Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tragedi G30S tidak berakhir pada dini hari 1 Oktober 1965. Ia justru baru saja dimulai. Dalam waktu singkat, darah tidak hanya menetes di Lubang Buaya, tetapi membanjir di ladang-ladang, sungai-sungai, dan kampung-kampung dari Jawa hingga Bali, dari Sumatera hingga Sulawesi. Apa yang menyusul setelah kudeta yang gagal itu bukan hanya operasi militer, tetapi rekayasa sosial dan rekonstruksi besar-besaran atas kesadaran kolektif bangsa.

1. Pembersihan Massal: Antara Pembalasan, Ketakutan, dan Sistematisasi Kekerasan

Setelah militer di bawah kendali Soeharto berhasil mengendalikan situasi, muncul seruan "pembersihan" terhadap apa yang disebut sebagai simpatisan dan anggota PKI. Dalam praktiknya, ini bukan hanya eksekusi terhadap elite partai atau pelaku G30S, melainkan:

Guru-guru desa, petani anggota BTI, buruh Lembaga Buruh, anggota Gerwani, bahkan orang-orang yang hanya dicurigai sebagai "kiri".
Perkiraan korban berkisar antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta jiwa, menjadikannya salah satu genosida politik terbesar abad ke-20.
Banyak yang dibunuh tanpa proses hukum, atau dijebloskan ke penjara dan kamp tahanan seperti Pulau Buru selama puluhan tahun tanpa pengadilan.
Yang lebih tragis, pembersihan ini sering kali melibatkan partisipasi sipil---sebuah bentuk "mobilisasi kebencian massal" yang didorong oleh ketakutan, dendam kelas, dan provokasi militer serta kelompok-kelompok keagamaan.

2. Propaganda Orde Baru: Membentuk Ingatan, Menumpulkan Empati

Tak lama setelah pembantaian, Orde Baru menyusun narasi tunggal tentang siapa yang jahat dan siapa yang benar. Melalui film, buku pelajaran, mural, hingga pidato-pidato kenegaraan, PKI dibingkai sebagai:

Monster tak bermoral yang ingin menggulingkan Pancasila.
Musuh bersama bangsa dan agama.
Dalang keji di balik kekacauan politik.
Film "Pengkhianatan G30S/PKI" (1984) bukan hanya tontonan wajib, tapi alat internalisasi rasa takut dan kebencian, terutama di kalangan generasi muda. Anak-anak dipaksa menonton adegan penyiksaan dengan narasi dramatis yang mendalam---membentuk trauma visual nasional yang bertahan lama.

Di balik itu, pembungkaman wacana terjadi massif:

Buku-buku sejarah disaring ketat.
Diskusi akademik dibatasi.
Siapa pun yang mencoba membuka luka lama dituduh "kiri baru".
3. Pembelahan Bangsa: Trauma, Stigma, dan Warisan Kekacauan

G30S bukan hanya tragedi fisik, tetapi juga tragedi psikososial. Puluhan juta keluarga hidup dalam stigma diam, dijauhkan dari akses pekerjaan, pendidikan, dan hak politik. Anak-anak korban dianggap "tidak bersih lingkungan", dan dibayangi trauma kolektif yang tak pernah pulih secara penuh.

Pembelahan ini tidak hanya vertikal (antara negara vs rakyat), tetapi juga horizontal:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun