"Apa itu?" tanyaku curiga, saat satu mangkuk berkuah kuning menyengat disodorkan ke depan.
"Tempoyak ikan patin," jawabnya bangga.
Aku mengerutkan hidung.
"Tempoyak kan dari durian yang difermentasi..."
"Kamu udah lama di Jambi, tapi belum pernah makan makanan Jambi yang paling sakral. Coba deh, kali ini. Kalau enak, traktir aku es campur."
Aku mencicipi setengah takut.
Dan... anehnya enak. Pedas, asam, gurih, dan... bikin pengin nambah.
Aku menatap dia sambil tertawa.
"Kamu menang."
Perjalanan kami lanjut ke satu tempat yang bahkan aku belum pernah datangi sebelumnya: Candi Muaro Jambi---satu-satunya candi tua di kota ini.
Lokasinya jauh dari pusat kota, dan harus melewati jalanan tanah serta kebun karet. Tapi saat tiba, rasanya seperti masuk ke dunia lain.
Candi bata merah itu berdiri tenang di tengah hutan kecil. Tak banyak orang. Angin berembus pelan, dan langit sore terasa lembut.
Kami duduk di undakan candi, menghadap ke arah pohon-pohon besar yang menaungi situs kuno itu. Ngobrol banyak hal, sampai akhirnya Angga nanya,