Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa narasi kunci dari versi ini:

PKI, di bawah kendali Aidit, menjadi dalang utama.
Gerakan dilakukan secara sistematis, brutal, dan penuh kekejaman (misalnya, cerita mata dicungkil, alat kelamin dipotong---meskipun belakangan dibantah oleh tim forensik RSCM).
Soeharto dan militer menjadi penyelamat bangsa.
Tindakan pembantaian massal diposisikan sebagai "pembersihan untuk menyelamatkan negara".
Narasi ini bukan sekadar wacana. Ia menjadi ideologi negara, masuk ke dalam kurikulum pendidikan, pidato resmi, monumen, hingga pengendalian media. Ia membentuk persepsi kolektif, bahkan mempengaruhi identitas nasional.

2. Narasi Alternatif: Kudeta dalam Kudeta dan Manipulasi Kekuasaan

Sejak reformasi 1998, ruang wacana mulai terbuka. Sejarawan seperti John Roosa (Pretext for Mass Murder), Ben Anderson, dan Rex Mortimer, serta jurnalis investigatif seperti Tempo, menyodorkan gambaran yang jauh lebih kompleks dan ambigu.

Poin-poin utama versi alternatif ini meliputi:

G30S adalah faksi internal militer yang kecewa (khususnya Cakrabirawa dan Kolonel Untung), bukan proyek tunggal PKI.
Aidit dan PKI mungkin tahu, mungkin mendukung sebagian, tetapi tidak seluruh partai terlibat.
Soeharto tahu sebelumnya atau membiarkan situasi memburuk untuk kemudian merebut kekuasaan (teori letting it happen).
Soekarno dipinggirkan secara sistematis setelah G30S sebagai bagian dari rekayasa kekuasaan.
Pembantaian massal dilakukan secara sistematis dengan keterlibatan luar negeri, khususnya CIA dan pihak-pihak Barat yang khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis seperti Tiongkok dan Vietnam.
Versi ini menyoroti politik memori, bagaimana sejarah dipilih, disunting, bahkan dibungkam untuk melayani kekuasaan. Mereka menuntut rekonsiliasi sejarah melalui pembacaan ulang arsip, kesaksian korban, dan keberanian mengakui luka lama.

3. Antara Dua Kutub: Sejarah sebagai Pergulatan Wacana

Historiografi G30S bukan pertarungan hitam-putih, tapi gradasi abu-abu yang dipenuhi rekayasa, ketidaktahuan, trauma, dan kepentingan. Narasi negara memberikan stabilitas dan legitimasi. Narasi alternatif menawarkan kejujuran dan pembebasan.

Di sinilah muncul tantangan moral sekaligus intelektual:
Apakah kita siap menerima bahwa kebenaran sejarah mungkin tidak nyaman?
Apakah bangsa ini cukup dewasa untuk mendamaikan perbedaan tafsir tanpa harus menyalakan kembali api dendam?

Narasi tentang G30S bukan sekadar tentang siapa yang menembak siapa, tapi siapa yang mendefinisikan siapa penjahat dan siapa pahlawan. Dalam masyarakat yang sehat, sejarah tidak dimonopoli. Ia diperdebatkan, dikritisi, dan dibuka untuk disusun ulang. Karena hanya dengan begitu, bangsa ini bisa benar-benar mengambil hikmah dari tragedi, bukan hanya trauma dari propaganda.

D. Imbas Langsung: Pembersihan, Propaganda, dan Pembelahan Bangsa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun