Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

3. Hikmah di Balik Tragedi

Dalam tradisi sufistik, musibah adalah pintu menuju ma'rifah (pengenalan) kepada Allah. Pembelahan bangsa, luka sejarah, dan propaganda pasca-G30S dapat menjadi mi'raj ruhani bagi bangsa Indonesia---asal mampu melihatnya dengan mata batin yang jernih, bukan hanya dengan kebencian atau glorifikasi.

4. Peran Dzikir dan Tazkiyah

Transformasi sejarah tidak cukup dilakukan melalui narasi dan wacana. Bagi para sufi, dzikir (mengingat Allah) dan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) adalah prasyarat agar bangsa mampu menyelami makna terdalam dari sejarahnya sendiri. Barulah rekonsiliasi sejati mungkin terjadi---bukan di atas politik semata, tapi di dasar ruhani bangsa.

5. Allah sebagai Penulis yang Bijaksana

Sebagaimana seorang penyair menulis puisi penuh paradoks, Allah---al-Hakim (Yang Maha Bijaksana)---menulis sejarah umat manusia dengan tinta kebijaksanaan-Nya. G30S mungkin tampak sebagai noda besar, tapi dalam perspektif sufisme, bahkan noda bisa menjadi titik awal lukisan agung keadilan dan kasih sayang-Nya, jika manusia bersedia membaca dengan hati yang bening.

Penutup:
Membaca G30S dari perspektif sufistik bukan berarti menghapus tanggung jawab moral manusia, melainkan menyadarkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi siapa yang mampu menangkap isyarat Allah di balik setiap kejadian. Maka, tragedi ini bisa menjadi jalan menuju taubat nasional, jika kita berani memaknainya bukan dengan kebencian, tetapi dengan kesadaran akan kebesaran-Nya.

Lampiran 2. Nasib Umat Islam Setelah G30S: Diselamatkan, Dibonsai, atau Dipaksa Mengalah untuk Narasi Integrasi Nasional?

Setelah peristiwa G30S 1965, posisi umat Islam Indonesia mengalami transformasi besar: dari kekuatan politik yang aktif dan idealis, menjadi kekuatan sosial-keagamaan yang harus menyesuaikan diri dalam bayang-bayang rezim militer dan narasi integrasi nasional. Pertanyaannya: apakah umat Islam sebenarnya diselamatkan dari ancaman komunisme, dibonsai perannya dalam politik nasional, atau dipaksa beradaptasi dengan narasi yang tak sepenuhnya mengakomodasi identitas dan kepentingannya?

1. Diselamatkan dari Ancaman PKI?

Secara faktual, umat Islam---terutama dari organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan kelompok pesantren---menjadi salah satu target utama PKI sebelum 1965. Berbagai peristiwa kekerasan agraria dan propaganda ideologis di akar rumput menjadikan umat Islam merasa terancam. Dalam konteks ini, G30S menjadi "pembuka kran" pembalasan dan sekaligus "pembelaan" terhadap eksistensi Islam di ruang publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun