Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Interpretasi Sejarah dan Komunis Phobia

1 Oktober 2022   02:45 Diperbarui: 1 Oktober 2022   02:54 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak awal reformasi persisnya tahun 2000 sebenarnya sudah ada upaya untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM dimasa lalu terutama yang terjadi di masa Orde Baru. Salah satunya adalah peristiwa penghilangan paksa pada peristiwa tahun 1965-1966.

Disamping karena banyaknya jumlah korban jiwa, peristiwa tersebut telah menimbulkan kontroversi atas legitimasi pemerintahan Orde Baru yang didasari atas Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 11 Maret 1966 yang hingga hari ini belum ditemukan dokumennya yang asli/otentik. Karena Supersemar pula dijadikan mandat untuk "membantai" tokoh PKI dan orang-orang yang dituduh PKI.

Ditengah situasi darurat akibat Gerakan 30 September (G30S) yang belum diketahui oleh Presiden Sukarno siapa dalang dibalik peristiwa pembunuhan Dewan Jenderal maka sebagai respons cepat untuk memulihkan keadaan pada tanggal 3 Oktober 1965 Presiden Sukarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban.

Timbul pertanyaan mengapa Sukarno percaya memberi tugas itu kepada Soeharto? Padahal Soeharto melarang Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma hadiri rapat darurat di Pangkalan Udara Halim tanggal 1 Oktober 1965 dan melarang Pranoto menggantikan posisi Ahmad Yani sebagai Menteri/Panglima AD? Bahkan sebagai Pangkostrad mengancam akan menyerang Pangkalan Halim?

Apakah penunjukan Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan itu hasil konsultasi dengan AH Nasution atasan Soeharto yang lolos dari peristiwa Gerakan 30 September? Mengapa hanya dalam tempo kurang dari satu hari sudah tersebar dalang pembunuh Dewan Jenderal adalah PKI? Semuanya begitu cepat padahal belum ada medsos seperti saat ini.

Soeharto kemudian membentuk dan memimpin langsung Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dikukuhkan Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan No. 162/KOTI 1965, 12 November 1965. Dengan surat ini Sukarno sudah masuk perangkap "konspirasi" agen asing.

Dalam laporannya Kopkamtib menyebut akibat operasi pemulihan keamanan dan ketertiban mencatat 1 juta jiwa tewas terdiri 800 ribu di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta masing-masing 100 ribu di Bali dan Sumatera.

Jika laporan resmi Kopkamtib menyebut korban 1 juta tentu besar kemungkinan jumlah rilnya diatas yang dilaporkan bahkan ada yang memperkirakan mencapai hingga 3 juta orang karena saat mencekam itu rakyat benar-benar dihadap-hadapkan untuk membantai orang yang bukan hanya dituduh PKI tapi juga "sebebasnya" membunuh atas sentimen pribadi, kesukuan, perbedaan agama, aliran agamanya berbeda termasuk asmara. 

Artinya seseorang yang ditolak cintanya bisa menuduh perempuan itu sebagai Gerwani atau bisa juga lakinya dibunuh dengan tuduhan PKI tentunya. Sebaliknya ada anggota Gerwani yang selamat karena mau dikawini.

Lahir inisiatif untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang didukung MPR melalui Ketetapan Nomor V/MPR/2000 yang menugaskan Presiden dan DPR untuk mewujudkan Undang Undang KKR.

KKR bukan dimaksudkan untuk mengorek luka lama, namun sebagai bangsa yang beradab menghormati HAM lebih kepada pengungkapan kebenaran (truth telling) dan penyembuhan (healing) dari trauma.

Niat baik ini kemudian diawali dengan melahirkan Undang Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang secara substansi mengatur cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu serta Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemilihan Aceh dan Papua saat itu tentu dengan pertimbangan pernah diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM).

Kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), oleh sejumlah aktifis HAM di"judicial review" ke MK. Sejumlah pasal digugat diantaranya Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44 yang dinilai bertentangan dengan prinsip HAM universal.

Pasal 1 ayat 9, pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pasal 27, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Pasal 44, pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad hoc.

Namun sangat disayangkan berdasarkan Amar putusan MK Nomor 006/PUUIV/2006, MK membatalkan seluruh bagian materi Undang Undang KKR.

Upaya rekonsiliasi ini tak pupus karena dibatalkannya UU KKR. Pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober 2010 keluarga Pahlawan Revolusi seperti Amelia Yani dan keluarga tokoh PKI seperti Ilham Aidit bisa bersilahturahmi dalam pertemuan di Gedung Nusantara V DPR-RI. Sementara generasi ketiga dari Pahlawan Revolusi dan tokoh PKI berharap tak ingin mewarisi konflik dan kebencian dimasa lalu.

Pemerintah Orde Baru selama lebih dari 30 tahun telah bertindak diskriminatif dan memberi perlakuan buruk terhadap warga negara keturunan yang distempel PKI. Sebagian masyarakatpun turut memberi stigma negatif. Hal tersebut tak lepas dari propaganda film "Penghianatan G30S/PKI, produksi pemerintah Orde Baru yang dijadikan tontonan wajib sebagai "brain wash" sejak tahun 1984. Penulis naskah film tersebut Nugroho Notosusanto yang belakangan juga terbukti memanipulasi sejarah kelahiran Pancasila 1 Juni 1945.

Oleh Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono di era Presiden Habibie per tanggal 24 September 1998, film itu tidak diputar ulang sebagai tayangan wajib karena sejumlah alasan.

Film tersebut sedikit sekali mengandung fakta, selebihnya manipulasi dan propaganda cuci otak untuk menanamkan kebencian abadi pada PKI/Komunis. Karena dari kesaksian pelaku sejarah malah lebih sadis pembantaian massa orang-orang yang dituduh PKI.

Yang kedua film tersebut dinilai mendiskreditkan TNI AU hanya karena letak Lubang Buaya di dekat Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma. Ketiga, Direktur Pusat Film Nasional mengakui bahwa film tersebut diproduksi mengikuti selera pemerintah Orde Baru.

Keempat menurut Juwono dan Yunus bahwa film yang mengkultuskan Soeharto seperti juga pada film Serangan Umum 1 Maret 1949 (Janur Kuning dan Serangan Fajar) sarat manipulasi, padahal faktanya Sultan Hamengku Buwono IX yang banyak berperan.

Era Reformasi juga diawali dengan pembebasan Tahanan Politik (Tapol) rezim Orde Baru untuk penghormatan atas HAM dan kebebasan berdemokrasi.

Mandeknya upaya rekonsiliasi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sejak dibatalkannya UU KKR dan ada sejumlah pihak yang memang tidak menginginkan hal ini terwujud maka pada tanggal 11 Desember 2019 Menkopolhukam, Mahfud MD pernah menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyiapkan kembali Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang baru.

Hampir 3 tahun tanpa ada perkembangan RUU KKR lalu Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 September 2022 mengumumkan pembentukan Tim Pelaksana Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) dan menunjuk Makarim Wibisono sebagai Ketua berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022.

Menurut Deputi KSP, Jaleswari Pramodhawardani dengan Tim Penyelesaian Non Yudisial tidak berarti menghilangkan upaya penegakan hukum atau upaya yudisial. Keduanya dapat dijalankan secara paralel. Mekanisme yudisial lebih berorientasi pada keadilan retributif sementara mekanisme non yudisial berorientasi pada pemulihan korban.

Menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sedikitnya ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum terselesaikan.

Pelanggaran HAM berat masa lalu adalah kasus-kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM diundangkan.

Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, Kasus Paniai 2014.

Tentang Peristiwa 1965-1966

Mengapa saya lebih memilih 1 Oktober bukan 30 September? Karena jika melihat fakta aksi penculikan dan pembunuhan 6 jenderal TNI AD oleh apa yang disebut pasukan "Cakrabirawa" terjadi dini hari setelah tanggal 30 September 1965.

Mengapa 6 jenderal TNI AD menjadi target penculikan dan pembunuhan? Siapakah Ahmad Yani, MT Haryono, DI Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo, Raden Soeprapto, Siswondo Parman dan Pierre Andreas Tendean?

Ahmad Yani adalah tokoh yang membentuk pasukan khusus TNI AD yang bernama Banteng Raiders untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat tahun 1949.

