Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Interpretasi Sejarah dan Komunis Phobia

1 Oktober 2022   02:45 Diperbarui: 1 Oktober 2022   02:54 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Niat baik ini kemudian diawali dengan melahirkan Undang Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang secara substansi mengatur cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu serta Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemilihan Aceh dan Papua saat itu tentu dengan pertimbangan pernah diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM).

Kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), oleh sejumlah aktifis HAM di"judicial review" ke MK. Sejumlah pasal digugat diantaranya Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44 yang dinilai bertentangan dengan prinsip HAM universal.

Pasal 1 ayat 9, pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pasal 27, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Pasal 44, pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad hoc.

Namun sangat disayangkan berdasarkan Amar putusan MK Nomor 006/PUUIV/2006, MK membatalkan seluruh bagian materi Undang Undang KKR.

Upaya rekonsiliasi ini tak pupus karena dibatalkannya UU KKR. Pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober 2010 keluarga Pahlawan Revolusi seperti Amelia Yani dan keluarga tokoh PKI seperti Ilham Aidit bisa bersilahturahmi dalam pertemuan di Gedung Nusantara V DPR-RI. Sementara generasi ketiga dari Pahlawan Revolusi dan tokoh PKI berharap tak ingin mewarisi konflik dan kebencian dimasa lalu.

Pemerintah Orde Baru selama lebih dari 30 tahun telah bertindak diskriminatif dan memberi perlakuan buruk terhadap warga negara keturunan yang distempel PKI. Sebagian masyarakatpun turut memberi stigma negatif. Hal tersebut tak lepas dari propaganda film "Penghianatan G30S/PKI, produksi pemerintah Orde Baru yang dijadikan tontonan wajib sebagai "brain wash" sejak tahun 1984. Penulis naskah film tersebut Nugroho Notosusanto yang belakangan juga terbukti memanipulasi sejarah kelahiran Pancasila 1 Juni 1945.

Oleh Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono di era Presiden Habibie per tanggal 24 September 1998, film itu tidak diputar ulang sebagai tayangan wajib karena sejumlah alasan.

Film tersebut sedikit sekali mengandung fakta, selebihnya manipulasi dan propaganda cuci otak untuk menanamkan kebencian abadi pada PKI/Komunis. Karena dari kesaksian pelaku sejarah malah lebih sadis pembantaian massa orang-orang yang dituduh PKI.

Yang kedua film tersebut dinilai mendiskreditkan TNI AU hanya karena letak Lubang Buaya di dekat Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma. Ketiga, Direktur Pusat Film Nasional mengakui bahwa film tersebut diproduksi mengikuti selera pemerintah Orde Baru.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun