Rekonsiliasi bukan tentang balas dendam atau membuka luka secara liar. Yang dibutuhkan adalah pengakuan simbolik dan moral atas pelanggaran HAM, disertai pemulihan hak-hak sipil mereka yang menjadi korban stigmatisasi massal pasca-G30S. Sejumlah negara seperti Afrika Selatan dan Jerman menunjukkan bahwa Truth and Reconciliation Commission yang transparan bisa menjadi jalan tengah antara amnesia dan balas dendam.
3. Transformasi Pendidikan dan Kultural
Perlu kurikulum sejarah yang berani membuka banyak perspektif, memberi ruang diskusi yang sehat, bukan indoktrinasi. Film, seni, dan literasi budaya juga harus diberi kebebasan untuk menghidupkan kembali ruang-ruang kontemplasi sejarah. Sejarah seharusnya tidak membuat generasi muda takut, tapi membuat mereka lebih empatik, kritis, dan berani berpikir panjang tentang makna masa lalu bagi masa depan.
Rekonsiliasi sejarah adalah proyek peradaban. Ia menuntut kematangan intelektual, kelapangan hati, dan visi jangka panjang sebagai bangsa. Jika kita berhasil melakukannya, kita tidak hanya menyembuhkan luka masa lalu---tapi juga membangun fondasi bangsa yang lebih adil, terbuka, dan tangguh menghadapi krisis identitas di masa depan.
Karena bangsa yang besar bukan hanya yang menang dalam pertempuran sejarah, tapi yang mampu berdamai dengan seluruh narasinya---termasuk yang paling gelap sekalipun.
Lampiran 1. Perspektif Sufisme: Allah sebagai Aktor Sejarah
Dalam pandangan sufistik, sejarah bukan semata rangkaian peristiwa duniawi yang dikendalikan manusia, tetapi juga manifestasi dari kehendak Ilahi yang tersembunyi di balik tabir sebab-akibat. Peristiwa seperti G30S 1965, sesuram dan setragis apa pun, dapat dibaca sebagai bagian dari tajalli (penampakan) sifat-sifat Allah di alam semesta---baik Jalal (keperkasaan, kekerasan) maupun Jamal (keindahan, kasih sayang).
1. Tauhid dalam Sejarah
Dalam sufisme, La ilaha illallah bukan hanya pengakuan ketuhanan dalam ibadah, tetapi juga dalam memandang sejarah: tidak ada aktor sejati selain Allah. Tokoh-tokoh sejarah---baik Aidit, Soekarno, Suharto, maupun rakyat jelata---adalah wasilah (perantara) yang digerakkan dalam drama Ilahi. Sejarah, dalam tafsir ini, adalah maqam ujian bagi kolektivitas umat manusia.
2. Qadar dan Iradah Ilahi
Sufi besar seperti Ibn 'Arabi dan Jalaluddin Rumi memandang bahwa kehendak Allah (irada) meresap dalam setiap perubahan zaman. G30S bisa dilihat bukan semata sebagai kekelaman politik, melainkan bagian dari qadar (ketentuan) yang menyimpan rahasia pengajaran Ilahi. Allah menyingkap tabir realitas melalui guncangan sejarah agar manusia merenung, bertobat, dan memperbaiki arah.