Saat pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat, Ahmad Yani yang saat itu berpangkat Kolonel berhasil menumpas pemberontakan PRRI tahun 1958.

Pakar politik Monash University, Harold Crouch menilai Ahmad Yani memiliki citra diri yang berbeda dari AH Nasution. Meskipun mereka sama-sama sosok anti komunis, Ahmad Yani adalah jenderal kesayangan Bung Karno.

Menurut Antonie CA Dake dalam buku "Sukarno File" Sukarno sengaja menggeser Nasution menjadi Menhan karena dinilai kurang loyal. Sukarno mengangkat Ahmad Yani sebagai Menteri Pangad (Panglima Angkatan Darat).

Berdasarkan catatan peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, Ahmad Yani terbunuh sekitar pukul 04:00 padahal empat jam kemudian mestinya dijadwalkan menghadap Presiden Sukarno.

Mas Tirtodarmo Haryono, Deputi III Menteri/Panglima AD adalah jenderal yang cukup dekat dengan Presiden Sukarno. Ditengah persaingan politik antara kelompok Islam, TNI AD dan PKI untuk merebut pengaruh Sukarno maka MT Haryono sering mengikuti rapat dengan Presiden Sukarno hingga larut malam.

Donald Isaac Panjaitan menjabat Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) tahun 1962.

Sutoyo Siswomiharjo menjabat sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD) merangkap jabatan Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (AHM/PTHM).

Raden Soeprapto diangkat menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat dan Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat setelah pemberontakan PRRI/Permesta dapat ditumpas.

Siswondo Parman, Asisten I Menteri/Panglima AD  ia berperan dalam penumpasan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Dua minggu sebelum malam kelam 1 Oktober 1965, S. Parman mendampingi kunjungan kerja Ahmad Yani ke Nusa Tenggara.

Jika memperhatikan jabatan kelima jenderal tersebut maka dapat dikatakan sebagai "ring satu"nya Jenderal Ahmad Yani. Karena Ahmad Yani adalah jenderal kesayangan Bung Karno saat itu maka 6 (enam) jenderal tersebut dapat dikatakan sebagai "perisai utama" keselamatan Presiden Sukarno. Lalu apakah mungkin mereka membentuk "Dewan Jenderal" untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno? Siapakah otak yang menghembuskan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta?

Lalu siapakah AH Nasution? AH Nasution pernah mengancam Sukarno dengan mengirim pasukan dan mengarahkan moncong meriam ke arah Istana pada tanggal 17 Oktober 1952. Akibat aksinya Nasutionpun kemudian dinonaktifkan dari jabatannya.

Namun demikian Bung Karno bukanlah seorang pendendam padahal bisa saja memenjarakan dan memecatnya dari TNI. Malah tahun 1955 Bung Karno mengangkat kembali Nasution menjadi KSAD dan Menhankam pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan kekuasaan itu, melalui Nasution kekuatan TNI makin merangsek masuk dalam kekuatan politik lewat Dwifungsi ABRI dengan mendukung Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno.

Dengan ditopang kekuatan TNI (khususnya AD) maka Nasution menjadi layer kedua kekuasaan politik saat itu setelah Sukarno. Nasution bahkan diberi kepercayaan urus pembelian senjata ke Uni Soviet dalam menghadapi konfrontasi dengan Malaysia dan merebut Irian Barat. Namun kemesraan ini mulai berkurang saat kehadiran Ahmad Yani.

Lalu muncul pertanyaan apakah AH Nasution memang benar menjadi target penculikan dan pembunuhan Gerakan 30 September? Karena menjadi jenderal penting kedudukannya di era Demokrasi Terpimpin, sebagai Menko/Kastaf Angkatan Bersenjata (KSAB) mengapa regu penculik Cakrabirawa sampai tidak mengenalinya mengira Pierre Andreas Tendean yang masih sangat muda dikira Nasution? Padahal Tendean adalah pengawal pribadi AH Nasution.

Dokumen CIA "The President's Daily Brief" pada tahun 1965 menunjukkan kedekatan Amerika dengan TNI AD untuk memberantas komunis.

Selain Brigjen Sukendro dan Mayjen Soeharto, Jenderal AH Nasution beberapa kali muncul dalam dokumen CIA tersebut.

CIA melaporkan kepada Presiden Lyndon B Johnson bahwa pada aksi penculikan Dewan Jenderal 1 Oktober 1965 Nasution lolos namun terluka dalam peristiwa tersebut. Ajudan Jenderal Nasution telah meminta atase militer Amerika Serikat untuk siap menolong Nasution meninggalkan Jakarta kalau situasi memburuk.

Dalam dokumen CIA juga menyebutkan Badan Pusat Intelijen (BPI), Soebandrio menyampaikan kepada publik bahwa PKI tidak terlibat. Karena melalui Soebandrio, PKI dapat saja mengungkapkan fakta atas peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut. Sementara TNI AD ingin menangkis pernyataan itu.

Disebutkan juga dalam dokumen CIA bahwa Nasution memberikan pernyataan politik yang keras di Radio Indonesia yang ditujukan melawan pernyataan Soebandrio dan PKI. Dia menyebutkan TNI AD akan menghabisi para penghianat di dalam angkatan bersenjata.

John F Kennedy digantikan oleh wakilnya Lyndon B. Johnson sebagai Presiden Amerika Serikat. Johnsonlah kemudian memulai perang Vietnam dengan dalih memerangi pengaruh Komunisme.

Amerika Serikat di era kepemimpinan Johnson "disinyalir" mendukung kelahiran gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tahun 1965 pasca memediasi diserahkannya Irian Barat (Papua) oleh Belanda tanpa perang besar, Amerika Serikat yang merasa berjasa gagal merayu Sukarno untuk menanamkan modalnya melalui Freeport menambang di Irian Barat (Papua) karena butuh biaya perang Vietnam.

Baca: Papua Melengkapi Indonesia

Bocornya informasi Badan Keamanan Nasional/National Security Agency (NSA) dimulai pada 12 Oktober 1965. Para diplomat AS mengutip laporan dari kolega mereka di Kedutaan Jerman kala itu yang mengatakan beberapa tentara Indonesia mulai mendatangi kantor-kantor perwakilan negara barat di Jakarta.

Mereka mengatakan, tentara mulai berencana menggulingkan Sukarno karena sikapnya yang mendukung PKI (faktanya PKI memang mendapat simpati rakyat yang terlihat dari hasil Pemilu 1955)

Setelah lebih dari 30 tahun, dokumen CIA seputar peristiwa tahun 1965 dianggap kadaluwarsa maka mulai terpublikasi secara luas walaupun ada bagian yang disensor menunjukkan ada benang merah antara kepentingan ekonomi dan "memerangi komunisme" pemerintah Amerika Serikat di Indonesia dengan peristiwa 1 Oktober 1965.

"Secret Service" Cakrabirawa

Bukan Bung Karno namanya jika bukan orang yang ahli gagasan, istilah, ungkapan, idiom yang filosopis. Cakrabirawa adalah nama yang diberikan Bung Karno untuk pasukan pengaman presiden.  

Dalam buku Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno (2014) karya Asvi Warman Adam dkk, menyebutkan bahwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan di setiap karesidenan telah memiliki kesatuan Polisi Istimewa.

Misalnya kesatuan Polisi Istimewa di wilayah Jakarta Raya disebut Polisi Macan. Pada awal 1945, Gatot Suwiryo sebagai pimpinan Polisi Macan, memindahkan anggotanya ke Pasukan Polisi Pengawal Pribadi Presiden (Tokomu Kosaku Tai) di bawah pimpinan Mangil Martowidjojo.

Berdasarkan buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (1999) karya Mangil Martawodijojo, tugas utama Pasukan Polisi Pengawal Pribadi Presiden adalah menjaga keselamatan Presiden dan Wakil Presiden beserta seluruh anggota keluarganya.

Karena banyaknya ancaman yang membahayakan nyawa Presiden Sukarno kurun waktu 1948-1962, maka Mangil membentuk Detasemen Kawal Pribadi (DKP).

Setelah terjadinya percobaan pembunuhan Sukarno pada saat Shalat Idul Adha 14 Mei 1962, Letnan Kolonel CMP Sabur memberikan laporan bahwa DKP berencana membentuk pasukan pengawal Istana Presiden yang lebih sempurna.

Sabur dibantu beberapa perwira, di antaranya Mayor CPM Maulwi Saelan, Mangil dari Kepolisian, seorang mayor udara, dan seorang mayor laut intensif membahas pasukan pengawal presiden dimaksud.

Sehingga pada tanggal 6 Juni 1962, Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Keputusan No 211/Pit/1962 tentang pembentukan resimen khusus yang bertanggung jawab menjaga keselamatan pribadi Presiden dan keluarganya.

Oleh Bung Karno pasukan khusus tersebut diberi nama "Tjakrabirawa" (Cakrabirawa). Cakrabirawa adalah senjata milik Batara Kresna dalam Mahabharata. Semboyan dari Pasukan Cakrabirawa, yaitu "Dirgayu Satyawira" yang artinya prajurit setia berumur panjang.

Cakrabirawa baru diresmikan Presiden Sukarno pada tanggal 6 Juli 1963 di Wina, Austria dan dipimpin oleh Letnan Kolonel CPM Sabur.

Hubungan Soeharto dan Untung

Setelah penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Untung bertugas di Solo, Jawa Tengah. Saat itu Komandan Korem (Komando Resor Militer)nya adalah Soeharto. Selesai menjabat komandan Korem, Soeharto kemudian menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi (Kodam) Diponegoro. Untung pun diboyong Soeharto pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.

Selama berdinas di Divisi Diponegoro, Soeharto meninggalkan catatan buruk, tindakan indisipliner yang mencoreng citra Angkatan Darat.

Menurut Subandrio dalam "Kesaksianku tentang G-30-S", saat menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorim IV (Kodam) Diponegoro, Soeharto terlibat penyelundupan bersama Liem Sioe Liong alias Sudono Salim dan Bob Hasan. Kelak di era Orde Baru mereka menjadi salah dua konglomerat Indonesia.

Kasus penyelundupan ini membuat Deputi II Panglima Angkatan Darat, Kolonel Ahmad Yani marah kepada Soeharto.

Namun Soeharto batal dipecat oleh pimpinan tertinggi TNI Angkatan Darat, AH Nasution setelah mendengar pendapat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Gatot Subroto. Ia berusaha meyakinkan para petinggi Angkatan Darat bahwa "Soeharto masih bisa diperbaiki." Baik Ahmad Yani, Gatot Subroto dan Soeharto berasal dari "rumpun" (Kodam) Diponegoro. Maka Soeharto di"nonjob"kan lalu "dibina" dalam pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD).

Ahmad Yani telah menjadi Panglima Angkatan Darat, saat Soeharto lulus dari SSKAD. Karena kebaikan Ahmad Yani, Soeharto kemudian diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Dari kisah ini dapat kita petik bahwa karir Soeharto di militer diselamatkan Gatot Subroto dan bahkan diorbitkan oleh Ahmad Yani.

Hubungan Soeharto dan Untung terjalin kembali saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad.

Pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Sukarno membentuk komando Trikora untuk pembebasan Irian Barat yang bertepatan dengan peringatan peristiwa Agresi Militer Belanda II.

Sebagai Komando Operasi Tertinggi (KOTI) langsung dipimpin Presiden Sukarno, Letjen Nasution sebagai Panglima Besar dan Mayjen Ahmad Yani yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat ditugaskan sebagai Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi Trikora.

Kemudian dari operasi Trikora ini dibentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962. Ahmad Yani pun menunjuk MayJen Soeharto sebagai Panglima Komando. Soeharto kemudian menugaskan bekas anak buahnya di Divisi Diponegoro, Untung dalam tugas Komando Mandala.

Sekitar tanggal 14 Agustus 1962, Untung diterjunkan ke daerah Sorong, Papua Barat dalam Operasi Mandala. Setelah operasi Mandala sukses, Mayor Untung mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.

Karena Soeharto memiliki cukup "power" di tubuh Angkatan Darat yang memimpin Kostrad maka memiliki kewenangan merekomendasikan batalyon mana saja yang diambil menjadi pasukan Cakrabirawa.

Dengan kedekatan inilah kemudian Untung dipercaya Soeharto untuk menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa yang artinya "masuk" Istana. Dengan posisi ini Untung menjadi leluasa dalam melihat dan mengamati sikap Presiden Sukarno, konstelasi politik dalam kabinet dan tokoh-tokoh yang dekat dengan Presiden.

Hubungan "istimewa" Soeharto - Untung ini semakin tampak jika memperhatikan Soeharto, sebagai Panglima Kostrad menghadiri pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah pada Pebruari 1965. Tentu hanya mereka yang tahu hubungan kedekatan ini.

Peristiwa 1 Oktober 1965 dan Dampaknya

Pada tanggal 16 September 1963, massa yang berdemonstrasi membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai bentuk penolakan terhadap pembentukan Federasi Malaysia.

Dari reruntuhan kebakaran Kedubes Inggris, Badan Pusat Intelijen (BPI) menemukan dokumen kajian strategis, seperti mengenai "rivalitas" antar angkatan dalam ABRI.

Kemudian kemunculan isu "Dewan Jenderal" dikaitkan dengan peran agen Cekoslowakia, agen Rusia KGB termasuk peran agen Amerika Serikat CIA dan agen China.

"Dokumen Gilchrist " diambil dari nama Dubes Inggris untuk Indonesia saat itu, Andrew Gilchrist. Dokumen itu menyebut adanya "konsolidasi" di  Angkatan Darat.

Kepentingan agen-agen asing tersebut menciptakan kondisi saling curiga antar kepentingan politik saat Bung Karno dalam keadaan sakit, menginginkan terjadinya penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno karena dianggap anti nekolim (neo kolonialisme dan neo kapitalisme).

Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio menerima surat berisi dokumen itu pada 15 Mei 1965. Dalam dokumen tersebut tidak jelas siapa yang dimaksud dengan "local army friends" (sahabat Amerika Serikat di Angkatan Darat) dan mengandung informasi sejumlah jenderal Angkatan Darat yang "tidak loyal" kepada Presiden Sukarno, khususnya dalam kebijakan Ganyang Malaysia.

Menurut Soebandrio, "Dokumen Gilchrist" merupakan upaya provokasi untuk "memainkan" Angkatan Darat dalam situasi politik di Indonesia yang tidak stabil (krisis ekonomi dan sejumlah pemberontakan) serta isu adanya Dewan Jenderal.

Soebandrio lalu melaporkannya kepada Sukarno pada 26 Mei 1965. Sukarno memanggil semua panglima angkatan untuk menanyakan tentang siapa yang dimaksud "our local army friends", apakah ada kesatuan yang harus dicurigai?

Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani menjawab tidak perlu karena Yani memang menugaskan Mayjen TNI Soewondo Parman dan Brigjen TNI Soekendro berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris untuk mencari informasi yang harus dilaporkan kepadanya.

Mengenai Dewan Jenderal, Yani mengklarifikasi kepada Presiden Sukarno bahwa memang ada dan dipimpin langsung Ahmad Yani. Hanya yang dimaksud Dewan Jenderal adalah "Wanjakti" (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi) yang bertugas membahas kenaikan pangkat dan jabatan tinggi di Angkatan Darat.

Isu di luar Istana yang berkembang saat itu adalah Dewan Jenderal akan merencanakan pamer kekuatan atau machts-vertoon di hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Mereka akan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Menurut PKI, saat kekuatan militer yang besar tersebut telah terkonsentrasi di Jakarta, Dewan Jenderal akan melakukan kudeta kontra revolusioner, bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata.

Sebagai tandingan Dewan Jenderal, PKI lantas membentuk "Dewan Revolusi Indonesia". Dewan inilah yang nantinya berperan dalam Gerakan 30 September. Gerakan tersebut diketuai oleh Letkol Untung Syamsuri, dia adalah salah satu perwira Angkatan Darat yang berada dalam pengaruh PKI.

