Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

1 Oktober 2025   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaannya kini bukan lagi: siapa musuh umat?
Melainkan: apakah umat masih punya ruang adil untuk menyuarakan masa depan bangsa tanpa dicurigai sebagai ancaman?

Barangkali inilah saatnya umat Islam tidak lagi sekadar menjadi korban narasi sejarah, tapi menjadi penafsir aktif yang kritis dan cerdas terhadap masa lalu, serta proaktif dalam menyusun arah sejarah ke depan.

Lampiran 3. Jika Kita Bisa Jujur terhadap G30S, Maka Kita Akan Lebih Siap Membuka Sejarah Tragedi Tanjung Priok dan Reformasi 1998

Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin jati diri bangsa. Jika kita mampu menatap jujur tragedi G30S---tanpa fanatisme, tanpa pengaburan, tanpa glorifikasi sepihak---maka kita sedang melatih keberanian kolektif untuk menyingkap luka-luka sejarah lainnya yang selama ini dibungkam oleh ketakutan, loyalitas buta, atau manipulasi narasi. Salah satunya: Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Reformasi 1998.

1. Mengapa G30S adalah Titik Awal Kejujuran Sejarah?

Peristiwa G30S bukan sekadar percobaan kudeta, tetapi gerbang awal dari dua hal besar:

Rekonstruksi kekuasaan secara brutal melalui pembantaian, penangkapan massal, dan kampanye propaganda yang mendalam;
Pembentukan narasi sejarah resmi yang membatasi ruang tafsir, membunuh keberagaman memori, dan menciptakan ketakutan kolektif atas nama stabilitas nasional.
Dengan menjadikan G30S sebagai narasi tunggal selama puluhan tahun, bangsa ini telah terbiasa dengan "kebenaran versi penguasa" dan bukan kebenaran yang dicari bersama.

2. Tanjung Priok 1984: Luka yang Dipeti-eskan

Tanjung Priok adalah tragedi di mana ratusan warga sipil, mayoritas Muslim, dibantai oleh militer karena dianggap membangkang terhadap rezim. Apa yang membuat tragedi ini nyaris tak terdengar secara nasional?

Karena narasi negara kala itu tak memberi ruang bagi "umat Islam yang kritis terhadap rezim".
Karena luka-luka seperti ini dianggap berbahaya bagi harmoni yang dibangun di atas represi.
Karena masyarakat belum cukup siap menantang otoritas sejarah resmi.
Namun jika kita sudah berani mempertanyakan G30S---yang selama ini dianggap "tabu"---maka seharusnya kita juga berani menoleh ke Priok: melihat bukan sekadar siapa pelaku dan korban, tapi mengapa bangsa ini membiarkan kekerasan berulang sebagai cara meredam perbedaan.

3. Reformasi 1998: Dari Euforia ke Trauma Kolektif

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun