Di antara kebisuan dan gema air, aku tahu---kami sedang berada di titik paling jujur dalam hubungan kami.
Â
 Bab 14 -- Sinchia, Bihun Mentari, dan Sebuah Bioskop penuh asap rokok
Hari itu Sinchia. Tahun baru Imlek. Dan seperti biasa, siswa SMA kami yang masuk siang cuma belajar dua mata pelajaran, lalu diperbolehkan pulang untuk menghormati perayaan teman-teman yang merayakan.
Sehari sebelumnya, Angga sudah nyeletuk tanpa banyak kode:
"Besok kita jalan aja ya. Nggak usah ikut Sinchia. Nonton yuk."
Aku cuma ngangguk. Entah kenapa... aku selalu ngangguk kalau dia ngajak.
Kami janjian ketemu di depan sekolah, karena katanya ada yang mau di ambil dulu. Angga datang pakai jaket jeans lusuhnya dan aku naik sambil ragu-ragu. Mau nonton apa di hari Imlek?
Ternyata kami menuju Bioskop Mayang di daerah Talang Banjar. Bioskop kecil, dengan bangku vinil yang keras dan lantai yang agak lengket. Di dalamnya bau asap rokok dan harum kacang kulit campur jadi satu. Tapi aku nggak protes.
Karena Angga bilang,
"Tenang aja, filmnya bagus. Aku juga bawa makanan spesial."
Dan benar saja. Di dalam tas plastik hitam yang dia jepit di bawah jok motornya, Angga bawa dua bungkus bihun goreng dan kwetiau goreng dalam wadah plastic dari Toko Mentari --- toko legendaris di sebelah RRI yang juga langgananku dan Mamaku sejak kecil.
"Aku suka bihun Mentari," kataku.
"Makanya aku beliin. Aku hafal, kamu lebih suka bihun daripada nasi goreng," katanya sambil nyengir.
Bikin aku kaget --- kapan dia merhatiin?
Kami duduk di bangku pojok belakang. Film mulai diputar, suara kasetnya agak kresek-kresek, tapi tetap seru.