Setelah kepergian Brigjen Supardjo, Bung Karno meminta seluruh petinggi ABRI dipanggil untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Ia memanggil Panglima AD, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Panglima AL Laksamana RE Martadinata, Panglima Angkatan Kepolisian Sitjipto Judodihardjo dan Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma (Panglima AU, Omar Dhani sudah di Halim).
Ternyata Umar Wirahadikusuma tidak hadir. Sementara keberadaan Ahmad Yani belum diketahui Bung Karno.
Lalu Bung Karno perintahkan Kombes Pol Sumirat bersama Bambang Widjanarko menjemput Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma di Markas Kodam Jaya. Namun, Umar tidak berada di Kodam Jaya. Umar diketahui sedang berada di markas Kostrad bersama Soeharto.
Alasan ketidakhadiran Umar disampaikan Pangkostrad Soeharto yang mengatakan agar seluruh instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui dia karena Panglima AD Ahmad Yani tidak berada di tempat (jika berdasarkan laporan Letkol Untung sebelum peristiwa, logikanya Soeharto sudah tahu keadaan Ahmad Yani hari itu).
Bung Karno pun marah dengan jawaban Soeharto yang tidak mengijinkan kehadiran Umar ke Halim.
Jika menurut Konstitusi bahwa Presiden adalah panglima perang atas semua angkatan maka penolakan Soeharto ini sebenernya sudah katagori pembangkangan apalagi dalam keadaan Jakarta yang darurat.
"Sekitar pukul 12.00 WIB, kami mendengar adanya pengumuman dari Letkol Untung mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. Ini berarti telah terjadi kudeta," kata Saelan.
Pada hari yang sama, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit Aidit dan beberapa anggota Pemuda Rakyat juga tiba di Halim Perdanakusuma untuk menghadap Presiden Sukarno. Namun anehnya tidak ada pimpinan Gerakan 30 September, Letkol Untung. Padahal Gerakan 30 September bagian dari Dewan Revolusi yang katanya bentukan PKI.
Sekitar pukul 18.00 WIB, Pangkalan Udara Halim kedatangan pasukan Angkatan Darat yang belakangan diketahui pasukan yang sama yang mengepung Istana.
Dalam situasi darurat Presiden Sukarno mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD, Ahmad Yani namun keberadaan Pranoto bersama Soeharto di Kostrad dan tidak dijinkan menghadap Presiden Sukarno. Presiden Sukarnopun kembali marah.
Dengan ancaman pasukan Kostrad akan menggempur Halim maka Presiden Sukarno diterbangkan ke Bogor.