Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Interpretasi Sejarah dan Komunis Phobia

1 Oktober 2022   02:45 Diperbarui: 1 Oktober 2022   02:54 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sukarno muda terus mencari inspirasi bagaimana memberi "roh" nasionalismenya dalam melawan imperialisme dan kolonialisme Belanda.

Jika Karl Marx melahirkan Marx-isme melawan kapitalisme lalu Lenin melahirkan Lenin-isme meruntuhkan monarki Rusia maka Sukarno melahirkan Marhaen-isme yang diterjemahkan sebagai sosialisme Indonesia dalam praktek.

Menurut John D. Legge menyebut bahwa Marhaen sebenarnya istilah yang sudah lazim dipakai pada medio 1927. Itu adalah istilah bahasa Sunda yang maknanya sama dengan kata "Kromo" dalam bahasa Jawa.

Jika Kromo (lawan dari Priyayi) dimaknai sebagai rakyat kecil/rakyat status sosial rendah maka di Bali ada istilah "Krama". Sehingga jika melihat relasi sastra (linguistik) dan budaya antara Sunda, Jawa dan Bali yang serumpun maka sebuah 'istilah/kata" yang sama maknanya dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali lebih lazim hanya terjadi perbedaan lafal yakni "a" untuk Sunda, "o" untuk Jawa dan "e" untuk Bali. Oleh karena itu istilah Marhen untuk bahasa Sunda yang dipadankan maknanya dengan Kromo (Jawa) sepertinya kurang bisa diterima.

Saya lebih meyakini istilah "Marhaen" itu sebagai karya imajinasi seorang Sukarno dalam melahirkan pemikiran/konsep/gagasan tentang rakyat akar rumput dengan segala keterbatasan.

Sehingga saya lebih mendukung pendapat Bernhard Dahm bahwa istilah Marhaen baru terdengar dan diperkenalkan pada tahun 1930, ketika disebut oleh Sukarno dalam pledoinya dengan judul "Indonesia Menggugat".

Pasca Perundingan Renville pada 7 Januari 1948, yang sangat merugikan Indonesia yang sudah diproklamirkan 17 Agustus 1945 dimana wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera membuat kabinet Amir Sjarifuddin jatuh dan digantikan Hatta. Amir Sjarifuddin adalah salah satu tokoh Kongres Pemuda II 1928 wakil Jong Sumatra.

Setelah tidak lagi menjadi Perdana Menteri, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian bekerja sama dengan organisasi berpaham kiri seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Sekembalinya Musso dari Uni Soviet pada 10 Agustus 1948, ia mengajak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Sjarifuddin pada 28 Juni 1948 untuk bangkit bersama PKI.

Akibat Hatta membuat program kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi untuk mengembalikan 100.000 tentara menjadi rakyat biasa dengan alasan penghematan anggaran membuat ketidakpuasan Amir Sjarifuddin.

Terhadap kebijakan Hatta tersebut lalu bersama Musso memimpin pemberontakan untuk membentuk Negara Republik Indonesia Soviet dan mengganti Pancasila dengan Komunisme. Padahal pemberontakan Madiun tidak disepakati tokoh penting lainnya di PKI.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun