intelektual kritis, dan sejarah alternatif tersingkir di ruang-ruang pinggiran.
5. Menciptakan Ruang Baru: Pendidikan Kritis, Film Humanis, Politik Emansipatif