Latief merupakan anggota dari Dewan Revolusi Indonesia ini. Dalam kesaksiannya Abdul Latief membantah bila pembunuhan terjadi atas perintah PKI atau Ketua CC PKI, DN Aidit. Latief mengaku sama sekali tak pernah bertemu dengan DN Aidit.

Pada tanggal 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Dengan lugunya Untung menyampaikan dirinya sebagai Ketua Dewan Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September untuk melindungi Presiden Sukarno dari rencana kudeta Dewan Jenderal.

"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," Soeharto (kesaksian Untung sebelum dieksekusi mati).

Bahkan sebagai Pangkostrad, Soeharto siap memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro, Jawa Tengah.

Dukungan pasukan dari luar Jakarta tersebut "dikamuflase" untuk alasan defile memperingati Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965.

Menurut kesaksian Omar Dhani, bekas Panglima Angkatan Udara di era Presiden Sukarno mengatakan "aneh, masak untuk defile prajurit mesti membawa peluru tajam. Semestinya tidak begitu, ada mekanismenya kalau di militer".

Karena loyalnya Angkatan Udara terhadap Presiden Sukarno, pada tanggal 3 Mei 1964 Omar Dhani membentuk dan memimpin Komandan Mandala Siaga (Kogala) untuk mendukung konfrontasi dengan Malaysia. Namun Soeharto menyampaikan kepada Presiden Sukarno bahwa Omar Dhani tidak cocok jadi Panglima Kolaga.

Dan ditengah situasi kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat itu mengapa Soeharto sebagai Pangkostrad begitu mudah memobilisasi pasukan dan alutsista dari Divisi Diponegoro dan Brawijaya ke Jakarta jika hanya untuk kepentingan defile Hari ABRI. Dananya darimana itu? Apakah ini sebuah kebetulan? Mungkin perlu ditengok kebelakang kasus Semarang yang sempat membuat Ahmad Yani marah.

Indonesia tercatat pernah tiga kali melakukan kebijakan sanering, yakni pada tahun 1950, 1959, dan 1965. Kondisi perekonomian nasional saat itu dinilai benar-benar parah ketika usia Republik masih muda dan harus menghadapi berbagai pemberontakan.

Dari kesaksian dialog Untung dengan Soeharto tersebut maka tidak perlu heran mengapa Gerakan 30 September dengan pelaku utamanya Untung dapat digulung Soeharto hanya dalam ditempo 12 jam. Jika Untung melaporkan ke Soeharto sebagai pimpinan Gerakan 30 September (G30S), lalu siapa yang menambahi atau melabeli itu menjadi G30S/PKI?

Menurut kesaksian anggota Pasukan Cakrabirawa, Sersan Mayor Ishak mengaku dibawa oleh Letkol Untung bersama dengan Kolonel Latief, sopir dan ajudan pada tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 18:00. Dengan bersenjata lengkap, dia tidak diberi tahu tujuan perjalanan itu.

"Nggak dikasih tahu, tahu-tahu mampir ke RSPAD nengok Soeharto, anaknya kan Tommy sedang sakit. Setelah itu ke Lubang Buaya," Ishak.

Pengakuannya hanya mengawal Letkol Untung hingga pukul 01:00, tidak tahu menahu apa yang terjadi saat dibawa ke Lubang Buaya.

"Pada sekitar pukul 04:00 sudah mendapatkan 4 jenderal terbunuh, yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto, Jenderal Parman dan satu lagi Lettu Tendean," tuturnya.

Ketiganya lalu dibunuh dan semuanya dimasukkan ke sumur tua. Dirinya tidak pernah menduga akan terjadi peristiwa yang mengerikan itu.

Lalu dia ditahan selama 13 tahun tanpa persidangan karena tuduhan terlibat dalam operasi G30S/PKI.

Salah satu ajudan Sukarno, Kolonel Bambang Widjanarko, menuturkan keberadaan Bung Karno pada tanggal 30 September 1965 dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno (1998) menyebutkan malam itu Bung Karno menginap di rumah istrinya Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dari Resimen Cakrabirawa yang saat itu merupakan orang yang bertanggung jawab atas keselamatan Presiden RI itu menerima laporan dari petugas, bahwa hubungan telepon keluar Istana diputus atas perintah Angkatan Darat.

Mangil kembali mendapat kabar bahwa rumah Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf ABRI (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution dan Wakil Perdana Menteri II J Leimena ditembaki.

Mendapat kabar itu, Mangil bergegas pergi ke Wisma Yaso. "Mengapa kejadian pukul empat pagi sampai sekarang kamu belum tahu?," demikian hardik Bung Karno kepada Mangil.

Kurang lebih pukul 06.00 Bung Karno dengan diantar Mangil dan anggota Kawal Pribadi meninggalkan rumah Ratna Sari Dewi menuju Istana Merdeka.

Bambang menyebutkan, salah satu jadwal Bung Karno pada tanggal 1 Oktober 1965 yang masih diingatnya adalah pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri Leimena dan MenPangad Ahmad Yani.

Dalam perjalanan menuju Istana Merdeka, ketika iring-iringan mobil sampai di Jalan Thamrin, persis di depan gedung Bank Indonesia, Mangil memerintahkan berbelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan.

Sukarno mengubah rute menuju ke rumah istri keduanya, Haryati, yang berada di Slipi. Perubahan rute itu dilakukan karena Bung Karno mendapat kabar bahwa Istana Merdeka telah dikepung pasukan tak dikenal (belakangan diketahui sebagai pasukan dari Divisi Diponegoro dan Brawijaya).

"Wah, Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Aku diserbu. Apa yang kamu mau aku lakukan?)," tanya Bung Karno.

Mendengar ucapan Bung Karno, Saelan kemudian mencari keterangan lebih jauh terkait penembakan para jenderal dan "pengepungan" Istana Negara kepada Panglima dan Kodam Jaya.

Dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno, dia menerangkan, sesuai SOP Cakrabirawa, ada dua pilihan tempat evakuasi Bung Karno jika dalam keadaan darurat.

Pertama, Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140. Kedua, dibawa ke Tanjungpriok, Jakarta Utara, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II bersandar.

Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Pangkalan AU Halim Perdanakusuma. Sesampai di Halim, Bung Karno diterima Menteri/Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Omar Dhani dan Panglima Koops Komodor Leo Wattimena. Namun Sukarno belum mendapat laporan apa yang sebenarnya terjadi.

Tak lama kemudian, tiga perwira Angkatan Darat datang menemui Bung Karno. Mereka adalah Panglima Tempur Mandala Siaga Brigjen Supardjo, Mayor Bambang Supeno dan Mayor Sukirno, Komandan Batalyon Dharma Putra Kostrad.

Dalam keadaan genting untuk keselamatan Presiden, mengapa bukan Soeharto yang langsung menghadap Presiden?

Kepada Presiden Sukarno, Supardjo meminta Bung Karno untuk mendukung Gerakan 30 September. Mengapa pesannya untuk mendukung Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung yang diketahui Soeharto?

Presiden Sukarno menolak karena belum mendapatkan informasi valid terkait apa yang terjadi sebenarnya atas peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut.

Setelah kepergian Brigjen Supardjo, Bung Karno meminta seluruh petinggi ABRI dipanggil untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Ia memanggil Panglima AD, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Panglima AL Laksamana RE Martadinata, Panglima Angkatan Kepolisian Sitjipto Judodihardjo dan Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma (Panglima AU, Omar Dhani sudah di Halim).

Ternyata Umar Wirahadikusuma tidak hadir. Sementara keberadaan Ahmad Yani belum diketahui Bung Karno.

Lalu Bung Karno perintahkan Kombes Pol Sumirat bersama Bambang Widjanarko menjemput Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma di Markas Kodam Jaya. Namun, Umar tidak berada di Kodam Jaya. Umar diketahui sedang berada di markas Kostrad bersama Soeharto.

Alasan ketidakhadiran Umar disampaikan Pangkostrad Soeharto yang mengatakan agar seluruh instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui dia karena Panglima AD Ahmad Yani tidak berada di tempat (jika berdasarkan laporan Letkol Untung sebelum peristiwa, logikanya Soeharto sudah tahu keadaan Ahmad Yani hari itu).

Bung Karno pun marah dengan jawaban Soeharto yang tidak mengijinkan kehadiran Umar ke Halim.

