Kelompok militer yang membentuk identitasnya sebagai penyelamat bangsa.
Elit politik Orde Baru yang membenarkan kekuasaannya lewat trauma massal.
Kelompok anti-kritik yang menggunakan momok 'komunis' untuk mematikan diskusi publik.
Dengan demikian, sejarah bukan sekadar peristiwa masa lalu, tapi juga alat kekuasaan yang menentukan siapa yang boleh berbicara, siapa yang harus diam, dan siapa yang terus dicurigai.
5. Apakah Narasi Tunggal Masih Relevan di Era Demokrasi?
Ironisnya, meski reformasi telah berlangsung sejak 1998, jejak narasi tunggal itu masih hidup. Buku sejarah sekolah masih menyisakan bias. Diskusi publik masih diwarnai tuduhan dan stigmatisasi. Ruang akademik sering membatasi diskursus dengan dalih "stabilitas nasional".
Namun, gelombang generasi baru yang melek sejarah dan haus perspektif alternatif mulai membongkar benteng itu. Mereka bertanya:
"Apakah kita siap menjadi bangsa dewasa yang berani melihat masa lalu secara utuh, walau menyakitkan?"
6. Jalan Menuju Rekonstruksi Memori Sejarah
Terlepas dari sensitivitas dan risiko konflik, membuka narasi alternatif bukan berarti mengkhianati bangsa, tapi justru:
Menghargai kompleksitas sejarah.
Menghormati korban dari semua sisi.
Menghindari pengulangan luka di masa depan.
Narasi yang sehat bukanlah yang tunggal dan dominan, tapi yang mampu hidup berdampingan dalam perbedaan---tanpa saling meniadakan.
B. Peran Pendidikan, Film, dan Politik dalam Membentuk Memori Kolektif
1. Pendidikan: Instrumen Penanaman Narasi Dominan
Sejak Orde Baru, sistem pendidikan Indonesia dijadikan medium utama untuk mentransmisikan narasi tunggal tentang G30S. Buku-buku sejarah yang digunakan dalam kurikulum dirancang untuk: