"Yang pertama udah keren. Kalau yang kedua jelek, aku kabur."
Tak sampai lima menit, kertas itu balik lagi ke mejaku.
"Yang ini lebih adem. Tapi lebih sepi. Cocok buat ngomongin masa depan."
Aku terdiam. Masa depan? Aku nggak tahu maksudnya apa. Tapi mendadak, kelas yang bising terasa hening. Bayangan tempat sepi itu malah bikin aku lebih penasaran daripada takut.
Hari Minggu sore, aku dibonceng lagi naik motornya ---yang suaranya udah khas di telingaku sekarang.
Kami ke pusat kota, masuk ke jalan kecil di daerah kampung Manggis, menuju ke Kelenteng tua di pinggir anak Sungai Batanghari.
Aku baru tahu kalau di balik pagar kelenteng tua warna merah keemasan itu, ada taman kecil yang menghadap langsung ke sungai.
Adem. Hening. Penuh pohon besar dengan akar-akar menjuntai.
Dan suara air yang ngalir pelan seperti nggak pernah capek.
Kami duduk di bangku taman.
Saling bicara soal kuliah di Yogja.
“Kalau kita beneran kuliah bareng nanti, aku pengen kita nggak cuma kuliah di kota yang sama. Aku pengen kita sama-sama berhasil. Setuju?”
Aku mengangguk pelan, mendadak nggak bisa bercanda. Ada sesuatu di nada suaranya yang terasa seperti janji—bukan cuma tentang Yogya, tapi tentang kami.
“Kalau kita beneran di Yogya nanti,” katanya, “aku mau kita punya tempat nongkrong yang tetap jadi rahasia. Kayak ini.”
Aku nyengir. “Rahasia kamu itu bocornya gampang. Kamu suka pamer.”
“Ya kan cuma ke kamu,” jawabnya cepat, lalu menoleh. Senyumnya aneh—setengah malu, setengah ingin meyakinkan aku kalau dia serius.
Tiga hari setelah ke kelenteng Cina, aku tumbang. Demam.
Mama bilang mungkin masuk angin karena kebanyakan duduk di Motor. Aku nggak jawab.
Nggak mungkin juga aku cerita soal sungai dan akar beringin.
Hari itu aku nggak masuk sekolah.
Jam masih menunjukkan pukul satu siang waktu bel rumah berbunyi.
Adikku yang bukain. Dia masuk ke kamar dan bilang,