Sebaliknya, lulusan universitas sekuler di negara-negara Islam menguasai sains tetapi memiliki pemahaman agama yang lemah.
Akibatnya, tidak ada sintesis antara keduanya, sehingga sains berkembang tanpa arah moral, sementara kajian agama mandek dalam kerangka tekstualisme tanpa aplikasi praktis dalam sains dan teknologi.
Kasus Negara yang Berhasil Mengintegrasikan Ilmu dan Agama:
Iran telah mengembangkan teknologi nuklir dengan tetap mempertahankan identitas Islamnya.
Turki memiliki lembaga riset yang mencoba mengembangkan "Islamic Science."
Malaysia mempromosikan konsep Islamization of Knowledge, meskipun masih mengalami berbagai tantangan dalam implementasinya.
Dari analisis ini, dapat disimpulkan bahwa keterbelakangan sains di dunia Islam bukan karena Islam bertentangan dengan sains, tetapi karena umat Islam sendiri gagal membangun paradigma yang mengintegrasikan keduanya.
Berdasarkan kajian epistemologi Islam, sejarah sains, dan analisis empiris, jelas bahwa kegagalan umat Islam dalam membangun paradigma sains berbasis Al-Qur'an disebabkan oleh reduksionisme dalam memahami wahyu dan dikotomi berpikir antara agama dan sains. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan dan metodologi penelitian yang mampu menyatukan kembali wahyu dan ilmu pengetahuan dalam satu sistem keilmuan yang integratif.
2.4 Peran dan Kontribusi Para Pemikir Islam dalam Membangun Epistemologi Islam
Epistemologi Islam tidak dibangun dari satu pemikiran tunggal, tetapi merupakan sintesis dari berbagai gagasan yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam selama berabad-abad. Kontribusi pemikir seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Ibn Haytham sangat krusial dalam membentuk sistem pengetahuan yang menyeimbangkan antara wahyu dan akal, antara metafisika dan empirisme. Berikut adalah elaborasi peran dan kontribusi mereka dalam membangun fondasi epistemologi Islam.
1. Ibn Sina dan Al-Farabi: Hierarki Pengetahuan dan Integrasi Akal-Wahyu