Mohon tunggu...
bucek molen
bucek molen Mohon Tunggu... Konsultan

Pernah tinggal di banyak kota, mencintai beberapa orang, dan menyesali hampir semuanya. Menulis bukan untuk didengar, tapi agar suara-suara dalam kepala tak meledak diam-diam. Tidak sedang mencari pengakuan, hanya menaruh serpihan hidup di tempat yang tidak terlalu ramai.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Cinta Segitiga yang Aneh di Sekolah Favorit

10 Juli 2025   14:22 Diperbarui: 12 September 2025   07:03 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesaat sebelum proklamasi by kasep foro

Latar Cerita:
Jambi, 1989--1991Waktu itu, HP masih jadi barang yang mewah. Belum ada Wi-Fi. Dan masih bisa  masuk ke ujung bandara asal tidak ketahuan satpam.Kalau sore hari, anak-anak remaja kadang bolos sekolah hanya untuk duduk di rumput kering dekat landasan pacu, ngerokok, dan melihat pesawat lepas landas sambil nebak-nebak:
"Yang ini ke Jakarta atau ke Medan?"
Kami sekolah di salah satu SMA swasta paling elit di kota itu. Seragamnya putih-abu biasa, tapi isinya campur aduk: anak pejabat, anak pengusaha, anak galak, anak pintar, dan beberapa anak yang ranking-nya nggak jelas, tapi wajahnya terlalu susah untuk dilupakan.
Dan dari semua kisah yang terjadi di masa itu, cuma satu yang masih tinggal di kepalaku sampai sekarang:
Cinta segitiga yang aneh antara satu anak paling pintar, satu anak paling manis, dan satu anak paling malas.

Bab 1 -- Senin Siang dan Anak Baru

"Namaku Cindy. Cindy Poeraatmadja lengkapnya. Ketua kelas, ranking 1, dan katanya aku galak.
Padahal kalau semua orang berhenti nyebelin, aku juga bisa kok jadi manis.
Tapi ya, sekolah ini nggak pernah kasih aku kesempatan itu."

Hari itu aku datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Sopirku, Pak Darto, entah kenapa lagi semangat banget nyetel lagu Have you ever seen the rain-nya CCR di tape mobil.
Aku nggak terlalu protes. Lagunya cocok sama siang yang gerah tapi mulai terlihat mendung.

Sekolahku---SMA Pelita Nusa---adalah sekolah swasta paling elit di kota Jambi.Letaknya tidak sampai 1 KM ke Bandara Sultan Thaha, atau nama lamanya bandara Paalmerah.
Parkiran motor selalu penuh, tapi tidak ada yang boleh bawa mobil. Jadi kalau jam masuk dan pulang sekolah, mobil-mobil keren pada antre jemput.

Aku anak orang kaya lama. Yang kata orang-orang, udah nggak perlu pamer karena dari dulu juga udah punya.
Papaku punya tiga SPBU, kebun karet, dan sawit yang kalau panen hasilnya alhamdulillah. Mamaku dulu model di majalah Femina.
Dan aku? Ranking 1 tiap tahun dari awal kelas 1, Ketua Ekstrakurikuler Majalah Dinding, dan Ketua Kelas.
Jadi jangan salahin aku kalau mereka bilang aku galak.

Kadang, jadi cewek di sekolah ini memang harus galak, biar nggak disamain sama cewek-cewek yang hobi ngecengin cowok di koridor depan kelas.

Di kelas, aku duduk paling depan. Deket pintu---tempat strategis kalau mau pura-pura nyimak guru sambil ngelamun. Tapi siang itu aku ngerasa aneh.
Kayak ada sesuatu yang mau terjadi, tapi belum kelihatan.

Hari itu hari Senin, ketika wali kelas masuk dengan seorang anak laki-laki tinggi---180-an---berkemeja rapi, datang ke kelas 2 IPA 1.
Namanya Marcelino Jonathans.
Wajahnya ke bule-bulean, kulitnya putih bersih, logatnya kebarat-baratan. Ia baru pindah dari Australia karena ayahnya, seorang GM perusahaan minyak swasta, ditugaskan di Jambi.

Gaya jalannya kayak model catwalk yang kesasar ke kelas IPA: tegak, langkah panjang, pandangan lurus ke depan.
Seolah-olah semua cewek melirik ke dia---dan dia tahu itu.
Malah kayaknya dia mikir, "Gue paling ganteng di sekolah ini."

Matanya bukan yang genit, tapi lebih kayak ngetes:
"Lu kuat nggak ngelihat gue?"
Ilfeel? Belum. Tapi aneh? Iya.

Wali kelas memperkenalkan Marcel dan berkata,

"Kalau ada yang ingin ditanyakan, bisa langsung ke Ketua Kelas, Cindy."

Cindy cuma mengangguk pelan. Dari bangkunya di barisan depan, dia menatap singkat ke arah Marcel.
Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat Marcel merasa seperti diperiksa langsung oleh kepala sekolah.

Besok-besoknya, dia mulai mencoba lebih deket sama aku.
Kadang di kelas, kadang pura-pura ke kantin pas aku juga lagi ke sana.
Gaya pendekatannya jelas banget: Aku cuek tapi keren, pasti cewek suka.

Dan seperti dugaan, sebagian cewek di kelasku mulai pasang tampang centil tiap Marcel lewat.
Tapi buat aku?

Cowok yang ngerasa dirinya "hadiah" buat semua orang, biasanya nggak pernah ngerti gimana rasanya jadi manusia biasa.

Waktu itu hari Jumat, udah agak siang. Aku lagi di meja depan mading, beresin layout majalah sekolah.
Marcel tiba-tiba datang---bawa satu buku catatan kecil, terus duduk di sebelahku tanpa minta izin.

"Kamu yang atur mading?"
"Hmm," jawabku tanpa nengok.
"Rapi. Tapi rada boring. Di sekolah ku dulu, tiap mading bisa pakai 3D layout."

Aku berhenti nempel kertas dan pelan-pelan nengok ke dia.
"Di Australia?"

Dia senyum. "Iya. Di sana tiap pelajaran desain udah pake komputer dari kelas 9."

"Hebat," kataku datar. "Di sini kita masih pake gunting dan lem. Tapi anak-anaknya lulus jadi dokter dan pengacara semua."

Dia kayak nggak nyadar nada suaraku mulai dingin. Malah lanjut cerita soal betapa ketinggalannya sistem sekolah di Indonesia dibanding Australia.

Sumpah. Aku udah mau gulung poster dan pulang.

Bab 2 -- Pesta, Sopir, dan Obrolan yang Garing

Beberapa hari setelah Marcel resmi jadi anak baru yang "beda sendiri," sebuah undangan ulang tahun mulai beredar.
Cherry Novia namanya, dari kelas sebelah---rumahnya katanya punya bioskop pribadi.

Semua orang membicarakan pesta itu.
Termasuk Marcel.

Siang itu, dia nyamperin aku saat aku sedang membaca di bangku panjang dekat taman sekolah.

"Cindy," katanya sambil senyum manis. "Kamu datang ke pesta itu, kan?"

Aku menutup bukuku perlahan.

"Mungkin."

"Kalo kamu mau, aku bisa jemput kamu," katanya ringan.

Aku diam sebentar. Lalu mengangguk.

"Hm. Boleh. Jemput jam tujuh, ya."

Dia senyum makin lebar.

"Sweet. I'll be there sharp. You won't regret it."

Jam tujuh tepat, BMW E30 hitam itu berhenti di depan rumahku. Sopirnya keluar, membukakan pintu.

Aku masuk. Di dalam mobil, Marcel duduk rapi. Wangi parfumnya seperti majalah fashion.

Sepanjang perjalanan, dia banyak bicara.

"Jadi waktu aku di Brisbane, aku sempat ikut debat regional. Seru sih, walaupun bahasa Inggris Aussie itu unik banget. Agak nasal, tapi gue udah biasa."

"Trus... menurut kamu, sistem pendidikan di sini tuh kayaknya agak rigid, ya? Gak kayak di luar."

Aku mendengarkan. Tapi tak benar-benar masuk.
Kata-katanya panjang. Terlalu bangga. Terlalu berusaha terlihat lebih dari yang lain.

Padahal, aku juga anak orang kaya.
Aku juga pernah ke luar negeri.
Adikku bahkan sekolah di Singapura. Aku sendiri pernah ikut summer course juga.

Aku tahu dia bukan satu-satunya yang punya paspor.
Dan dalam diam, aku merasa dia pamer ke orang yang salah.

Pestanya berlangsung seperti dugaan:
Ramai, penuh lampu kelap-kelip, musik disko, dan teman-teman sekolah yang datang pakai baju terbaik mereka.
Di ruang belakang rumah, ada layar besar dan sofa empuk.

Aku mengobrol dengan beberapa teman, makan sedikit, lalu keluar ke teras.
Tak lama, Marcel mendekat.

"Mau pulang sekarang?."

Aku menggeleng.

"Nggak usah. Aku pulang bareng Dinda, kebetulan searah."

Dia diam beberapa detik.

"Oh... okay. Ya udah, hati-hati ya."

Aku tersenyum kecil, tapi tak ada niat menoleh lagi.

Bab 3 -- Tukang Bolos, Nasi Padang H. Munir, dan Dunhill Menthol

"Kadang, yang bikin kita tertarik bukan siapa dia... tapi gimana dia bikin dunia jadi nggak sesempit itu-itu aja."

Hari itu Selasa.
Matahari nyolot banget. Udara lengket.
Dan entah kenapa, semua pelajaran hari itu terasa kayak fotokopi dari hari-hari sebelumnya.

Aku duduk di kelas, pura-pura nyatet. Padahal pikiranku udah ke mana-mana.
Buku Biologi di meja cuma jadi alasan supaya Bu Astuti gak nyamperin.

Jam 1.45 siang, aku angkat tangan.

"Ibu, saya izin ke UKS. Pusing."

Padahal bukan pusing kepala. Tapi pusing hati.

Hari itu aku bangun dengan perasaan kacau.
Malam sebelumnya aku bertengkar hebat dengan Mama.
Soal hal sepele---sebenarnya bukan sepele, tapi capek rasanya selalu dipaksa ikut apa yang bukan aku.

"Mama udah daftarin kamu les piano di Yamaha Music. Mulai minggu depan," kata Mama sambil menaruh brosur di meja makan.

"Aku nggak mau," jawabku datar.

"Kamu tuh harus punya bekal seni, Cindy. Masa anak perempuan nggak bisa main alat musik?"

Tentu saja perdebatan itu berakhir dengan Mama yang marah dan aku yang masuk kamar tanpa makan malam.
Dan siang ini, rasanya perutku kosong bukan cuma karena nggak sarapan, tapi juga karena marah yang belum selesai.

Aku keluar kelas, jalan pelan ke kantin.
Niatnya cuma beli teh botol dan duduk sebentar.

Tapi ternyata Angga lagi duduk di pojokan.

Aku tidak begitu dekat dengan dia, walaupun sekelas.
Bahkan saat melihat dia sendirian, ingatanku flashback ke awal masa sekolah saat pertama kali lihat dia.

Hari itu, awal kelas satu. Panas.
Lapangan upacara penuh dengan murid-murid baru, semuanya mengenakan kemeja putih celana bahan warna bebas---kecuali satu orang.

Aku berdiri di barisan paling depan, tegak dan rapi.
Sebelah, teman-teman sesama lulusan SMP unggulan.
Semuanya penuh semangat, deg-degan, dan siap memulai masa SMA di sekolah swasta nomor satu di Jambi.

Tiba-tiba, dari arah sisi lapangan, dua cowok dipanggil maju ke depan.
Satu pakai blue jeans, satu lagi pakai celana kargo berwarna abu abu.
Yang pakai jeans tampak nyantai banget, jalan dengan tangan di saku dan kepala agak menunduk.
Namanya disebut: Angga Zerlan dan Wahyu Prasetyo.

Cindy melirik ke temannya dan berbisik pelan,

"Anak itu sungguh dungu. Udah jelas disuruh pakai celana bahan, malah ngeyel pakai jeans."

Sejak hari itu, dalam hati Cindy, cowok itu punya nama panggilan sendiri:
Sudung---singkatan dari sungguh dungu.

Lucunya, cowok yang dihukumnya bareng ternyata anak dari guru senior sekolah itu.
Mereka disuruh hormat ke tiang bendera selama 10 menit, sementara siswa lain masih mendengarkan pidato sambutan kepala sekolah.

Waktu berlalu, panggilan Sudung tetap bertahan di kepala Cindy.
Mereka satu sekolah, tapi tidak pernah benar-benar dekat.
Angga tetap jadi si anak nyeleneh yang suka telat, bolos, dan jarang kelihatan serius.

Tapi hari itu di kantin, dia sendirian. Tidak dengan Wahyu.
Baju seragamnya dikeluarin, sepatu dicopot satu, rambut acak-acakan, dan dia lagi makan gorengan sambil baca... komik Petruk Gareng sambil ketawa sendiri.

"Kamu ngapain nggak di kelas?" tanyaku spontan.

Dia ngelirik sebentar.

"Lah, Ketua Kelas nyasar ke kantin. Dunia mau kiamat?"

Aku nyengir.

"Bosen."

Dia ketawa kecil, suaranya serak tapi ringan.
Aku nggak tahu kenapa... tapi aku duduk. Di sebelah dia.

Dan yang lebih aneh, dia nggak komentar soal itu.
Nggak sok basa-basi, nggak tanya-tanya.
Cuma lanjutin makan gorengan... dan nambahin satu buat aku.

Beberapa menit kemudian, dia melirik ke arahku dan nyeletuk:

"Bolos yuk."

Aku menatap dia sebentar. Biasanya aku bakal bilang "ngaco !", tapi hari itu... aku lelah. Lelah jadi anak baik terus.

Cuma dua kata, tapi seolah narik napas dari dadaku yang paling dalam.

Tanpa mikir panjang, aku angguk.

Lima belas menit kemudian, aku udah di jok belakang Honda GL Pro hitamnya.
Kita mampir dulu ke RM Padang H. Munir yah, laper... belom mamam," katanya.

Aku bengong.
RM H. Munir?

Aku tahu tempat itu. Letaknya agak nyempil, bangunannya dari papan kayu, dan kelihatan kayak rumah biasa.
Tapi tiap lewat sana, pasti penuh mobil pribadi parkir.

Papa pernah bilang, itu rumah makan legend. Tapi aku nggak pernah berani coba.

"Itu tempatnya kayak warung kampung, Ga."

"Iya, tapi... rasanya bintang lima," kata Angga sambil nyengir.
"Kalo kamu sakit perut, tenang aja. Biaya rumah sakit aku yang tanggung."

Aku ketawa.
Garing, tapi lucu juga.

Akhirnya... aku ikut.

Sampai di RM H. Munir, benar saja.
Bangunannya sederhana, dari papan. Tapi orang-orang berjejer nunggu giliran.
Kami duduk di bangku kayu.

Angga langsung pesen:

"Satu rendang, satu telur bebek ceplok, kuah campur. Sama es tebu."

"Dua porsi, ya," lanjutnya.

Tapi pas makanan datang...

Bau rendangnya menggoda banget.
Telur bebeknya matang di pinggir, tapi kuningnya masih lumer.
Dan es tebunya---manis, dingin, segar kayak habis mandi hujan.

Aku coba.
Dan ternyata... aku suka.

"Gimana?"

"Enak," jawabku pelan.
"Lebih enak dari rendang di RM Natrabu langganan Mama di Menteng."

Angga senyum.
Jauh amat pembandingnya.

Kami berdua motoran menuju daerah Paalmerah, lebih tepatnya masih di sekitar Bandara Sultan Thaha. Menelusuri komplek bandara, melewati tower, benteng Jepang, dan berbelok ke kanan disana ada kebun kacang panjang milik teman sekelas kami---yang pernah diceritain Lita. Tapi aku belum pernah ke sana.

"Ini tempat favorit aku," kata Angga waktu kami turun dari motor dan jalan masuk ke sela-sela kebun.

Di depan kami, terbentang pemandangan aneh tapi cantik:
Lapangan hijau, beberapa petak kacang panjang merambat di kayu-kayu kecil, dan suara pesawat mendarat di kejauhan.

"Kamu sering ke sini?"

"Kalau udah nggak kuat lihat papan tulis."

Aku ketawa.

Kami duduk di saung kecil beralaskan tikar.
Angga menurunkan tas lusuh dari jok motornya.
Dan dari situ dia keluarkan:

Termos air panas kecil yang cukup untuk 2 gelas, kopi Cap AAA, gula pasir dalam plastik kecil, dan 2 cangkir lurik warna hijau yang sedikit gosong di pinggirnya.

Aku ngakak.

"Ini serius? Kamu bawa ginian ke sekolah?"

"Kalo hidupmu sering dihukum upacara dan dikeluarkan dari kelas Fisika, kamu harus punya cadangan kenyamanan."

"Sorry, kamu ranking berapa sih?"

"31 dari 40."

Aku nyengir.

"Prestasi juga itu."

Dia ngakak.

Dia mulai menyeduh kopi.
Sendoknya dari sendok kecil plastik es krim.
Dia aduk pelan, lalu kasih ke aku duluan.

Aku ragu. Tapi saat aku seruput...
Rasanya enak. Hangat.dan sedikit pahit.

"Aku boleh ngerokok nggak?" tanya Angga.

"Asal asapnya jangan ke aku," jawabku.

Angga mengeluarkan rokok Dunhill Menthol bungkus hijau.
Aku ketawa dan ngecengin,

"Wah, kamu kayak perek. Rokoknya menthol."

Angga tertawa.

"Makanya di geng Wadezig, aku dipanggil 'Lola'."

"Lola?"

"Lonte Lanang," jawabnya, membuatku tertawa ngakak.

Dan... momen itu kayak ngebuka satu dimensi baru.

Angga itu anti-mainstream.
Udah jelas banget.
Rambut gondrongnya di saat tren cowok saat itu adalah potongan crew cut ala Tom Cruise di Top Gun, rokok mentholnya, bajunya yang lebih nyaman dari tren---semuanya menunjukkan dia nggak peduli sama omongan orang.

Dia hidup dengan caranya sendiri.
Kadang nggak bisa dimengerti, tapi terasa... gimana banget.
Sesuatu yang baru aku perhatiin.

Kami duduk di saung kecil itu, berdua.
Angin sore dari arah runway mengibas rambutku.
Kadang ada suara pesawat Garuda, Pelita atau Merpati melintas keras.
Tapi yang lebih menggelegar justru... isi obrolan kami.

Kami ngomongin apa aja.
Dari guru killer, selera musik, sampai cita-cita kuliah.

"Pengen kuliah di mana?" tanyanya.

"Dulu pengen ke luar negeri. Tapi makin ke sini... pengen ke Yogya aja. Kayaknya kota itu punya suasana yang cocok buat belajar sambil mikir."

"Yogya, ya..." Angga melirik ke langit.
"Aku juga kepikiran begitu. Pengen masuk UGM. Tapi ya... UNY atau UPN juga oke."

Aku terdiam.
Aku nggak nyangka, cowok tukang bolos ini punya harapan dan arah yang jelas.
Mungkin... aku terlalu cepat menilai.

Malamnya, aku bengong di kamar.
Marcel telepon berkali-kali, kata ART-ku.
Tapi aku lagi nggak mood berbasa-basi.

Dan pikiranku...
Masih di sore tadi.
Saat Angga ngelihat pesawat terbang dan menghilang di balik awan:

"Kamu pernah ngebayangin nggak, jadi orang yang bisa terbang ke mana pun dia mau?"

Dan aku sekarang sadar.
Angga nggak sekadar bolos dari kelas.
Dia lagi nyari cara kabur dari hidup yang bikin dia ngerasa kecil.

Dan aku?
Malah ngerasa aman di balik nilai bagus dan nama baik.

Padahal...
Mungkin aku juga lagi kabur. Tapi diam-diam.

BAB 4 -- Skorsing, Puisi paling Gombal, dan Penampilan Baru

Senin siang.
Langit masih pucat. Semilir angin dari luar kelas terasa lebih dingin dari biasanya.
Tapi suasana di ruang guru jauh lebih panas.

Aku duduk di ruang BP, tangan di pangkuan, dan mataku lurus ke depan.

Kami ketahuan bolos.
Dan yang paling menyebalkan adalah:
yang lapor itu teman sendiri, katanya demi "kedisiplinan sekolah."

Angga duduk di sebelahku. Santai banget.
Tangan di saku. Kaki digoyang-goyang. Kayak lagi nunggu giliran beli gorengan.

"Tenang aja, paling dimarahin doang," katanya pelan.

"Kamu tuh ya..." aku mendesis pelan, tapi dalam hati... aku geli sendiri.

Akhirnya keputusan keluar.
Aku? Dimaafkan.

"Cindy, ini bukan seperti kamu. Selama ini kamu anak yang disiplin, aktif, dan tidak pernah bermasalah."

Tapi Angga? Skors tiga hari.

Waktu dia dengar keputusan itu, dia cuma nyengir.

"Lumayan, libur panjang," katanya enteng waktu keluar dari ruang BP.

Hari pertama Angga tidak masuk, aku duduk di bangku seperti biasa.
Tapi ada sesuatu yang terasa aneh.
Aku merasa bersalah---kita bolos berdua, tapi hanya dia yang dihukum.
Tidak adil buatku.

Bangku di belakangku... kosong.
Dan aku, tanpa sadar, melirik ke belakang terlalu sering.

"Neng, itu tempat duduk belakang jangan diliatin terus, nanti kangen beneran," goda Desi, temanku.

"Kata anak cowok, si Angga juga nanyain kamu. Dia denger katanya kamu kehilangan."

Aku pura-pura menertawakan.
Tapi... ya. Mereka tidak salah.

Hari kedua.
Saat aku membuka laci mejaku, ada secarik kertas terselip di antara buku PR.
Aku terdiam.

Surat.
Lipatannya kusut. Kubuka pelan-pelan.

Isinya hanya gambar karikatur:
Perempuan berambut panjang dan laki-laki duduk di saung, dikelilingi tanaman kacang panjang, sambil melihat pesawat di ujung runway.

Aku terdiam lama. Tidak ada nama. Tidak ada salam. Tidak ada penjelasan.
Tapi aku tahu... itu tentang kami.

Besoknya, aku menerima surat kedua.
Isinya... puisi gombal tingkat tinggi:

Bunga mawar, bunga lili
Yang paling harum, bunga melati
Ada Lita, ada Sisy
Tapi cuma Cindy, si jantung hati

Aku nggak tahu harus ketawa... atau senyum sendiri kayak orang bego.
Puisi itu... kampungan, jelas!
Tapi aku juga tahu:
nggak ada yang bisa bikin gombal sejujur itu kecuali seseorang yang lagi suka beneran.

Aku harusnya melempar surat itu ke tong sampah.
Tapi... malah aku lipat rapi dan simpan di saku dalam tas.

Saat itu, aku merasa:
Bolos kemarin bukan cuma pelanggaran. Itu awal dari semuanya.

BAB 5 -- Seragam Rapi, Senyum Lebar, dan Sorak Sorai Satu Kelas

Hari itu, suasana kelas agak aneh.
Entah kenapa banyak yang ribut sendiri.
Padahal belum ada guru, dan biasanya semua masih pada lemas kayak ikan asin.

Aku duduk di kursi, sambil mencatat sesuatu dari buku Biologi.
Sebenarnya bukan catatan penting---aku cuma nyalin ulang PR-ku biar rapi.

Lalu tiba-tiba... seluruh kelas ribut.

"Woooooooy! Si Anggaaaaa!"
"Liat tuh! Rapih banget, cuy!"
"Buset! Siapa tuh? Ganteng amat!"
"Ganti sabun kali dia!"

Aku masih menulis, tapi karena suara itu makin menjadi, aku sontak berhenti nulis.
Aku mendongak.

Dan di pintu kelas, jarak 1 meter dari mejaku berdiri seseorang:
Kemeja putih masuk rapi ke celana abu-abu, rambut disisir ke samping, sepatu hitam bersih, dan dia membawa map kecil berisi buku.

"Permisi, ya. Saya murid baru," katanya sambil pasang muka sok polos.

"Saya dengar ada yang kangen... Masa iya?"

Dia masuk dengan senyum lebar.
Kalem. Tapi tetap cuek khas dia.

Sorak-sorai masih berlanjut sampai Bu Lisa masuk dan semua buru-buru duduk.

Aku masih menatap dia.
Untuk pertama kalinya, aku benar-benar melihat:

Rahangnya yang tegas, senyumnya yang lebar dan jujur, alis tebal yang mengesankan, dan mata yang tenang.

Dan aku tersadar...
Mungkin selama ini aku memang nggak pernah benar-benar melihat dia.

Hari itu, kelas sedang ramai karena pelajaran kosong.
Cindy sibuk mencatat sesuatu di bukunya saat Dinda, temannya di bangku belakang, mendekat dengan wajah panik.

"Cin, tolongin dong... aku dapet," bisiknya.

"Lho? Bukannya baru minggu kemarin, Din?"

"Iya, makanya aku juga bingung. belum siap sama sekali. Bisa bantuin tanyain ke cowok-cowok yang bawa motor? Aku mau pulang bentar."

Cindy langsung berdiri.
Dia menghampiri satu per satu anak cowok di kelas yang bawa motor.
Jawaban mereka hampir sama:

"Waduh... lagi males keluar."
"Aduh, takut ada razia..."
"Bilang aja sama guru BP biar dibolehin dijemput."

Cindy mulai kesal.
Padahal ini masalah darurat.
Dinda makin panik, mukanya mulai pucat.
Cindy hampir nyerah.

Tiba-tiba, suara di ambang pintu menyela:

"Aku anterin aja, Din."

Semua kepala menoleh.
Angga berdiri di sana, baru datang.

"Kalau tembus gimana, Ngga?" tanya Dinda ragu.

Angga nyengir.
"Yah... kamu cuci sendiri pakai Rinso," katanya sambil ngakak.

Seluruh kelas tertawa.
Bahkan Dinda ikut senyum malu.

Tapi Cindy masih diam.
Matanya tak lepas dari Angga.

Bukan karena candaan Rinso-nya.
Tapi karena caranya berdiri... di saat yang pas.
Tanpa diminta disaat yang lain justru menolak.

Seolah tahu kapan seseorang butuh dibela, tanpa harus jadi pahlawan.

Dan Cindy sadar --- mungkin dia selama ini cuma lihat Angga dari permukaan.

Tapi di balik telatnya, bolosnya, dan sikap nyantai-nya...
Ada seseorang yang tahu kapan harus peduli.

Dan sejak itu,
dia nggak lagi bisa lihat Sudung dengan cara yang sama.

Bab 6 -- Kembali Datang Marcel

"Kadang, rasa suka nggak butuh pengakuan. Tapi cemburu... selalu ketahuan."

Hari Jumat siang.
Panasnya bikin bayangan di aspal kelihatan goyang-goyang.

Jam istirahat kedua, perpustakaan sepi seperti biasa.
Kecuali... hari itu nggak biasa.

Aku duduk di pojok meja baca Novel Mira W "Galau remaja di SMA'
Bukunya cuma hiasan. Yang lebih menarik justru cowok di seberang meja: Angga.
Dia lagi nyoret-nyoret pensil di buku yang entah punya siapa---gambar-gambar kecil yang... surprisingly keren.
Ada artis film Meg Tilly, ada tulisan vignette, ada gambar sepatu Air Jordan bolong.

"Bosen ya?" tanyaku sambil senyum kecil.

Dia angkat bahu. "Cuma lagi pengen tempat yang nggak terlalu berisik."

"Perpustakaan bukan tempat kamu biasanya."

"Aku juga bukan orang biasa," jawabnya.

Aku ketawa kecil.
Tapi ketawaku langsung berhenti...
waktu aku lihat seseorang berdiri nggak jauh dari rak sebelah: Marcel.

Masih pakai kemeja rapi, rambut klimis, ekspresi kaku.
Dia ngelihat kami. Lama.
Pandangan yang... nggak bisa aku artikan. Tapi juga nggak bisa aku abaikan.
Dia nggak nyapa. Cuma balik badan dan keluar.

Besoknya, kejadian kedua.
Hari itu langit mendung, tapi bukan yang dramatis.
Lebih seperti mendung biasa di Jambi menjelang sore.
Jalanan padat. Suara angkot dan klakson bersahutan di sepanjang Simpang Jelutung.

Kami dari makan bakso Selekta di pertigaan talang banjar, di traktir Lita, dan Angga menawarkan mengantar pulang, aku iya.

Cindy duduk di boncengan belakang GL Pro milik Angga.
Seragam abu-abu, dan rambutnya yang tergerai ditiup angin.
Angga di depan, cuek seperti biasa.

Mereka berhenti di lampu merah.
Tepat di samping mereka: angkot merah yang isinya teman-teman seangkatan mereka.

Saat melihat siapa yang dibonceng dan siapa yang membonceng, reaksi teman-teman itu spontan dan serempak:

"WOI CINDYYY!!! PELUK!! PELUK!!!"

Gelak tawa meledak dari dalam angkot.
Ada yang menepuk-nepuk kaca. Ada yang melambai-lambai heboh.
Ada yang pura-pura pingsan karena kaget.

Teriakan dari dalam angkot merah penuh teman-teman sekelas kami membuatku kaget.
Semua wajah mengarah ke kami.

Aku hanya bisa tertawa.
Wajahku merah, tapi bukan karena malu---lebih karena geli.
Dan tanpa banyak pikir, aku yang tadinya cuma duduk diam, langsung tertawa, lalu dengan sengaja memeluk pinggang Angga sambil bercanda:

"Nih, puas?!"

Kami tertawa keras.
Masih tertawa, seolah membalas ejekan itu dengan keberanian.

Angga diam sebentar, lalu menoleh sedikit ke belakang.
Matanya bertemu mata Cindy.
Tak ada kata. Tapi jelas, itu detik yang menyegel semuanya.

Yang mereka tidak tahu...

Di belakang angkot itu ada BMW E30 warna hitam yang dikenali banyak orang.
Di kursi penumpang depan duduk Marcel.
Wajah kaku. Tatapan tajam.
Dia melihat semuanya. Dari sorakan... hingga pelukan.

BMW-nya berhenti tepat satu mobil di belakang kami.
Dan dia melihat segalanya.

Senin itu Marcel nyamperin aku di selasar kelas.

"Cindy," sapanya, dengan nada yang nggak biasanya.

"Hmm?"

"Kamu lagi deket sama Angga?"

Aku ngangkat alis.

"Lagi pengen ngobrol aja."

Marcel diem sebentar.

"Aku pikir... kamu bukan tipe cewek yang bisa nyambung sama orang kayak dia."

Aku nggak langsung jawab.
Tapi nadaku tenang, meski dalam hati agak panas.

"Aku juga pikir, kamu bukan tipe cowok yang suka nilai orang cuma dari ranking dan catatan BK."

Dia kaget. Sepersekian detik matanya goyah.
Tapi Marcel tetap Marcel.
Dia tarik dagu sedikit, balik senyum, tipis.

"Ya udah. Cuma nanya."

Dia pergi. Tapi aku tahu:
bukan cuma nanya.

Marcel mulai ngerasa kehilangan.
Dan dia juga tahu...
aku bukan lagi cewek yang duduk manis dengerin dia cerita soal Australia.

Dan aku?
Masih nggak yakin apa yang lagi aku rasain ke Angga.
Mungkin baru tahap simpati.

Bab 7 -- Pesta, Lampu Disko, dan Slow Dance Tak Terduga

Malam itu, pesta ulang tahunku.
Kami semua kumpul di halaman belakang rumah yang sudah disulap jadi area pesta.
Lampu-lampu gantung berkelap-kelip, ada DJ---teman sekelas---yang muter lagu-lagu disko dari Jason Donovan, Milli Vanilli, Modern Talking, Debbie Gibson, dan lain-lain.

Dress code-nya semi-formal.
Anak-anak cewek pakai rok span atau dress simpel, cowok pakai kemeja putih atau jaket kulit.
Angin malam lembut, musik berdentum, dan aroma sate lilit dari katering semerbak di udara.

Acaranya standar.
Snack banyak. Minuman kaleng numpuk. Kue tart ukuran setengah ban mobil.
Semua ikut joget. Sampai tiba momen potong kue dan... pemberian kado.

Kado pertama dari geng cewek:
Dompet Charles & Keith.
Kado dari Marcel: Parfum mahal dari luar negeri.
Kado dari Wahyu: Buku psikologi cinta.
Kado dari teman lain: tas, jam tangan Swatch, pouch branded, dan masih banyak lagi

Semua ditumpuk di meja panjang.
Rapi. Wangi. Mengkilap.

Lalu Angga datang.
Telat, seperti biasa.
Tapi kali ini... dia pakai jaket bomber warna biru tua.
Dari kejauhan, dia keliatan biasa aja.

Tapi waktu dia nyamperin  dan nyodorin satu kado, aku diem.

Bungkusnya... cuma kertas koran yang digambarin pakai spidol warna.

aku buka pelan-pelan.
Dan isinya...

Lukisan

Potret hitam putih.

AKU — versi lebih muda. Senyum kecil yang aku bahkan hampir lupa pernah kumiliki. Pakai seragam sekolah, rambut diikat ponytail seperti yang dulu sering kulakukan tanpa banyak alasan.
Gambar itu dibuat dari pensil 2B.
Bukan karya pelukis terkenal. Tapi... entah kenapa, terasa lebih jujur dari foto manapun yang pernah kuambil.

Garis-garisnya halus, penuh ketelatenan.
Bayangannya tajam tapi lembut, seperti dibuat dengan napas yang sabar. Ada lekukan pipi, bulu mata yang samar, dan bekas cekungan lesung pipit yang hanya muncul kalau aku benar-benar bahagia.

Dan yang paling bikin dada aku hangat...

Adalah kenyataan bahwa Angga pernah diam-diam memperhatikanku sedalam itu.
Yang melihat bukan hanya rupa, tapi suasana. Yang menggambar bukan hanya wajah, tapi juga perasaan.

Kadang, yang paling sederhana...
justru yang paling diingat seumur hidup.
Bukan karena nilainya, bukan karena megahnya. Tapi karena diam-diam, ia menyimpan kita... utuh. Pada versi yang mungkin sudah lama hilang, di tengah dunia yang terus berubah.

Setelah tiup lilin dan potong kue,
DJ bilang lewat mic-nya:

"Kita masuk sesi disco party, ya! Tapi sebelum itu, seperti tradisi... kita kasih waktu 5 menit buat slow dance. Silakan yang mau turun ke tengah, cari pasangan."

Lampu berubah redup.
Lagu berganti.

Dan...

mengalunlah intro yang familiar:

I see you... beside me...
It's only a dream...

… It only reminds me of you
When I turn out all the lights
Even the nights
It only reminds me of you
Only you

It Only Reminds Me of You -- St. Paul.

Aku berdiri di samping meja minuman, menyesap soda pelan.
Tiba-tiba, seseorang mendekat dari samping.

"Cindy..."

Suara itu... lembut. Tapi nggak salah lagi.
Itu Angga.

Aku menoleh.
Dia berdiri dengan  santai, rambut masih disisir rapi, tapi ada sedikit angin yang membuat poninya jatuh ke dahi.

"Temenin aku sebentar," katanya.
"Cuma lima menit."

Aku menatapnya sebentar.

"Kamu bisa dansa?"

"Nggak," dia nyengir. "Tapi aku pengen nyoba... sama kamu."

Dan malam itu,
di bawah langit Jambi yang penuh bintang,
di antara anak-anak sekolah elit dengan sepatu mengilap dan kue ulang tahun dari toko mahal,
aku berdansa dengan Angga.

Langkah kami kaku. Kadang menginjak kaki.
Tapi dia terus menatapku.
Dan aku...
nggak bisa berhenti senyum.

Tangannya nggak terlalu erat. Tapi cukup hangat.

Tapi...

waktu aku melirik ke sisi kanan taman---tepat ke arah dekat minuman kaleng dan cake ulang tahun,
aku melihat seseorang berdiri diam: Marcel.

Dia tidak tersenyum.
Wajahnya kaku. Matanya... tajam.
Seolah ingin bicara banyak hal tapi tertahan semua di tenggorokan.
Bukan marah. Bukan cemburu yang elegan.

Dan aku tahu,
dia sedang menyesali satu hal besar:
telat satu langkah dari Angga.

Setelah lagu selesai, kami berdua mundur pelan.
Tangan kami lepas.
Tapi jantungku masih belum kembali ke ritmenya yang biasa.

Bab 8 -- Kantin Telanai dan Penolakan yang Lembut

Kalau ditanya...
apakah aku pernah memberi kesempatan pada Marcel?
Jawabannya: ya.
Bahkan... tiga kali.

Pertama, dia mengajakku ke coffee shop di hotel terkenal---katanya punya kopi Arabika terbaik.
Interiornya memang mewah. Musik jazz-nya lembut. Kursinya empuk.
Tapi... aku sudah pernah ke sana. Bahkan beberapa kali. Bersama keluargaku.
Obrolan kami?
Dipenuhi kisah soal kehidupannya di Australia, soal surfing, soal SMA yang katanya "lebih bebas dan kreatif."