Jika menurut Konstitusi bahwa Presiden adalah panglima perang atas semua angkatan maka penolakan Soeharto ini sebenernya sudah katagori pembangkangan apalagi dalam keadaan Jakarta yang darurat.

"Sekitar pukul 12.00 WIB, kami mendengar adanya pengumuman dari Letkol Untung mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. Ini berarti telah terjadi kudeta," kata Saelan.

Pada hari yang sama, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit Aidit dan beberapa anggota Pemuda Rakyat juga tiba di Halim Perdanakusuma untuk menghadap Presiden Sukarno. Namun anehnya tidak ada pimpinan Gerakan 30 September, Letkol Untung. Padahal Gerakan 30 September bagian dari Dewan Revolusi yang katanya bentukan PKI.

Sekitar pukul 18.00 WIB, Pangkalan Udara Halim kedatangan pasukan Angkatan Darat yang belakangan diketahui pasukan yang sama yang mengepung Istana.

Dalam situasi darurat Presiden Sukarno mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD, Ahmad Yani namun keberadaan Pranoto bersama Soeharto di Kostrad dan tidak dijinkan menghadap Presiden Sukarno. Presiden Sukarnopun kembali marah.

Dengan ancaman pasukan Kostrad akan menggempur Halim maka Presiden Sukarno diterbangkan ke Bogor.

Sekitar pukul 24.00 WIB, Saelan dihubungi Soeharto dan Saelan melaporkan bahwa Sukarno telah tiba dengan selamat di Istana Bogor.

Dari kronologi kejadian dan relasi Soeharto - Untung menurut saya PKI seolah masuk "perangkap" dalam skenario konspirasi agen asing dan "local army friends" (sahabat Amerika Serikat di Angkatan Darat) untuk mengkudeta Presiden Sukarno:

1) PKI pernah melakukan pemberontakan di Madiun tahun 1948. Ini menjadi stigma buruk PKI yang dimusuhi Islam konservatif dan TNI. Sehingga mudah membangun propaganda sebagai ancaman NKRI dan dalang dibalik peristiwa G30S.

2) PKI yang mengaku cinta Bung Karno dan wajib melindungi kekuasaan Demokrasi Terpimpin reaktif mempercayai "Dokumen Gilchrist" yang mengisukan adanya Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Sukarno.

3) PKI terlalu gegabah jika melakukan kudeta dengan membunuh Ahmad Yani, jenderal kesayangan Bung Karno.

4) Jika PKI membentuk Dewan Revolusi dan merencanakan Gerakan 30 September yang dipimpin Untung untuk menangkap petingi Angkatan Darat (Dewan Jenderal) mengapa Untung sebelum melancarkan aksinya melapor ke Pangkodstrad, Soeharto yang notabene adalah bawahan Menteri/Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani?

5) Jika PKI tahu dimusuhi Angkatan Darat mengapa menunjuk Letkol Untung dari Angkatan Darat (bukan dari Angkatan Laut atau Udara) memimpin Gerakan 30 September?

6) Berdasarkan pengalaman pemberontakan di Madiun jika PKI benar-benar siap melakukan kudeta dengan Gerakan 30 September, mengapa hanya dalam tempo 12 jam pimpinan PKI bisa diringkus? Padahal pemberontakan DI/TII butuh waktu 13 tahun (1949-1962) baru bisa dipadamkan dengan tertangkapnya Kartosoewirjo.

Sebelum tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Sukarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Akan tetapi Sukarno menolak.

Pada Sidang kabinet yang berlangsung tanggal 11 Maret 1966 pagi muncul gerakan intimidasi "pasukan liar" mengepung istana. Saat itu Soeharto sebagai Menteri/Panglima AD menggantikan Ahmad Yani tidak hadir dalam sidang kabinet karena alasan sakit.

Situasi menegangkan itu mendorong Presiden Sukarno meninggalkan Istana Merdeka menuju Istana Bogor.

Brigjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran), Brigjen M Jusuf (Menteri Perindustrian), dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud kemudian melapor ke Soeharto.

Yang menarik dalam keadaan sakit Soeharto menyampaikan pesan kepada M. Jusuf, Amirmachmud dan Basuki Rahmat untuk menghadap Presiden Sukarno ke Istana Bogor dan menyampaikan pesan bahwa ia bersedia memikul tanggung jawab jika kewenangan itu diberikan kepada dirinya. (umumnya orang sakit fokus pemulihan kesehatan, menjadi aneh jika bicara mandat kekuasaan).

Di Istana Bogor, Basoeki Rachmat menyampaikan tujuan menghadap Presiden Sukarno sesuai petunjuk dari Soeharto. Mengapa harus meyakinkan Sukarno agar tidak terpengaruh oleh "intimidasi" pasukan liar di Istana Merdeka pada pagi hari itu? Sebagai seorang prajurit Sapta Marga semestinya memang tidak boleh terjadi ada pasukan liar mengepung Istana. Sehingga ada 2 kemungkinan menyikapi hal itu yakni seharusnya tidak ada pasukan liar atau kemungkinan lainnya bahwa pasukan itu bagian dari agenda setting?.

Di samping itu, ia meyakinkan Bung Karno agar tidak merasa diasingkan atau ditinggalkan Angkatan Darat. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 dengan terbunuhnya 6 jenderal Angkatan Darat kesayangan Sukarno, apa iya itu artinya Presiden Sukarno diasingkan Angkatan Darat? Justru ini semakin menunjukkan bahwa memang terjadi persaingan/rivalitas di elit Angkatan Darat.

Kemal Idris, yang pada saat dikeluarkannya Supersemar (11 Maret 1966) menjadi Kepala Staf Kostrad, mengungkap bahwa surat yang dititipi Soeharto melalui tiga jenderal itu berisi bahwa Soeharto tidak akan bertanggung jawab terhadap keamanan apabila tidak diberi perintah tertulis dari Sukarno.

Menurut kesaksian Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, yang merupakan staf asisten I Cakrabirawa, saat itu Bung Karno nampak terpaksa membuat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Jika Bung Karno tidak berpikir tentang menjaga persatuan saat negara masih dalam perjuangan revolusi, Bung Karno bisa saja mencari tahu sendiri siapa dalang dibalik peristiwa pembunuhan jenderal kesayangannya karena Bung Karno masih memiliki loyalis dari petinggi Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian. Tapi itu tidak Bung Karno lakukan.

Dalam bukunya, Kemal Idris, Bertarung Dalam Revolusi, ia mengaku sempat membaca Supersemar. Isinya memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, "kekuasaan dikembalikan" kepada Bung Karno sebagai Presiden RI.

Hal ini juga dibenarkan Soebandrio. Ia mengungkap adanya poin yang antara lain menyebut kata "dikembalikan". Namun, faktanya, Soeharto justru melakukan penyimpangan. Selain tidak mengembalikan kekuasaan, Soeharto juga tidak melapor kepada Soekarno sebagaimana perintah dalam Supersemar.

Namun, Amirmachmud yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Setelah menerima Supersemar, Soeharto melangkahi kewenangan Presiden Sukarno dengan membubarkan PKI sehari setelahnya, Soeharto juga menangkap 15 menteri pendukung Sukarno, memulangkan anggota Cakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen Angkatan Darat.

Resimen Cakrabirawa dibekukan atau dibubarkan pada tanggal 28 Maret 1966.Tugas untuk menjamin keselamatan pribadi Presiden beserta keluarganya diserahkan dan digantikan oleh Satgas Pomad (Polisi Militer Angkatan Darat).

Selain Supersemar, Presiden Sukarno juga menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 09/Koga/5/1966, tanggal 13 Mei 1966.

Dari Inpres tersebut dibentuk Tim Screening Pusat, Tim Pemeriksa Pusat dan Daerah, serta Tim Oditur/Jaksa yang bertugas melakukan penindakan hukum pidana terhadap para tahanan atas orang-orang yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) dengan prinsip penyelesaian: 1) tetap mengedepankan hukum, azas keadilan, 2) memperhatikan kemanusiaan dan 3) tidak boleh mengganggu keamanan.

Omar Dhani dituduh mendukung PKI dan pada tanggal 25 Desember 1966 diadili dan divonis hukuman mati.

Letkol Untung hanya salah satu yang melalui proses hukum dan dijatuhi hukuman mati di Cimahi. Grasinya ditolak dan harus berhadapan oleh para regu tembak tahun 1966. Selebihnya yang terjadi adalah "pembunuhan massal" yang menyimpang dari Instruksi Presiden Sukarno.

Pada tahun 1980 hukuman mati Omar Dhani diubah menjadi seumur hidup. Setelah mendapat grasi, Omar Dhani bisa menghirup udara bebas pada 15 Agustus 1995 setelah meringkuk di dalam penjara selama 29 tahun. Ini juga agak aneh, jika benar Omar Dhani terlibat G30S mengapa diberi grasi oleh Soeharto?

7) Dengan Supersemar, jika dalih pemulihan keamanan, mengapa bukan hanya orang PKI saja yang ada di kabinet dan MPRS yang ditangkap tapi juga mempreteli loyalis Presiden Sukarno yang bukan PKI? Lalu anggota MPRS diisi oleh yang anti Sukarno dan dipimpin AH Nasution sehingga bulat menolak pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang disebut Nawaksara tanggal 22 Juni 1966. Kemudian Sukarno melengkapi Nawaksara pada tanggal 10 Januari 1967 dengan tegas mengutuk G30S atau Gestok (Gerakan Satu Oktober)

Menurut Sukarno munculnya G30S disebabkan oleh tiga hal yakni, 1) pimpinan PKI yang keblinger, 2) subversi nekolim atau unsur asing, 3) adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.

Bagaimana mungkin seorang presiden yang menghadapi kudeta Gerakan 30 September terhadap dirinya malah dipaksa mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa itu?

"Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G30S/PKI, maka saya menanya siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti dalam tujuh peristiwa selama ini?" tanya Sukarno kepada anggota MPRS.

Pelengkap Nawaksara ini pun ditolak oleh MPRS pimpinan AH Nasution.

Lalu pada tanggal 20 Pebruari 1967 diumumkan bahwa Presiden/Mandataris MPRS tentang penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966 yang dulu sebelum di kukuhkan masih berbentuk Supersemar kepada Jenderal Soeharto.

Dan anehnya lagi dengan peran AH Nasution sebagai Ketua MPRS yang telah mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan selanjutnya mengangkat Soeharto sebagai Pj. Presiden, mengapa pada saat Soeharto berkuasa selama era Orde Baru, AH Nasution bahkan nyaris tak kebagian peran mengurus negara.

Yang terjadi malah ia dicekal Orde Baru. AH Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan di mana ada Presiden Soeharto. Bahkan sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari ikut ditarik dari kediamannya. AH Nasution akhirnya menjadi anggota Petisi 50 pengkritik Presiden Soeharto.

Hanya di masa akhir kekuasaan Presiden Soeharto, AH Nasution diberi gelar Jenderal bintang 5 pada tanggal 5 Oktober 1997.

Banyak sejarawan yang meragukan adanya pemberian mandat Supersemar oleh Presiden Sukarno kepada Soeharto. Apalagi, hingga saat ini naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Soekarno pun pernah menekankan bahwa Supersemar itu bukanlah "transfer of authority".

Tiga naskah Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dipastikan tidak autentik alias palsu setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012.

Sedangkan Supersemar yang tidak jelas isinya telah digunakan sebagai dasar penetapan TAP MPRS untuk melengserkan Sukarno dan pengangkatan Soeharto sebagai pejabat Presiden RI.

Mantan Menteri Sekretariat Negara era Presiden Soeharto, Moerdiono menyebut bahwa "katanya" Supersemar memang ada yang dijadikan dasar pembubaran PKI namun katanya tidak ada arsip? Dokumen penting negara kok raib?

Dalam sebuah forum juga Moerdiono menyampaikan bahwa yang terafiliasi menurut Konstitusi PKI hanya Pemuda Rakyat. Tapi mengapa dilakukan pembunuhan massal kepada pengurus dan anggota organisasi yang bukan menjadi underbow PKI seperti Lekra, Barisan Tani Indonesia, bahkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)?

Kilas Balik Pergulatan Ideologi Di Masa Revolusi Indonesia

Hingga abad milenial saat ini tak disangkal bahwa pemikiran (peradaban) barat telah menjadi sumber referensi pengetahuan dunia. Hal ini dapat diterima secara "teoritis argumentatif" bahwa penemuan-penemuan yang mengubah dunia dicatat dengan baik dalam bentuk dokumen/jurnal ilmiah pasca masa Renaissance (abad 14 - 17 M) yang diawali dari Italia lalu menyebar ke seluruh Eropa.

Renaissance pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh diberbagai bidang seni, arsitektur, politik, penjelajahan dan ilmu pengetahuan "baru" sebagai kebangkitan Eropa.

Baca: Pertemuan Filsafat Timur dan Barat

Kemudian pada tahun 1760 melahirkan apa yang dikenal sebagai Revolusi Industri di Inggris. Tejadi transformasi dari masyarakat agraris yang mengandalkan tenaga manusia dan hewan menjadi masyarakat industri manufaktur yang didukung karena ditemukannya mesin. Dari Inggris lalu berkembang ke Belgia tahun 1807, Prancis tahun 1848, Jerman tahun 1870 hingga Amerika Serikat dan Jepang pada abad 19-20.

Akibat revolusi industri di Inggris terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakatnya yang secara umum disebut kapitalis dan proletar.

Kapitalis/kapitalisme adalah pemilik modal, sebuah sistem akumulasi modal untuk memperbesar produksi, yang kemudian menjadi sistem ekonomi bebas di Inggris. Dilain pihak masyarakatnya disebut proletar/proletariat, dari bahasa latin yang artinya kelas sosial rendah yang dalam persfektif industri manufaktur diidentikkan dengan buruh. Sementara kapitalis diidentikkan dengan borjuis (orang kaya).

Dalam perkembangannya kapitalisme dirasakan menciptakan kesenjangan ekonomi. Tokoh yang dikenal menentang kapitalisme adalah Karl Marx. Ia menganggap bahwa kaum kapitalis mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar.

Bentuk protes Karl Marx terhadap kapitalisme kemudian dikenal sebagai Marxisme. Selanjutnya Marxisme menjadi dasar teori Komunisme.

Kaum "sosialis" di Inggris mengadakan konferensi dan membentuk "Liga Komunis". Dan tahun 1847 pada pertemuan Komite Sentral di London, Liga Komunis meminta Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menulis Manifest der Kommunistischen Partei (Manifesto of the Communist Party) atau umum disebut "Manifesto Komunis" yang diterbitkan pada tahun 1848.

Marx berpendapat bahwa paham Kapitalisme (Capital-isme) perlu diganti dengan paham Komunisme. Istilah Komunisme (Common-isme) diambil dari bahasa Inggris "Common" yang artinya bersama.

Jika kapitalisme membebaskan penguasaan atau "kepemilikan individu" maka komunisme memperjuangkan "kepemilikan bersama" alat produksi dan menentang kelas sosial. Dari sini dapat dipahami bahwa Komunisme merupakan antitesa Kapitalisme. Komunisme tidak mengenal hak perorangan tapi alat produksi dikuasai negara.

Sementara Kapitalisme adalah liberal untuk hak kepemilikan individu. Antara kapitalis dengan komunis lebih kepada perbedaan metode penguasaan ekonomi.

Dalam persfektif politik maka kapitalisme diidentikkan dengan liberalisme (demokrasi liberal) sementara komunisme identik dengan sosialis (sosio demokrasi/perwakilan). Artinya sebenarnya keduanya sama-sama demokratis.

Gagasan Marx pada akhirnya begitu cepat mempengaruhi perubahan politik di Eropa termasuk Belanda yang menjajah Hindia Belanda (Indonesia) sehingga membawa pengaruh komunis juga ke Indonesia.

Dalam perkembangannya Vladimir Lenin mendirikan Partai Komunis Rusia sekaligus penggerak Revolusi Bolshevik pada 1917 hingga berhasil menumbangkan kekuasaan monarki Tsar dan selanjutnya mendirikan Soviet Rusia atau Uni Soviet diatas ideologi "Marxisme Leninisne".

Lalu Lenin membentuk Komintern (Komunis Revolusioner Internasional) pada tahun 1919.

Partai Komunis Indonesia (PKI) lahir dari perpecahan "Sarekat Islam" yang menjadi dua kubu, yaitu SI Merah (Komunis) dan SI Putih (Islam). Semaoen bersama anggota SI Merah dan tokoh Komunis kemudian mengadakan Kongres Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) di Semarang pada Mei 1920. Hasilnya mengubah ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH).

Marxisme juga mempengaruhi seorang Tan Malaka saat mengenyam pendidikan di Belanda. Terinspirasi dari keberhasilan Revolusi Bolshevik di Rusia dan ketertarikannya dengan gerakan komunis di Hindia Belanda (Indonesia) mendorong minatnya atas Komunisme.

Dengan meyakini bahwa gerakan inilah yang paling menaruh simpati terhadap nasib rakyat tertindas oleh kolonialisme Belanda maka pada tahun 1922, Tan Malaka berangkat dari Rotterdam (Belanda) singgah di Berlin (Jerman) untuk menghadiri Kongres Komintern keempat di Moskow (Soviet Rusia).

Kehadiran Tan Malaka di Kongres Komintern sehingga didaulat sebagai Wakil Komintern untuk wilayah Asia Tenggara.

Komunis di Hindia Belanda (Indonesia) terus konsolidasi dan pada tahun 1924, PKH mengadakan kongres Komintern yang menghasilkan perubahan nama dari PKH menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bertekad memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda.

Pada tahun 1925, dalam buku berjudul "Naar de Republiek", Tan Malaka menggagas ide mengenai Republik Indonesia. Kemudian menulis buku kedua "Massa Actie" tahun 1926. Dan Tan Malaka menganggap gerakan komunis adalah alat, bukan tujuan.

Pada tahun 1926, sebagai seorang pemikir, Sukarno muda menyampaikan gagasannya dengan artikel pada surat kabar "Soeoleh Indonesia Moeda", untuk menyatukan 3 kekuatan utama saat itu yakni kelompok "Nasionalis, Islam dan Marxis".

"Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,"

"Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini," Sukarno.

Sukarno muda pun sejak mondok di rumah HOS Tjokroaminoto telah bergumul dengan paham ideologi yang merepresentasikan ketiga kekuatan tersebut. Ada Kartosoewirjo dengan ideologi Islam konservatifnya (yang cenderung kanan) dan Semaoen, Alimin, Musso dengan membawa ideologi Komunis (kiri). Namun Sukarno lebih memilih paham Nasionalis dengan tanpa sikap superioritas atas ideologi Islam dan Komunis.

Pilihannya sebagai seorang Nasionalis kemudian ditunjukkannya dengan melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927.

Sebelum lahir Republik Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat paling kuat di Sumatera Barat. Hal ini dibuktikan bahwa PKI lah paling awal secara organisatoris melakukan pemberontakan/perlawanan terhadap Belanda.

Banyak pemuda yang masuk PKI justru bukan karena ideolginya komunis, melainkan karena PKI adalah partai yang terang-terangan berani melawan Belanda.

Pemberontakan PKI kepada pemerintahan Hindia Belanda kurun waktu tahun 1926-1927 terbesar terjadi di Silungkang, Minangkabau, Sumatera Barat. PKI ketika itu membunuh para opsir Belanda, guru agama, dan pedagang emas yang diklaim melakukan kerja sama dengan pemerintah Belanda. Namun aksi ini dapat dihentikan oleh Belanda.

Atas kegagalan tersebut Tan Malaka diburu oleh pemerintah Hindia Belanda. Menghindari atas perburuan, Tan Malaka kemudian menjadi seorang yang hidup "nomaden" (melanglang buana).

Kegagalan PKI dalam melakukan perlawan kepada Belanda tak menyurutkan pergerakan kaum cendikiawan Indonesia baik yang masih mengenyam pendidikan di Belanda maupun yang di Indonesia.

Sukarno muda terus mencari inspirasi bagaimana memberi "roh" nasionalismenya dalam melawan imperialisme dan kolonialisme Belanda.

Jika Karl Marx melahirkan Marx-isme melawan kapitalisme lalu Lenin melahirkan Lenin-isme meruntuhkan monarki Rusia maka Sukarno melahirkan Marhaen-isme yang diterjemahkan sebagai sosialisme Indonesia dalam praktek.

Menurut John D. Legge menyebut bahwa Marhaen sebenarnya istilah yang sudah lazim dipakai pada medio 1927. Itu adalah istilah bahasa Sunda yang maknanya sama dengan kata "Kromo" dalam bahasa Jawa.

Jika Kromo (lawan dari Priyayi) dimaknai sebagai rakyat kecil/rakyat status sosial rendah maka di Bali ada istilah "Krama". Sehingga jika melihat relasi sastra (linguistik) dan budaya antara Sunda, Jawa dan Bali yang serumpun maka sebuah 'istilah/kata" yang sama maknanya dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali lebih lazim hanya terjadi perbedaan lafal yakni "a" untuk Sunda, "o" untuk Jawa dan "e" untuk Bali. Oleh karena itu istilah Marhen untuk bahasa Sunda yang dipadankan maknanya dengan Kromo (Jawa) sepertinya kurang bisa diterima.

Saya lebih meyakini istilah "Marhaen" itu sebagai karya imajinasi seorang Sukarno dalam melahirkan pemikiran/konsep/gagasan tentang rakyat akar rumput dengan segala keterbatasan.

Sehingga saya lebih mendukung pendapat Bernhard Dahm bahwa istilah Marhaen baru terdengar dan diperkenalkan pada tahun 1930, ketika disebut oleh Sukarno dalam pledoinya dengan judul "Indonesia Menggugat".

Pasca Perundingan Renville pada 7 Januari 1948, yang sangat merugikan Indonesia yang sudah diproklamirkan 17 Agustus 1945 dimana wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera membuat kabinet Amir Sjarifuddin jatuh dan digantikan Hatta. Amir Sjarifuddin adalah salah satu tokoh Kongres Pemuda II 1928 wakil Jong Sumatra.

Setelah tidak lagi menjadi Perdana Menteri, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian bekerja sama dengan organisasi berpaham kiri seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Sekembalinya Musso dari Uni Soviet pada 10 Agustus 1948, ia mengajak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Sjarifuddin pada 28 Juni 1948 untuk bangkit bersama PKI.

Akibat Hatta membuat program kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi untuk mengembalikan 100.000 tentara menjadi rakyat biasa dengan alasan penghematan anggaran membuat ketidakpuasan Amir Sjarifuddin.

Terhadap kebijakan Hatta tersebut lalu bersama Musso memimpin pemberontakan untuk membentuk Negara Republik Indonesia Soviet dan mengganti Pancasila dengan Komunisme. Padahal pemberontakan Madiun tidak disepakati tokoh penting lainnya di PKI.

Bukan hanya PKI, namun Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) juga terlibat dalam usaha merebut kekuasaan dari pemerintahan Sukarno kala itu.

Musso lalu diburu pasukan Siliwangi dan tertembak di Desa Niten, Kecamatan Sumorejo pada tanggal 31 Oktober 1948. Sementara setelah menjalani proses pengadilan Amir Sjarifuddin dieksekusi mati pada tanggal 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar. Akhirnya Pemberontakan PKI yang hanya menguasai 13 hari Madiun berhasil dipadamkan.

Dilansir dari buku "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan" karya Soe Hok Gie, anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang didirikan Amir Sjarifuddin selanjutnya menjadi pimpinan PKI, seperti DN Aidit, Anwar Kadir, dan lainnya.

Pada tahun 1949 Kartosoewirjo mengklaim Jawa Barat bukan bagian Indonesia. Dan Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) dengan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Yang dalam sejarah dikenal sebagai pemberontakan Darul Islam (DI/TII).

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah terjadi sekitar tahun 1949-1950, dipimpin oleh Amir Fatah. Pemberontakan DI/TII tahun 1950 juga terjadi di Kalimantan Selatan yang dipimpin Ibnu Hadjar.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) didalangi oleh Soumokil yang merupakan mantan Jaksa Agung NIT (Negara Indonesia Timur) pada tanggal 25 April 1950. Dilatar belakangi orang Maluku tidak mau dijajah orang Jawa. Soumokil akhirnya tertangkap pada 12 Desember 1963 dan sesuai keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta, ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1966.

Pemberontakan DI/TII terjadi di Sulawesi Selatan pada 1950-1952 dan 1953-1965 dipimpin oleh Kahar Muzakkar.

Pada 20 September 1953, pemberontakan DI/TII terjadi di Aceh dan dipimpin oleh Daud Beureueh.

Pemerintah membentuk operasi gabungan dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Perang RI (APRI) untuk menyelesaikan pemberontakan PRRI/Permesta.

PRRI/Permesta lahir di Padang, Sumatra Barat pada 15 Februari 1958. Di sisi lain, Permesta sudah terbentuk pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan namun pusat Permesta ada di Manado, Sulawesi Utara.

Tahun 1961 Presiden Sukarno memberi kesempatan pada anggota pemberontakan PRRI/Permesta untuk berdamai dan diberikan amnesti yang tertuang dalam Surat Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961.

Mohammad Natsir pemimpin Masyumi yang dikaitkan dengan pemberontakan PRRI, pernah menjadi Perdana Menteri dan telah diberikan gelar Pahlawan Nasional.

Pemberontakan DI/TII di Aceh mampu diselesaikan dengan cara musyawarah pada 1962.

Tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Mereka ditangkap, termasuk Kartosoewirjo. Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati.

Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta. Ia dieksekusi setelah sehari sebelumnya dikabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu keluarga.

Selama pemerintahan Presiden Sukarno mengalami sejumlah pemberontakan, tidak terjadi pembunuhan massal. Yang terbunuh adalah yang melarikan diri dan kontak senjata. Tokoh-tokohnya setelah ditangkap mendapat sanksi pidana melalui proses hukum.

Karena Indonesia sibuk menghadapi Agresi Militer Belanda dan sejumlah pemberontakan maka baru berhasil menyelenggarakan pemilu pertama kali tahun 1955 yang diikuti lebih dari 30 partai politik.

Faktanya menghasilkan kursi DPR yang didominasi ketiga pilar kekuatan (Nasakom) yang pernah ditulis oleh Bung Karno dalam Nasionalisme, Islam dan Marxisme tahun 1926 (inilah yang disebut pemikiran Bung Karno melampaui jamannya) yakni:

1) Partai Nasional Indonesia (PNI) 22,32 persen dan 57 kursi parlemen.

2) Masyumi 20,92 persen dan 57 kursi.

3) Nahdlatul Ulama (NU) 18,41 persen dan 45 kursi

4) Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,36 persen) dan 39 kursi

Untuk Anggota Konstituante:

1) Partai Nasional Indonesia (PNI) 119 kursi

2) Masyumi 112 kursi

3) Nahdlatul Ulama (NU) 91 kursi

4) Partai Komunis Indonesia (PKI) 80 kursi

Dari hasil perolehan kursi Pemilu 1955 kita tidak bisa menyangkal bahwa 3 kekuatan bangsa Indonesia saat itu ya Nasionalis, Islam dan Komunis.

Pada tahun 1956 Bung Karno mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia dimana hanya menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Dan terbukti selama Indonesia menganut sistem parlementer, kabinet jatuh  bangun dan rapuh, tidak berlangsung lama.

Maka Bung Karno menawarkan konsep Demokrasi Terpimpin dengan kekuatan Nasakom. Namun Hatta tidak setuju sehingga Dwi Tunggal Sukarno Hatta pecah kongsi yang berujung Hatta mundur dari Wakil Presiden. Hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 semakin mengokohkan kekuasaan Sukarno.

Pada tahun 1961 Inggris rencana membentuk Negara Federasi Malaysia yang akan menggabungkan Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah.

Namun, rencana tersebut ditentang oleh Presiden Sukarno karena dianggap akan menjadi boneka Inggris yang nantinya akan mengancam kemerdekaan Indonesia.

Selain Indonesia, Philipina juga menolak berdirinya Negara Federasi Malaysia. Philipina juga mengklaim atas Sabah, karena daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu. Maka kemudian terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Karena Belanda masih ngotot tak mau kembalikan Irian Barat (Papua), maka Indonesia membeli persenjataan dari Uni Soviet untuk merebut Papua Barat dari tangan Belanda dengan jalan perang.

Australia yang awalnya pro kemerdekaan Papua, akhirnya mendukung penggabungan Irian Barat (Papua) dengan Indonesia atas desakan Amerika Serikat melalui perundingan Indonesia (Soebandrio) dan Belanda (Jan Herman van Roijen& C.W.A. Schurmann) di Markas Besar PBB New York.

Pada tanggal 1 Mei 1963, badan PBB, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Irian Barat (Papua) ke Indonesia.

Sukarno juga mengkritisi PBB tidak netral, dijadikan alat legitimasi dunia barat untuk menentukan saatnya perang dan damai.

Kekecewaan Sukarno memuncak dengan berani menyatakan keluar dari keanggotaan PBB karena Sukarno tidak puas terhadap PBB dalam menyelesaikan konflik Indonesia - Inggris atas perebutan Sabah, Serawak dan Brunai yang hanya memberi opsi bergabung dengan negara baru Federasi Malaysia bentukan Inggris.

Lewat surat Menteri Luar Negeri Subandrio, Indonesia keluar dari PBB sejak tanggal 1 Januari 1965.

Baca: Era Post Truth, Indonesia Kembali Perlu Haluan

Siapa yang kemudian "menang" dari Revolusi berdarah 1965?

Mungkin dapat kita lihat dari derasnya arus modal asing masuk ke Indonesia pasca lengsernya Sukarno. Diantaranya Amerika Serikat masuk dengan Freeport, Jepang dengan industri otomotifnya.

Ekonomi Indonesia bergeser dari sosialisme ke kapitalisme. Kekayaan Indonesia dikavling untuk perusahaan asing tanpa bagi hasil yang optimal untuk negara dan terjadi pemusatan penguasaan ekonomi pada kelompok tertentu yang melahirkan konglomerasi.

Sistem politik tanpa demokrasi dengan jargon pendekatan pembangunan. Multi partai dipaksa berfusi menjadi 2 partai dan Golongan Karya. Kopkamtib tetap difungsikan untuk membungkam hak demokrasi warga negara. Perlakuan diskriminasi kepada keturunan PKI. Pemerintahan yang militeristik dan tersentralisasi karena sebagian besar jabatan strategis hingga kepala daerah ditunjuk dari Angkatan Darat. Pemilu hanya seremoni dari tahun 1973 hingga 1997. Maka kemudian lahirlah era Reformasi 1998.

Semoga kita selalu belajar dari sejarah. Bahwa perbedaan politik tanpa pemahaman demokrasi akan menjadi malapetaka buat bangsa ini.

Berikut adalah Interpretasi Nawaksara:

Keblingernya pimpinan PKI yang salah menterjemahkan informasi (hoaks) konspirasi agen asing telah menyebabkan terbunuhnya Dewan Jenderal diluar rencana agenda PKI. Menurut kesaksian padahal PKI hanya ingin menghadapkan Dewan Jenderal kepada Presiden Sukarno untuk mengkonfrontir apa tujuan dibentuknya Dewan Jenderal. (Antara Presiden Sukarno dengan Menteri/Pangad Ahmad Yani sudah clear sebelum peristiwa 1 Oktober 1965).

Pertentangan politik antara PKI - Islam (konservatif) - TNI telah dimanfaatkan oleh "oknum yang tidak bertanggung jawab" dengan memanfaatkan situasi melancarkan kudeta. Padahal tanggal 3 Oktober 1965 Presiden Sukarno telah menerbitkan SK Presiden untuk operasi pemulihan keamanan dan ketertiban (dibentuk Kopkamtib), mengeluarkan Supersemar, mengeluarkan Inpres untuk mengadili orang yang diduga terlibat G30S, namun tetap dicabut kekuasaannya oleh MPRS.

Siapakah pihak yang sebenarnya mengkudeta Presiden Sukarno?

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun