Sesampainya di sana, Marcel udah duluan. Seperti biasa: rapi banget. Kemeja kotak-kotak, rambut belah samping, dan aroma parfum mahal yang terlalu kuat.
Waktu matanya nemu aku dan Angga datang bareng, aku bisa lihat dari jauh---ada sesuatu yang berubah di wajahnya.
Dia tetap senyum. Tetap sok ramah. Tapi tangannya ngucek-ngucek kancing kemeja, dan dia nunduk sebentar.
Marcel nggak bodoh.
Dia tahu.
Dia lihat.
Aku sempat mendekat, menyapa.
"Hai."
Dia balas dengan lirih, "Kamu datang sama dia?"
Aku angguk. "Iya. Dia ngajak duluan."
"Hmm." Hanya itu.
Pesta pun berjalan. Anak-anak sibuk karaoke, nonton film, makan kue mahal, dan foto-foto. Tapi sepanjang malam aku sadar, Marcel berkali-kali melirik. Entah ke arahku, atau ke arah Angga. Atau ke kami berdua.
Saat Angga ngajak aku keluar sebentar dari keramaian---hanya buat menghisap Dunhillnya dan lihat bulan dari balkon lantai dua---aku tahu mata itu lagi ngikutin kami.
Selesai pesta, Angga tanya,
"Mau langsung pulang atau...?"
Aku jawab,