Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Interpretasi Sejarah dan Komunis Phobia

1 Oktober 2022   02:45 Diperbarui: 1 Oktober 2022   02:54 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Situasi menegangkan itu mendorong Presiden Sukarno meninggalkan Istana Merdeka menuju Istana Bogor.

Brigjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran), Brigjen M Jusuf (Menteri Perindustrian), dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud kemudian melapor ke Soeharto.

Yang menarik dalam keadaan sakit Soeharto menyampaikan pesan kepada M. Jusuf, Amirmachmud dan Basuki Rahmat untuk menghadap Presiden Sukarno ke Istana Bogor dan menyampaikan pesan bahwa ia bersedia memikul tanggung jawab jika kewenangan itu diberikan kepada dirinya. (umumnya orang sakit fokus pemulihan kesehatan, menjadi aneh jika bicara mandat kekuasaan).

Di Istana Bogor, Basoeki Rachmat menyampaikan tujuan menghadap Presiden Sukarno sesuai petunjuk dari Soeharto. Mengapa harus meyakinkan Sukarno agar tidak terpengaruh oleh "intimidasi" pasukan liar di Istana Merdeka pada pagi hari itu? Sebagai seorang prajurit Sapta Marga semestinya memang tidak boleh terjadi ada pasukan liar mengepung Istana. Sehingga ada 2 kemungkinan menyikapi hal itu yakni seharusnya tidak ada pasukan liar atau kemungkinan lainnya bahwa pasukan itu bagian dari agenda setting?.

Di samping itu, ia meyakinkan Bung Karno agar tidak merasa diasingkan atau ditinggalkan Angkatan Darat. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 dengan terbunuhnya 6 jenderal Angkatan Darat kesayangan Sukarno, apa iya itu artinya Presiden Sukarno diasingkan Angkatan Darat? Justru ini semakin menunjukkan bahwa memang terjadi persaingan/rivalitas di elit Angkatan Darat.

Kemal Idris, yang pada saat dikeluarkannya Supersemar (11 Maret 1966) menjadi Kepala Staf Kostrad, mengungkap bahwa surat yang dititipi Soeharto melalui tiga jenderal itu berisi bahwa Soeharto tidak akan bertanggung jawab terhadap keamanan apabila tidak diberi perintah tertulis dari Sukarno.

Menurut kesaksian Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, yang merupakan staf asisten I Cakrabirawa, saat itu Bung Karno nampak terpaksa membuat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Jika Bung Karno tidak berpikir tentang menjaga persatuan saat negara masih dalam perjuangan revolusi, Bung Karno bisa saja mencari tahu sendiri siapa dalang dibalik peristiwa pembunuhan jenderal kesayangannya karena Bung Karno masih memiliki loyalis dari petinggi Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian. Tapi itu tidak Bung Karno lakukan.

Dalam bukunya, Kemal Idris, Bertarung Dalam Revolusi, ia mengaku sempat membaca Supersemar. Isinya memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, "kekuasaan dikembalikan" kepada Bung Karno sebagai Presiden RI.

Hal ini juga dibenarkan Soebandrio. Ia mengungkap adanya poin yang antara lain menyebut kata "dikembalikan". Namun, faktanya, Soeharto justru melakukan penyimpangan. Selain tidak mengembalikan kekuasaan, Soeharto juga tidak melapor kepada Soekarno sebagaimana perintah dalam Supersemar.

Namun, Amirmachmud yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun