Mohon tunggu...
bucek molen
bucek molen Mohon Tunggu... Konsultan

Pernah tinggal di banyak kota, mencintai beberapa orang, dan menyesali hampir semuanya. Menulis bukan untuk didengar, tapi agar suara-suara dalam kepala tak meledak diam-diam. Tidak sedang mencari pengakuan, hanya menaruh serpihan hidup di tempat yang tidak terlalu ramai.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Cinta Segitiga yang Aneh di Sekolah Favorit

10 Juli 2025   14:22 Diperbarui: 12 September 2025   07:03 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang pertama udah keren. Kalau yang kedua jelek, aku kabur."

Tak sampai lima menit, kertas itu balik lagi ke mejaku.

"Yang ini lebih adem. Tapi lebih sepi. Cocok buat ngomongin masa depan."

Aku terdiam. Masa depan? Aku nggak tahu maksudnya apa. Tapi mendadak, kelas yang bising terasa hening. Bayangan tempat sepi itu malah bikin aku lebih penasaran daripada takut.

Hari Minggu sore, aku dibonceng lagi naik motornya ---yang suaranya udah khas di telingaku sekarang.
Kami ke pusat kota, masuk ke jalan kecil di daerah kampung Manggis, menuju ke Kelenteng tua di pinggir anak Sungai Batanghari.
Aku baru tahu kalau di balik pagar kelenteng tua warna merah keemasan itu, ada taman kecil yang menghadap langsung ke sungai.

Adem. Hening. Penuh pohon besar dengan akar-akar menjuntai.
Dan suara air yang ngalir pelan seperti nggak pernah capek.

Kami duduk di bangku taman.
Saling bicara soal kuliah di Yogja.

 “Kalau kita beneran kuliah bareng nanti, aku pengen kita nggak cuma kuliah di kota yang sama. Aku pengen kita sama-sama berhasil. Setuju?”
Aku mengangguk pelan, mendadak nggak bisa bercanda. Ada sesuatu di nada suaranya yang terasa seperti janji—bukan cuma tentang Yogya, tapi tentang kami. 

“Kalau kita beneran di Yogya nanti,” katanya, “aku mau kita punya tempat nongkrong yang tetap jadi rahasia. Kayak ini.”
Aku nyengir. “Rahasia kamu itu bocornya gampang. Kamu suka pamer.”
“Ya kan cuma ke kamu,” jawabnya cepat, lalu menoleh. Senyumnya aneh—setengah malu, setengah ingin meyakinkan aku kalau dia serius.

Tiga hari setelah ke kelenteng Cina, aku tumbang. Demam.
Mama bilang mungkin masuk angin karena kebanyakan duduk di Motor. Aku nggak jawab.
Nggak mungkin juga aku cerita soal sungai dan akar beringin.

Hari itu aku nggak masuk sekolah.
Jam masih menunjukkan pukul satu siang waktu bel rumah berbunyi.
Adikku  yang bukain. Dia masuk ke kamar dan bilang,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun