Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sinilah pertanyaan utama tulisan ini lahir:
Apakah G30S 1965 hanya sebuah tragedi sejarah, atau justru menyimpan hikmah yang menyelamatkan Indonesia dari konflik yang lebih besar?
Pertanyaan ini mengandung keberanian untuk menjelajah wilayah abu-abu sejarah. Bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk memahami apakah dalam tragedi itu tersimpan pilihan geopolitik yang---dalam sudut pandang tertentu---menyelamatkan lebih banyak nyawa dan menjaga keutuhan bangsa.

Dengan memosisikan tulisan ini sebagai ruang dialog---bukan penghakiman---penulis mengajak pembaca untuk berani membuka kembali lembar sejarah G30S secara kritis, reflektif, dan jujur. Sebab hanya bangsa yang berani melihat cermin masa lalunya dengan utuh yang bisa melangkah tegak menuju masa depan.

II. Konteks Sejarah dan Ideologi

A. Peta Kekuatan Politik Indonesia Pasca-1950: Nasakom, Militer, Islam, dan PKI

Indonesia pasca-1950 adalah negeri muda yang tengah mencari bentuk dan arah. Kemerdekaan yang diperoleh melalui darah dan diplomasi belum menjamin kestabilan sosial-politik yang mapan. Justru sebaliknya, dekade ini ditandai oleh tarik-menarik ideologi, pertarungan kepentingan, serta upaya menegosiasikan ulang makna "Indonesia" dalam bingkai kekuasaan dan arah pembangunan nasional.

Presiden Soekarno, dengan insting politiknya yang tajam, mencoba menyatukan tiga kekuatan utama dalam apa yang ia sebut sebagai Nasakom---Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Gagasan ini bukan sekadar kompromi ideologis, melainkan strategi bertahan di tengah pusaran ketidakpastian politik global dan fragmentasi domestik. Soekarno melihat bahwa tanpa akomodasi terhadap ketiga poros ini, Indonesia akan terpecah belah. Namun, yang tidak disadari atau mungkin terlalu diremehkan adalah bahwa tiga kekuatan ini---nasionalis sekuler, kelompok Islam politik, dan komunis---bukan sekadar berseberangan dalam ideologi, tetapi juga dalam tujuan akhir bernegara.

Di tengah ketiga poros itu, militer tampil sebagai kekuatan keempat yang tak bisa diabaikan. Meskipun pada awalnya tentara diposisikan sebagai alat negara yang netral secara politik, realitas di lapangan berbeda. Setelah keberhasilan menumpas berbagai pemberontakan daerah (PRRI/Permesta, DI/TII), militer tumbuh sebagai kekuatan politik tersendiri, memiliki kepentingan ekonomi, jaringan intelijen, serta pengaruh dalam pemerintahan. Militer juga mengembangkan doktrin Dwi Fungsi ABRI, yaitu militer sebagai kekuatan pertahanan sekaligus sosial-politik.

Di sisi lain, kelompok Islam juga terus berjuang memperjuangkan visinya terhadap Indonesia. Beberapa fraksi Islam politik seperti Masyumi melihat komunisme sebagai ancaman serius terhadap nilai-nilai agama dan keutuhan moral bangsa. Namun setelah pembubaran Masyumi akibat keterkaitannya dengan pemberontakan PRRI, kekuatan politik Islam menjadi tercerai-berai dan kehilangan pengaruh formal di pusat kekuasaan.

Di antara semuanya, PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah kekuatan yang paling sistematis dalam membangun basis massa. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI tidak hanya tumbuh menjadi partai komunis terbesar di luar blok Soviet dan RRC, tetapi juga berhasil menyusup ke berbagai organisasi massa---buruh, petani, pemuda, wanita, bahkan birokrasi sipil. Dukungan terbuka dari Presiden Soekarno, khususnya pasca pembubaran Konstituante dan penerapan Demokrasi Terpimpin, memberi PKI ruang gerak yang luar biasa.

Namun kekuatan PKI tak hanya berasal dari organisasi, tapi juga dari ideologi. Komunisme menjanjikan revolusi sosial yang radikal---redistribusi tanah, penghapusan feodalisme, dan perlawanan terhadap kapitalisme asing. Bagi rakyat miskin di desa-desa dan buruh perkotaan yang tertindas, janji ini ibarat fajar keadilan. Tapi bagi elite militer, borjuis nasionalis, dan kelompok agama, janji itu adalah ancaman eksistensial.

Maka, Indonesia tahun 1950--1965 ibarat kawah yang terus mendidih. Empat kekuatan besar---Nasionalis, Agamis, Komunis, dan Militer---bukan sekadar berkompetisi, tapi juga saling mencurigai dan menyimpan dendam yang siap meledak. Dalam kerapuhan institusi demokrasi dan kekosongan supremasi hukum, konflik ini akhirnya melahirkan tragedi. Namun sebelum membahas peristiwa G30S itu sendiri, kita harus memahami: bahwa benturan yang terjadi bukan hanya soal ideologi, tetapi tentang siapa yang berhak menentukan arah masa depan Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun