Untuk mengatasi keterputusan antara wahyu dan sains di dunia Islam, diperlukan rekonstruksi paradigma ilmiah yang berbasis Al-Qur'an. Upaya ini melibatkan tiga aspek utama: sinergi antara wahyu dan sains, integrasi keilmuan dalam pendidikan Islam, dan rekonstruksi epistemologi sains Islam.
1. Sinergi antara Wahyu dan Sains
Pendekatan ini menegaskan bahwa wahyu dan sains bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Konsep "Qur'anic-Based Scientific Paradigm" mengacu pada kerangka ilmiah yang tidak hanya berbasis metode empiris tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung dalam wahyu.
a. Konsep Tafsir Maqashidi dan Pendekatan Ilmiah
Tafsir maqashidi menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan tujuan dan hikmah di balik ayat-ayatnya, bukan sekadar teks literal.
Pendekatan ini memungkinkan hukum-hukum alam dalam Al-Qur'an dikaji dalam konteks ilmiah, seperti bagaimana ayat tentang penciptaan alam semesta (QS. Al-Anbiya: 30) dapat dikaitkan dengan teori Big Bang atau bagaimana ayat tentang angin dan hujan (QS. Ar-Rum: 48) berhubungan dengan meteorologi modern.
Dengan model ini, ayat-ayat kauniyah dapat diuji dengan metode ilmiah tanpa kehilangan makna spiritualnya.
b. Studi tentang Hukum-Hukum Alam dalam Al-Qur'an
Astrofisika dan Kosmologi: Ayat-ayat yang membahas langit dan penciptaan dapat dikaji dalam konteks teori multiverse atau struktur ruang-waktu.
Bioteknologi dan Kedokteran: Prinsip-prinsip biomimetik dalam Al-Qur'an dapat dikembangkan untuk inovasi dalam ilmu biologi dan kesehatan.
Matematika dan Logika: Pola numerik dalam Al-Qur'an telah menjadi perhatian berbagai studi matematika, termasuk teori matematika fraktal dalam struktur alam semesta.