Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

AI, Teknologi Kuantum, dan Fusi Nuklir dalam Dialektika Integrasi Wahyu dan Sains

13 Maret 2025   02:05 Diperbarui: 13 Maret 2025   02:05 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesimpulan

  • Membaca Al-Qur'an bukan sekadar ritual, tetapi harus menjadi inspirasi untuk membangun sains dan peradaban.

  • Umat Islam harus keluar dari jebakan formalitas ibadah menuju pemahaman yang lebih luas, di mana Al-Qur'an benar-benar menjadi pedoman dalam sains dan teknologi.

  • Paradigma sains Islam hanya bisa terwujud dengan sinergi antara keilmuan Islam dan sains modern dalam satu kerangka epistemologi yang utuh.

BAB 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang: Dualisme Pemahaman Al-Qur'an dalam Umat Islam Modern

Dalam sejarah peradaban Islam, Al-Qur'an telah menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Pada Abad Pertengahan, para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Haytham, dan Al-Khwarizmi tidak hanya menjadikan Al-Qur'an sebagai bacaan spiritual, tetapi juga sebagai landasan epistemologis dalam mengembangkan sains. Namun, dalam realitas umat Islam modern, terjadi dualisme pemahaman yang ekstrem terhadap Al-Qur'an, yang dapat dikategorikan ke dalam dua kutub utama: ritualisme dan saintifik-sekulerisme.

  1. Ritualisme Tekstual:
    Kelompok ini memandang Al-Qur'an lebih sebagai teks suci untuk dibaca, dihafal, dan dilantunkan secara estetis dalam berbagai ritual keagamaan. Mereka menaruh perhatian besar pada aspek tajwid, qira'ah, dan hafalan, tetapi sering kali mengabaikan makna mendalam serta aplikasinya dalam kehidupan dan peradaban. Dalam konteks ini, membaca Al-Qur'an menjadi tujuan tersendiri, bukan sebagai sarana untuk memahami hukum-hukum alam dan sosial yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, meskipun banyak Muslim yang hafal Al-Qur'an, kontribusi intelektual mereka dalam pengembangan ilmu dan teknologi masih jauh tertinggal dibandingkan dengan peradaban lain.

  2. Saintifik-Sekulerisme:
    Di sisi lain, ada kelompok Muslim yang mengadopsi sains modern sepenuhnya dengan mengesampingkan keterkaitan epistemologisnya dengan wahyu. Mereka menganggap bahwa sains harus berdiri sendiri berdasarkan metodologi empiris yang objektif, tanpa perlu terhubung dengan nilai-nilai Islam. Pendekatan ini melahirkan generasi ilmuwan Muslim yang kompeten dalam bidang sains dan teknologi, tetapi gagal membangun paradigma pengetahuan yang khas Islam. Akibatnya, umat Islam hanya menjadi pengikut sains Barat, bukan pencipta paradigma baru yang berlandaskan nilai-nilai Al-Qur'an.

Kedua ekstrem ini telah menciptakan stagnasi intelektual dan peradaban di dunia Islam. Ritualisme tanpa pemahaman mendalam menjadikan Al-Qur'an hanya sebagai simbol spiritual, sementara saintifik-sekulerisme menjauhkan umat Islam dari potensi integrasi ilmu berbasis wahyu. Inilah tantangan besar yang harus dijawab: bagaimana membangun paradigma sains yang berakar pada Al-Qur'an tetapi tetap relevan dengan metodologi ilmiah modern?

1.2. Rumusan Masalah: Mengapa Umat Islam Gagal Membangun Paradigma Sains Berbasis Al-Qur'an?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun