Kekhawatiran bangkitnya ideologi ekstrem yang anti-Pancasila.
Kepentingan politik yang merasa rekonsiliasi bisa melemahkan posisi tawar.
Ketidaksiapan masyarakat untuk menghadapi 'kebenaran ganda' sejarah.
Oleh karena itu, pendekatan rekonsiliasi tak bisa dilakukan secara tergesa atau populis. Ia membutuhkan pra-syarat kolektif:
Edukasi kritis di ruang publik dan sekolah.
Ruang kesaksian yang aman bagi semua pihak, baik korban maupun eks pelaku.
Komitmen negara untuk memutus mata rantai kekerasan berbasis ideologi.
4. Bentuk Rekonsiliasi Seperti Apa yang Relevan?
Rekonsiliasi tak harus berarti rehabilitasi total terhadap PKI atau pembukaan luka secara brutal. Rekonsiliasi bisa berarti:
Pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM.
Pembuatan monumen atau museum sejarah yang jujur dan terbuka.
Penghapusan diskriminasi administratif terhadap keluarga korban.
Dialog lintas generasi dan agama yang bersifat healing, bukan politis.
Rekonsiliasi sejati bukan tentang memaafkan secara membabi buta, tapi tentang mengingat dengan hati yang jernih dan menjauh dari dendam maupun dogma.
5. Renungan: Menuju Sejarah yang Dewasa
Apakah rekonsiliasi nasional mutlak perlu?
Tidak ada jawaban tunggal. Tapi satu hal yang pasti:
Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mampu menang, tetapi yang mampu mengakui luka dan berdamai dengan masa lalunya.
Dengan demikian, membuka kembali lembaran G30S secara jujur dan reflektif bukan berarti membuka luka, tapi menjahit sobekan sejarah agar tidak membusuk di masa depan.
VI. Refleksi dan Rekonstruksi Memori Sejarah
A. Mengapa Bangsa Ini Terjebak pada Narasi Tunggal?
1. Warisan Orde Baru dan Arsitektur Ingatan Kolektif