Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

AI, Teknologi Kuantum, dan Fusi Nuklir dalam Dialektika Integrasi Wahyu dan Sains

13 Maret 2025   02:05 Diperbarui: 13 Maret 2025   02:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baik Ibn Sina (Avicenna) maupun Al-Farabi mengembangkan sistem epistemologi yang menekankan peran akal manusia dalam memahami realitas, tetapi tetap menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Dalam filsafat mereka, pengetahuan memiliki hierarki yang mencerminkan struktur alam semesta dan tingkatan kesempurnaan akal manusia.

  • Al-Farabi dalam Al-Madina al-Fadhila (Kota Utama) mengembangkan teori bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mencapai "akal aktif" (al-'aql al-fa'al), yaitu tingkat pemahaman tertinggi yang memungkinkan manusia untuk mengakses realitas metafisik. Namun, dalam sistemnya, hanya wahyu yang dapat memberikan kepastian moral dan tujuan akhir dari ilmu. Tanpa wahyu, sains dan filsafat hanya akan menjelaskan "bagaimana" sesuatu terjadi tetapi tidak dapat menjawab "mengapa."

  • Ibn Sina, dalam Kitab al-Shifa dan Al-Najat, memperluas konsep ini dengan membagi ilmu menjadi beberapa tingkatan:

    1. Ilmu Rasional (Logika dan Filsafat): Ilmu yang diperoleh melalui akal dan pengalaman empiris.

    2. Ilmu Alam (Fisika, Astronomi, dan Kedokteran): Ilmu yang memahami hukum-hukum alam dengan metode observasi dan eksperimen.

    3. Ilmu Metafisika (Ketuhanan): Ilmu yang mencari kebenaran tertinggi dan hubungan antara dunia materi dan immateri.

    4. Ilmu Wahyu (Ilmu Kenabian): Ilmu tertinggi yang tidak dapat dicapai hanya dengan akal, tetapi diberikan langsung oleh Allah melalui para nabi.

Bagi Ibn Sina dan Al-Farabi, akal manusia mampu memahami realitas fisik dengan metode rasional, tetapi tetap memerlukan wahyu untuk memberikan landasan moral dan eksistensial. Ini adalah model epistemologi yang tidak sekuler, tetapi juga tidak sepenuhnya mistis, karena mengakui peran sains dan filsafat dalam memahami dunia fisik.

2. Al-Ghazali: Kritik terhadap Rasionalisme Murni dan Rekonsiliasi Agama-Sains

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam epistemologi Islam adalah Al-Ghazali. Dalam karyanya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers), ia mengkritik pemikiran rasionalis murni yang berkembang di kalangan filsuf Muslim, terutama warisan dari Aristoteles yang diperkenalkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.

  • Al-Ghazali menolak rasionalisme ekstrem, terutama dalam aspek metafisika, karena menurutnya akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas ilahiah. Ia mengkritik filsuf yang terlalu mengandalkan akal tanpa mempertimbangkan wahyu, terutama dalam hal keberadaan Tuhan, penciptaan dunia, dan kehidupan setelah mati.

  • Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun