Lalu Angga datang.
Telat, seperti biasa.
Tapi kali ini... dia pakai jaket bomber warna biru tua.
Dari kejauhan, dia keliatan biasa aja.
Tapi waktu dia nyamperin  dan nyodorin satu kado, aku diem.
Bungkusnya... cuma kertas koran yang digambarin pakai spidol warna.
aku buka pelan-pelan.
Dan isinya...
Lukisan
Potret hitam putih.
AKU — versi lebih muda. Senyum kecil yang aku bahkan hampir lupa pernah kumiliki. Pakai seragam sekolah, rambut diikat ponytail seperti yang dulu sering kulakukan tanpa banyak alasan.
Gambar itu dibuat dari pensil 2B.
Bukan karya pelukis terkenal. Tapi... entah kenapa, terasa lebih jujur dari foto manapun yang pernah kuambil.
Garis-garisnya halus, penuh ketelatenan.
Bayangannya tajam tapi lembut, seperti dibuat dengan napas yang sabar. Ada lekukan pipi, bulu mata yang samar, dan bekas cekungan lesung pipit yang hanya muncul kalau aku benar-benar bahagia.
Dan yang paling bikin dada aku hangat...
Adalah kenyataan bahwa Angga pernah diam-diam memperhatikanku sedalam itu.
Yang melihat bukan hanya rupa, tapi suasana. Yang menggambar bukan hanya wajah, tapi juga perasaan.
Kadang, yang paling sederhana...
justru yang paling diingat seumur hidup.
Bukan karena nilainya, bukan karena megahnya. Tapi karena diam-diam, ia menyimpan kita... utuh. Pada versi yang mungkin sudah lama hilang, di tengah dunia yang terus berubah.