Aku senyum. Tapi dalam hati...
aku sudah tahu cerita ini dari film. Dan rasanya bukan untukku.

Kedua, dia mengajakku makan malam di restoran all you can eat---steamboat dan BBQ di dekat Bandara.
View-nya bagus. Lampunya temaram. Menu-nya ribet.
Dan lagi-lagi, tempat itu bukan tempat asing buatku.
Aku sudah sering diajak Papa-Mama ke sana untuk jamuan kerja.

Dan aku mulai menyadari sesuatu:
Marcel tidak benar-benar ingin mengenalku.
Dia hanya ingin mengesankan aku---dengan tempat dan cerita.
Bukan dengan dirinya sendiri.

Ketiga, kami sempat ikut rombongan teman-teman ke acara amal sekolah.
Tapi Marcel malah menarikku ke lounge hotel sebelah acara, dan bicara soal bisnis keluarganya.
Bagaimana ayahnya punya investasi minyak di berbagai kota, dan betapa susahnya jadi anak ekspat.

"Aku tuh udah biasa sama tekanan," katanya.
"Dan kadang aku butuh seseorang yang ngerti."

Aku hanya mengangguk.
Tapi dalam hati aku berpikir:
Aku pun hidup dalam tekanan. Tapi... aku tidak merasa perlu menceritakannya terus-menerus untuk dianggap kuat.

Sejak itu, aku mulai menjaga jarak.
Marcel baik. Tampan. Mapan.
Tapi...
nggak ada kejutan.
Nggak ada petualangan.
Nggak ada tawa yang bikin aku lupa waktu.

Dan mungkin,
itulah kenapa...
GL Pro-nya Angga lebih berasa nyaman daripada E30-nya Marcel.

Sore itu, hujan baru reda. Jalanan masih basah. Langit mendung menggantung, dan udara terasa lembap.
Cindy datang tepat waktu. Ia turun dari Camry putih diantar Pak Darto, lalu masuk ke sebuah kafe kecil yang lagi hits di zamannya: Kantin Telanai, tak jauh dari gerbang Universitas Jambi.

Interior kafe itu sederhana tapi manis.
Lampu temaram. Poster film Hollywood di dinding.
Aroma kopi dan rokok bercampur jadi satu.

Di pojok ruangan, Marcel sudah duduk lebih dulu.
Kemeja putih digulung di lengan, rambut klimis.
Di mejanya sudah ada dua gelas milkshake cokelat dan sepiring kentang goreng.
Gaya khas cowok yang selalu siap lebih dulu.

"Thanks, udah mau datang," kata Marcel pelan.

"Tumben ngajak ke tempat beginian," jawab ku sambil duduk.

Marcel tersenyum kaku. "Aku cuma pengin ngobrol santai. Bukan di sekolah, bukan di mobil. Di tempat yang... biasa."

Hening sebentar.
Marcel memainkan sendok di tangannya, lalu menatap Cindy dalam-dalam.

"Aku suka sama kamu, Cindy."

"Aku tahu kamu mungkin belum bisa nerima. Tapi aku ngerasa kita cocok. Kita punya banyak kesamaan. Kita ngerti gaya hidup satu sama lain."

Aku tersenyum. Lalu berkata pelan, tapi mantap:

"Kita mungkin cocok... tapi nggak nyambung, Cel."

Marcel diam.

"Aku pernah nyoba... tiga kali jalan sama kamu. Coffee shop di hotel, lounge dekat bandara, resto seafood mahal. Tapi semua itu tempat yang... aku udah sering ke sana sama keluarga aku sejak kecil. Gak ada yang baru."

"Trus yang baru itu... yang kayak gimana?" tanya Marcel. Nadanya mulai tajam.

Aku menatap meja. Lalu menjawab jujur:

"Aku nggak bisa jawab, Cel. Nanti malah menyakiti perasaan kamu. Karena aku yakin kamu pasti bakal bandingin dengan style kamu sendiri.
Aku nggak pernah suka ngebandingin orang. Masing-masing punya gaya sendiri.
Nah, sorry to say... gaya kamu gak masuk di aku."

Marcel terdiam.

"Maaf, Cel."
"Aku pernah coba membuka diri untuk kamu."
"Tapi sejujurnya... aku nggak pernah merasa benar-benar nyambung."
"Kita datang dari dunia yang mirip. Tapi... itu aja nggak cukup."

Wajahnya menegang. Tapi dia masih berusaha tersenyum.

"Karena dia, ya?"

"Angga?"

"Sejujurnya sampai saat ini aku belum ada hubungan spesial dengan Angga. Masih sama kayak hubungan kita: hanya teman.
Dan ya... aku sedang dekat dengan dia."

Sebelum pergi, dia hanya bilang:

"Aku cuma nggak habis pikir."
"Kenapa dia... dan bukan aku?"

Dan aku tidak ingin menyakitinya lebih jauh.
Tapi kalau boleh jujur...
karena dia datang tanpa janji, tanpa pamer, tanpa rencana...
hanya dengan kopi pahit, nasi padang, dan senyum yang tidak dibuat-buat.

Tapi justru di situ...
aku merasa paling hidup.

Saat Cindy berdiri, Marcel masih duduk diam.
Hujan mulai turun lagi.
Tapi Cindy tidak terburu-buru menutup kepalanya.
Langkahnya ringan.
Entah kenapa...
kali ini hujan tidak terasa menyebalkan.

Bab 9 -- Sungai, Pohon, dan Percakapan Tentang Nanti

Setelah puisi dan gambar itu, aku pikir semuanya akan canggung. Tapi justru sebaliknya---besoknya, Angga ngajak jalan lagi.

"Weekend ini, ikut yuk. Tempat bolos favorit yang kedua," tulisnya di secarik kertas, lipatan ujungnya sudah lecek karena bolak-balik diselipkan lewat tangan teman sekelas. 

Aku cepat-cepat membalas:

"Yang pertama udah keren. Kalau yang kedua jelek, aku kabur."

Tak sampai lima menit, kertas itu balik lagi ke mejaku.

"Yang ini lebih adem. Tapi lebih sepi. Cocok buat ngomongin masa depan."

Aku terdiam. Masa depan? Aku nggak tahu maksudnya apa. Tapi mendadak, kelas yang bising terasa hening. Bayangan tempat sepi itu malah bikin aku lebih penasaran daripada takut.

Hari Minggu sore, aku dibonceng lagi naik motornya ---yang suaranya udah khas di telingaku sekarang.
Kami ke pusat kota, masuk ke jalan kecil di daerah kampung Manggis, menuju ke Kelenteng tua di pinggir anak Sungai Batanghari.
Aku baru tahu kalau di balik pagar kelenteng tua warna merah keemasan itu, ada taman kecil yang menghadap langsung ke sungai.

Adem. Hening. Penuh pohon besar dengan akar-akar menjuntai.
Dan suara air yang ngalir pelan seperti nggak pernah capek.

Kami duduk di bangku taman.
Saling bicara soal kuliah di Yogja.

 “Kalau kita beneran kuliah bareng nanti, aku pengen kita nggak cuma kuliah di kota yang sama. Aku pengen kita sama-sama berhasil. Setuju?”
Aku mengangguk pelan, mendadak nggak bisa bercanda. Ada sesuatu di nada suaranya yang terasa seperti janji—bukan cuma tentang Yogya, tapi tentang kami. 

“Kalau kita beneran di Yogya nanti,” katanya, “aku mau kita punya tempat nongkrong yang tetap jadi rahasia. Kayak ini.”
Aku nyengir. “Rahasia kamu itu bocornya gampang. Kamu suka pamer.”
“Ya kan cuma ke kamu,” jawabnya cepat, lalu menoleh. Senyumnya aneh—setengah malu, setengah ingin meyakinkan aku kalau dia serius.

Tiga hari setelah ke kelenteng Cina, aku tumbang. Demam.
Mama bilang mungkin masuk angin karena kebanyakan duduk di Motor. Aku nggak jawab.
Nggak mungkin juga aku cerita soal sungai dan akar beringin.

Hari itu aku nggak masuk sekolah.
Jam masih menunjukkan pukul satu siang waktu bel rumah berbunyi.
Adikku  yang bukain. Dia masuk ke kamar dan bilang,

"Temen sekolah kamu datang. Bawa sesuatu."

Aku kaget. Kukira Marcel. Tapi ternyata bukan.

Angga.

Dia berdiri di depan pagar. Nggak masuk.
Hanya melambaikan tangan dan nyodorin plastik bening dari balik sela pagar.

Isinya?
Majalah Gadis dan Anita Cemerlang edisi terbaru. Masih segel.

"Aku nggak tau kamu udah baca yang ini belum. Tapi biasanya kamu kan suka bagian 'Cewek Banget'," katanya sambil nyengir kecil.

Aku terdiam, berdiri dengan piyama dan rambut belum disisir.

Dia nggak lama. Cuma lima menit.

"Tadi bilang ke Mama, ini tugas kelompok. Tapi kayaknya Mama kamu nggak percaya," katanya pelan, lalu jalan pelan ke motornya.

Aku senyum sendiri.
Karena dia datang.
Bawa majalah, dan perhatian, tanpa pernah diminta.

Bab 10 -- Surat wangi berwarna Pink dan Penyiar Radio Malam

Naik ke kelas tiga, sekolah mulai ramai.

Persiapan UAN, bimbel, les sana-sini. Tapi juga ramai karena satu hal lagi: siswi baru.

Dulu kelas 1 di sekolah kami tapi pas naik kelas 2 pindah ke sekolah lain tapi masih di Yayasan yang sama, hanya lokasinya yang beda. Tidak tahu kenapa pas kelas 3 balik lagi kesini

Namanya Natasya Wiradini, tapi semua manggil dia Echa.

Anak gaul. Rambut panjang, poni samping, kuku selalu kinclong, dan tiap hari ganti tas---kadang Guess, kadang Elle, kadang nggak bermerek tapi tetap kelihatan mahal. Selain jadi pusat perhatian, Echa juga penyiar radio anak muda paling hits di Jambi. Suaranya renyah, playlist-nya selalu enak, dan tiap malam mengudara dengan gaya khas yang centil tapi cerdas.

Yang paling cepat beredar di lorong-lorong sekolah:

Echa suka sama Angga.

"Gila, masa anak kayak gitu demennya ke Angga?" kata Rani waktu kami di kantin.

Aku nggak jawab.
Cuma nyendokin kuah bakso pelan-pelan sambil pura-pura nggak peduli.
Tapi dalam hati, jujur... aku kepo juga.
Dan mungkin sedikit... cemburu.

Angga emang bukan tipe cowok favorit anak-anak cewek di sekolah kami.
Rambutnya gondrong, suka bolos, nilai pas-pasan, kadang malah dicuekin guru.
Tapi... tetap aja aku suka.

Kadang aku mikir, berarti seleraku rendah, ya?

Biasanya aku dengerin siaran Echa cuma buat dengerin lagu-lagunya. Nggak pernah benar-benar memperhatikan dia ngomong apa. Tapi setelah tahu dia suka lagi sama Angga, malam itu aku duduk di kamar, nungguin jam siarannya.

Penasaran.
Kira-kira... dia bakal nyebut nama Angga nggak?

Malam itu, aku sengaja diam di kamar lebih lama. Biasanya siaran Echa cuma jadi latar suara saat aku belajar atau nyisir rambut. Tapi malam ini berbeda.

Karena aku tahu, dia suka sama Angga lagi. Dan karena aku... ya, lagi dekat juga sama Angga.

Kumatikan lampu. Kubuka jendela sedikit. Angin malam masuk pelan-pelan, dan suara radio terdengar makin jelas.

Dan sialnya... pas lagi serius dengerin, tiba-tiba suara Echa yang ceria itu bilang:

"Lagu ini spesial banget buat seseorang yang bikin aku deg-degan tiap kali papasan di koridor sekolah. Tiap aku lirik kamu di bangku belakang, ini Buat kamu, Angga."

Lalu diputarlah lagu Robbie Nevil -- What Everybody Wants.

What everybody wants... is to be loved...
Everybody needs... to be loved...
What everybody wants... is someone... like I want you...

Aku diam.

Bukan karena lagunya galau, tapi karena aku benar-benar mendengarkannya.

Liriknya bicara tentang seseorang yang pernah belajar menyembunyikan luka, dan tentang orang lain yang datang membawa harapan. Tentang nggak perlu sendirian lagi, tentang cinta yang datang tanpa banyak janji---tapi nyata.

Dan aku tahu --- itu semua tentang Angga.

Aku tau karena Angga cerita soal Echa waktu hari pertama dia masuk kelas ini

Dan Echa... dulu pernah meninggalkannya. Saat dia mulai membuka diri.

Lalu sekarang dia datang lagi, dengan puisi dan lagu di radio.

Dan aku bertanya dalam hati:
Ini permintaan maaf?
Atau... cuma kebiasaan siaran yang dramatis?

Aku nggak tahu.
Yang aku tahu... aku males dengar lagu ini sampai habis.

Tanganku refleks memutar tombol off Denon FM tuner-ku.

Klik.
Radio kumatikan.

Dan kamar kembali sepi.

Tapi di kepalaku, lagu itu masih bergema.

Pelan. Lirih. Tapi jelas:

What everybody wants... is someone... like I want you...

Dan aku harap...

Angga tahu siapa yang benar-benar menginginkannya.

Besoknya, makin keliatan lenjeh-lenjehnya Echa ke Angga.

Echa mulai nulis surat buat Angga. Iya, surat beramplop pink. Tinta biru, huruf bulat-bulat, wangi parfum.

Angga baca. Nggak bilang apa-apa. Terus duduk di bangku belakang kelas. Aku duduk di bangku depannya.

Waktu itu, Angga ngeluarin pulpen. Nulis di kertas sobekan binder. Terus dilipat. Ditaruh di atas mejaku.

"Aku balas surat Echa," katanya.
"Tapi kamu yang baca dulu."

Aku membuka kertas itu perlahan.

Tulisannya cuma satu kalimat:

"Hatiku telah terisi wangi bunga yang lain."

Aku diam. Menatap huruf-huruf biru yang ditulis dengan cepat tapi rapi itu.

"Ini buat Echa?" tanyaku pelan.

Angga mengangguk. "Iya. Kamu yang kasih, ya?"

Aku menatap dia agak lama. Lalu menjawab pelan, "Aku nggak bisa kasih ini."

Dia mengerutkan dahi. "Kenapa?"

Aku menarik napas.

"Karena... aku bukan pacarmu. Nanti orang kira aku yang nyuruh kamu nolak dia."

Angga terdiam. Pandangannya lurus ke papan tulis kosong. Lalu senyum tipis.

"Iya juga, ya."

Dia berdiri, menoleh ke bangku belakang.

"Wen," panggilnya pelan.

Wendi, temannya yang duduk di sebelah Echa, langsung menoleh.

"Titip ini, ya," kata Angga sambil menyelipkan kertas kecil itu ke tangan Wendi.

Wendi melongo, tapi mengangguk pelan. "Buat Echa?"

Angga tersenyum.

"Buat yang pernah bikin aku nunggu... tapi akhirnya aku sadar, ternyata bukan dia yang aku cari."

Sore nya setelah pulang sekolah, sewaktu dia nungguin aku di jemput pak Darto, aku nanya soal hubungannya dengan Echa,

"Selama ini kita jaga jarak," katanya. "Mungkin karena sekarang sekelas dan ketemu terus dalam satu ruangan, dia jadi merhatiin lagi."

Cindy nanya lagi. "Kenapa baru sekarang?"

Angga senyum. "Baru sadar kali... kalo gue ganteng."

Aku tertawa. Dan mencubit lengannya. "Gantengnya telat dateng. Baru muncul pas kelas 3."

Tapi aku benci mengakui... Dia emang ganteng. Tapi cuma kalau senyum. Dan cuma kalau aku yang lihat.

Sejak itu, Echa nggak pernah nempel-nempel atau godain Angga lagi.
Paling hanya ucap hai dan senyum tipis saat papasan di lorong.

Dan aku?
Untuk pertama kalinya... merasa lega.

 

Bab 11 -- Malam Pesta dan Dinner Mie celor di Murni.

Pesta ulang tahun  Adelina itu sebenarnya biasa aja. Rumahnya gede, iya. Wajar sih, bapaknya pengusaha sukses, rumah luas dan nyaman, panjangnya dari belakang kantin BNI sampai ujung Hoktong,

Aku datang sama Angga.

Dia pakai jas hitam dan kemeja hitam juga, dipadu dengan blue jeans belel dan sepatu kesayangannya: Converse all black.
Aku sendiri pakai gaun putih selutut, jaket kulit, dan sepatu Doc Mart ala-ala gothic gitu.

Dia jemput aku pakai mobil hardtop tua warna biru gelap. Mobil ayahnya, katanya. Tapi dinginnya kayak kulkas---AC-nya kenceng banget sampai aku harus pegang jaket selama perjalanan.

"Aku takut masuk angin," kataku.
Dia ketawa. "Kebiasaan mobil tua. Yang dingin cuma AC-nya. Yang lain udah butut semua."

Meski mobilnya berisik dan pintunya harus ditutup dua kali biar rapet, aku malah ngerasa nyaman. Nyetirnya pelan. Musiknya pelan. Dan aku bisa ngobrol tanpa harus basa-basi.

Sesampainya di sana, Marcel udah duluan. Seperti biasa: rapi banget. Kemeja kotak-kotak, rambut belah samping, dan aroma parfum mahal yang terlalu kuat.

Waktu matanya nemu aku dan Angga datang bareng, aku bisa lihat dari jauh---ada sesuatu yang berubah di wajahnya.

Dia tetap senyum. Tetap sok ramah. Tapi tangannya ngucek-ngucek kancing kemeja, dan dia nunduk sebentar.

Marcel nggak bodoh.
Dia tahu.
Dia lihat.

Aku sempat mendekat, menyapa.

"Hai."
Dia balas dengan lirih, "Kamu datang sama dia?"
Aku angguk. "Iya. Dia ngajak duluan."
"Hmm." Hanya itu.

Pesta pun berjalan. Anak-anak sibuk karaoke, nonton film, makan kue mahal, dan foto-foto. Tapi sepanjang malam aku sadar, Marcel berkali-kali melirik. Entah ke arahku, atau ke arah Angga. Atau ke kami berdua.

Saat Angga ngajak aku keluar sebentar dari keramaian---hanya buat menghisap Dunhillnya dan lihat bulan dari balkon lantai dua---aku tahu mata itu lagi ngikutin kami.

Selesai pesta, Angga tanya,

"Mau langsung pulang atau...?"

Aku jawab,

"Laper. Terserah mau diajak ke mana."

Kami pun duduk berdua di bangku plastik, makan mie celor pakai telur setengah matang di sebuah warung kecil di daerah Murni.
Sepi, adem, dan jauh dari suara anak-anak pesta tadi.

Suara jangkrik, lampu neon yang kedip-kedip di langit-langit warung, dan aroma kaldu dari mangkok kami bikin suasana makin aneh... tapi nyaman.

Angga menyeruput mie-nya sambil mendesah pelan.

"Ini baru enak."

Aku mencicipi sedikit, lalu mengangguk.

"Kamu bawa aku ke tempat yang nggak pernah kebayang."

Dia nyengir sambil nyuap lagi.

"Kadang yang sederhana justru paling enak."

Aku memperhatikan dia sebentar. Cara dia mangku mangkok sambil duduk selonjoran. Cara dia makanin telur setengah matangnya pelan-pelan, kaya takut hancur. Dan... cara dia sesekali melirik ke arahku, tapi pura-pura nggak peduli.

Aku nunduk.

"Kamu nyaman ya, jadi diri sendiri?"

Dia angkat alis. "Maksudnya?"

"Maksudku... kamu nggak maksa buat keliatan keren. Atau kaya. Atau pintar."

Dia mengangkat bahu.

"Ngapain? Kalau gak bisa jadi diri sendiri, nanti malah kayak... ikut pesta orang tapi nggak kenal siapa-siapa."

Aku nyengir. "Kamu nyindir aku?"

Dia ketawa. "Nggak. Tapi kamu juga keliatan beda malam ini."

Aku memandang mangkokku.

"Aku juga ngerasa beda."

Malam itu, tanpa musik pesta, tanpa lampu mewah, tanpa parfum mahal dan formalitas, aku merasa benar-benar jadi Cindy---yang gak perlu jadi siapa-siapa.

Hanya cewek yang duduk di warung mie celor, bareng cowok yang tampangnya Judes dan ngeselin.

Bab 12 -- 100 Meter dari Garuda dan Kalimat Paling Serius dari Anak Paling Santai

Weekend itu papa dan mama ke Singapore liat ade ku, kangen katanya,

Jadi Minggu itu aku bebas pergi dari pagi, Angga jemput. Mau ngajak jalan-jalan.
Dia pakai kaus putih, jeans, dan jaket Grifone warna hitam.
Aku pakai kaus putih tanpa lengan, dengan luaran jaket bomber ---punya dia.

Pertama Kami pergi ke Jalan Mayjen Sutoyo dekat RS Umum Jambi, dia ajak aku makan dendeng batokok khas Kerinci,enak banget aku sampai tambah dendengnya dua kali, rumah makan itu dekat kerumahku tapi aku malah tidak tahu, pinter dia nyari tempat makan

Lepas itu Kami mampir sebentar ke kopi HOHO di depan hotel Abadi.
Beli roti bakar isi srikaya , susu Ultra rasa stroberi, dan orange juice merek Gogo.

Aku kembali ngecengi Angga.
Wajah sangar tapi minumnya susu stroberi.

Angga bilang,
"Dari kecil aku minum ini kalau ada sesuatu yang bikin aku senang atau sedang merayakan sesuatu."
"Apa tuh?" tanyaku.
"Nanti juga kamu tahu sendiri."

Angin berembus pelan, bawa bau tanah kering dan asap dari pembakaran ladang entah di mana.
Aku duduk di ujung saung kecil, di tengah kebun kacang panjang milik orang tuanya Adi---teman sekelas kami.
Kalau kamu landing di runway 31 maka tempat itu pas ada di sebelah kanan di ujung runway.
Kami ngobrol seperti biasa Tapi sore itu terasa... lain.

Langit oranye kemerahan. Awan menggumpal seperti lukisan minyak.
Dan di kejauhan, sebuah Boeing 737 classic milik Garuda Indonesia bersiap di ujung runway.

Angga menuang kopi dari termos kecil. Masih kopi AAA yang sama. Harum dan pahit.
Kami duduk dalam diam yang cukup lama.

Lalu, saat suara mesin pesawat mulai meraung, dia bicara:

"Kalau misalnya kamu belum punya cowok... kamu suka nggak sama aku?"

Aku menoleh. Ekspresiku mungkin seperti mau ketawa. Tapi mataku... nggak bercanda.

"Emang kalau aku suka sama kamu, terus kita mau ngapain?"

Dia senyum. Wajahnya sedikit tegang, tapi matanya serius.

"Aku mau kamu nemenin hari-hari aku."

Pesawat mulai bergerak perlahan. Deru mesinnya makin keras.
Tapi buatku, suara paling kencang sore itu adalah detak jantungku sendiri.

Aku menatap Angga---
Cowok yang dulu kupanggil "Sudung" dari lapangan upacara.

Yang muka nya Judes kalau lagi mingkem tapi mendadak manis kalau tersenyum.
Yang suka telat.
Yang suka bolos.
Yang gampang kasihan sama orang. Yang suka bantuin, walau gak diminta.
Dan yang... entah sejak kapan, mulai mengisi ruang dalam diriku.

Aku mengangguk.

"Iya," kataku pelan.

Dan di detik yang sama, pesawat Garuda itu meluncur di runway,
meraung keras menembus langit sore Jambi yang merah tembaga.
Seperti proklamasi, bukan dengan pidato... tapi dengan mesin dan langit yang ikut menyaksikan.

Angga berdiri. Turun dari saung kecil itu.
Mengambil susu Ultra stroberi, lalu men-toss ke cangkir kopi di tanganku.
Lalu dia minum lewat sedotan.

"Mari kita rayakan sekarang!" teriaknya.

Aku tertawa.

"Oh... ini maksudnya? Pantes Ultra-nya nggak langsung diminum. Takut ditolak, ya?"

Angga ngakak.

Bab 13 -- Tempoyak, Candi, dan Pertanyaan Aneh

Sejak hari itu di bandara, kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Tapi Angga punya caranya sendiri untuk menunjukkan sayang---bukan lewat kata-kata manis, tapi lewat hal-hal kecil yang... khas dia.

Hari Minggu itu, dia mengajakku ke seberang kota.

"Aku pengin ngajak kamu ke tempat yang belum pernah kamu datengin," katanya.

Kami naik motor, menyusuri jalanan Jambi, melewati jembatan besar yang membelah Sungai Batanghari, lalu masuk ke wilayah yang lebih sunyi. Di sepanjang jalan, kami melihat deretan rumah panggung, pohon rambutan yang sedang musim, dan warung-warung kecil dengan kursi plastik.

Kami berhenti di satu warung makan sederhana di tepi sungai. Di atas meja plastik biru, Angga memesan makanan tanpa bertanya dulu padaku.

"Apa itu?" tanyaku curiga, saat satu mangkuk berkuah kuning menyengat disodorkan ke depan.
"Tempoyak ikan patin," jawabnya bangga.

Aku mengerutkan hidung.

"Tempoyak kan dari durian yang difermentasi..."
"Kamu udah lama di Jambi, tapi belum pernah makan makanan Jambi yang paling sakral. Coba deh, kali ini. Kalau enak, traktir aku es campur."

Aku mencicipi setengah takut.

Dan... anehnya enak. Pedas, asam, gurih, dan... bikin pengin nambah.

Aku menatap dia sambil tertawa.

"Kamu menang."

Perjalanan kami lanjut ke satu tempat yang bahkan aku belum pernah datangi sebelumnya: Candi Muaro Jambi---satu-satunya candi tua di kota ini.

Lokasinya jauh dari pusat kota, dan harus melewati jalanan tanah serta kebun karet. Tapi saat tiba, rasanya seperti masuk ke dunia lain.

Candi bata merah itu berdiri tenang di tengah hutan kecil. Tak banyak orang. Angin berembus pelan, dan langit sore terasa lembut.

Kami duduk di undakan candi, menghadap ke arah pohon-pohon besar yang menaungi situs kuno itu. Ngobrol banyak hal, sampai akhirnya Angga nanya,

"Kamu bisa berenang?"
"Bisa dong," jawabku.

Dia tersenyum.

"Oke, kita ke Danau Sipin."
"Masa berenang di danau?" tanyaku heran.

Dia cuma ketawa.

Menjelang senja, kami berdua naik perahu kecil di Danau Sipin. Angga menyewa dari anak-anak kampung yang biasa menawarkan tumpangan. Langit sore kemerahan. Air tenang, dan suara riak perahu pelan sekali.

Kami duduk saling berhadapan. Diam. Hanya menikmati langit yang berubah warna pelan-pelan seperti lukisan air.

Saat perahu bergoyang ringan, aku bertanya sambil melihat ke arahnya:

"Kalau misalnya hari itu aku nggak ke kantin, kita nggak bolos, terus kita nggak pernah jadi deket... kamu bakal suka sama aku?"

Angga nggak langsung jawab. Dia mengambil waktu beberapa detik. Baru kemudian suaranya terdengar pelan tapi jelas:

"Siapa sih yang nggak suka sama yang bagus-bagus?
Kamu cantik, pintar, anak golongan the haves, dibanggakan guru-guru."

"Semua perempuan ingin jadi seperti kamu. Semua laki-laki ingin jadi pacarmu," katanya sambil melirikku.

"Tapi jujur, kamu tuh out of my league. Dulu aku cuma bisa lihat kamu dari jauh dan mikir... kamu dari dunia yang lain, makanya kita dulu hampir ga pernah ngobrol padahal sekelas."

"Kayak cerita percintaan di Desa Belah Tengah-nya Asterix. Terlalu banyak halangan," lanjutnya.

"Two different worlds," katanya sok Inggris.

Aku menoleh padanya.

"Terus kenapa kamu tetap ngedeketin?"

Dia senyum kecil.

"Karena ternyata  kamu nggak semenyeramkan yang aku kira.
Dan aku senang waktu tahu, ternyata kamu bisa diajak ketawa."

Kami diam sejenak. Perahu terus melaju pelan. Angin sore menyibak rambutku.

Lalu, Angga gantian bertanya. Suaranya agak parau:

"Kalau aku nggak ngajak kamu bolos hari itu... kamu bakal pernah suka sama aku?"

Aku mengernyit kecil.

"Mungkin enggak."
Lalu aku tertawa.
"Tapi itu bukan berarti kamu nggak pantas disukai, ya."

"Terus kenapa sekarang?"
Dia menatapku.

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Karena kamu beda.
Kamu nunjukin hal-hal yang nggak pernah aku lihat sebelumnya.
Kamu nggak nyoba jadi orang lain. Dan kamu bikin aku merasa... nyaman."

Angga diam. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku tahu, dia menyimpan kata-kata itu dalam-dalam.

Aku masih penasaran dengan isi hatinya. Jadi aku tanya,
“Kalau misalnya waktu itu aku nolak kamu, gimana?”

Angga menjawab sambil nyengir,
“Pertanyaan kamu dari tadi berat-berat semua. Nanti perahu kita tenggelam keberatan.”

“Cepet jawab!” kataku, pura-pura marah.

Senyum nakalnya kembali muncul setelah lama tak kulihat.

“Aku boleh ngerokok?” tanyanya.

“Boleh,” jawabku.

“Nanti asapnya kena kamu,” katanya lagi.

“Gapapa, buruan jawab!” kataku sambil memercikkan air danau ke wajahnya.

“Ok, dengan satu syarat,” lanjutnya.

“Apa?”

“Kamu pegang tangan aku dan bilang: ‘Angga, hari ini kamu ganteng sekali.’”

Aku ketawa ngakak. Aku tahu dia lagi ngerjain aku. Tapi akhirnya aku lakukan juga.

“Nah, sekarang jawab!”

Angga menghisap Dunhill-nya pelan-pelan, lalu berkata,
“Kalau kamu nolak aku... I walk out of your life. Gentleman style.”

Dia menarik napas lagi, menatap mataku dalam,
“Aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Kita akan kembali seperti dulu—ngobrol seperlunya saja,” katanya tenang.

Angin sore menyapu rambutku pelan. Aku tersenyum tipis. Karena sekarang, aku tahu semuanya. Isi hatinya. Dan entah kenapa, itu cukup untuk membuatku ingin sedikit lebih lama bersama sama dia di perahu kecil ini.

Senja jatuh sempurna di atas danau. Warna langit berubah dari jingga ke ungu, dan suara jangkrik mulai terdengar dari pinggir danau.

Di antara kebisuan dan gema air, aku tahu---kami sedang berada di titik paling jujur dalam hubungan kami.

 

 Bab 14 -- Sinchia, Bihun Mentari, dan Sebuah Bioskop penuh asap rokok

Hari itu Sinchia. Tahun baru Imlek. Dan seperti biasa, siswa SMA kami yang masuk siang cuma belajar dua mata pelajaran, lalu diperbolehkan pulang untuk menghormati perayaan teman-teman yang merayakan.

Sehari sebelumnya, Angga sudah nyeletuk tanpa banyak kode:
"Besok kita jalan aja ya. Nggak usah ikut Sinchia. Nonton yuk."
Aku cuma ngangguk. Entah kenapa... aku selalu ngangguk kalau dia ngajak.

Kami janjian ketemu di depan sekolah, karena katanya ada yang mau di ambil dulu. Angga datang pakai jaket jeans lusuhnya dan aku naik sambil ragu-ragu. Mau nonton apa di hari Imlek?

Ternyata kami menuju Bioskop Mayang di daerah Talang Banjar. Bioskop kecil, dengan bangku vinil yang keras dan lantai yang agak lengket. Di dalamnya bau asap rokok dan harum kacang kulit campur jadi satu. Tapi aku nggak protes.

Karena Angga bilang,
"Tenang aja, filmnya bagus. Aku juga bawa makanan spesial."

Dan benar saja. Di dalam tas plastik hitam yang dia jepit di bawah jok motornya, Angga bawa dua bungkus bihun goreng dan kwetiau goreng dalam wadah plastic dari Toko Mentari --- toko legendaris di sebelah RRI yang juga langgananku dan Mamaku sejak kecil.

"Aku suka bihun Mentari," kataku.
"Makanya aku beliin. Aku hafal, kamu lebih suka bihun daripada nasi goreng," katanya sambil nyengir.
Bikin aku kaget --- kapan dia merhatiin?

Kami duduk di bangku pojok belakang. Film mulai diputar, suara kasetnya agak kresek-kresek, tapi tetap seru.

Kami makan sambil nonton. Gokil sih, pertama kalinya dalam hidupku makan bihun goreng panas-panas sambil nonton film layar lebar --- bukan popcorn, bukan Pepsi.

Di tengah-tengah film, sambil tanganku megang sumpit kayu dan mulut masih mengunyah, aku melirik dia dan mendadak berpikir:

"Banyak banget hal baru yang aku dapetin sejak kenal dia.
Mulai dari makan tempoyak, main perahu sore-sore, naik motor ke ujung bandara, lihat pesawat sambil ngopi berdua, duduk malam malam sambil makan jagung bakar di pinggir sungai, sampai sekarang --- makan bihun sambil nonton di bioskop yang bebas ngerokok...
Semuanya seru. Semuanya beda. Dan semuanya bikin aku... senang."

Dan saat Angga menyodorkan Gogo juice dari saku jaketnya, aku tersenyum.

"Seru kan?" katanya.
Aku hanya mengangguk.

Hatiku terasa ringan.

Bab 15 -- Kelulusan dan Langit yang Berbeda

Hari itu sekolah kami penuh bunga, pita-pita warna-warni, dan wajah-wajah penuh harap.

Pagi dimulai dengan upacara pelepasan siswa kelas 3. Semua murid duduk rapi di bawah tenda putih di lapangan. Seragam disetrika licin. Sepatu disemir. Wajah-wajah yang biasanya ribut di kelas, hari itu diam dan penuh arti. Beberapa teman bahkan menangis diam-diam saat lagu Hymne Guru diputar.

Angga duduk di sebelahku, memakai kemeja putih dengan celana abu-abu yang entah kenapa hari itu terlihat pas banget di tubuhnya. Rambutnya disisir ke belakang, tapi tetap saja beberapa helai jatuh di dahi. Senyum kecil terus ada di bibirnya sejak tadi.

Marcel ada di barisan depan. Duduk tegap. Wajahnya tenang, tapi aku tahu dia sedang menyiapkan diri untuk hal yang lebih besar.

setelah upacara, semua keluar ke halaman. Sesi foto dimulai. Tiap kelas minta difoto bareng. Ada yang bawa kamera saku, ada juga yang nebeng kamera orang tua murid.

Aku, Angga, dan Marcel berdiri di kerumunan.

Sampai kemudian Marcel melangkah pelan ke arah kami dan berkata:

"Boleh nggak kita bertiga foto bareng?"

Aku dan Angga saling pandang sejenak, lalu mengangguk.

Marcel berdiri di kiri. Cindy ditengah, ekspresinya canggung tapi berusaha tersenyum.

Setelah jepretan pertama selesai, Angga tiba-tiba bilang dengan tenang, "Coba yang ini... kalian berdua aja."

Aku kaget. Begitu juga Marcel.

"Tapi---" kataku pelan, belum sempat menyelesaikan kalimat, Angga sudah mundur setengah langkah sambil memberi isyarat tangan.

Marcel menatapnya. Ada sesuatu di matanya---campuran terkejut, tersentuh, dan mungkin... lega.

"Terima kasih, Ga," katanya, pelan tapi sungguh-sungguh.

Aku dan Marcel berdiri berdampingan. Tersenyum ke kamera.

Klik.

Aku tahu, foto itu mungkin akan jadi satu-satunya kenangan visual kami bertiga. Dan anehnya, aku bersyukur. Karena semuanya bisa ditutup dengan baik.

Setelah sesi foto selesai, Marcel menatap kami berdua.

"Semoga kalian bahagia, ya," katanya tulus.

Aku mengangguk pelan. "Kamu juga, Marcel."

Hari itu, tidak ada air mata. Tidak juga pelukan panjang. Tapi ada yang lebih tulus dari semua itu: penerimaan.

Dan mungkin... perpisahan yang baik, adalah saat semua orang bisa berjalan ke masa depan tanpa dendam di punggung.

Beberapa menit kemudian, saat suasana mulai lebih cair, Echa tiba-tiba muncul dari kerumunan dan menarik lengan Angga.

"Eh, Ga... foto berdua, yuk."
Angga sempat bingung. Tapi akhirnya mengangguk.

Setelah beberapa detik hening, Echa menatap Angga agak lama. Tatapan yang seperti sedang mengunci sebuah momen agar tak mudah lepas dari ingatan.

Lalu ia berkata pelan, nyaris seperti gumaman yang tertahan di tenggorokan sendiri,
"Aku mau kuliah ke Amrik... Mungkin ini terakhir kita ketemu."

Angga menahan napas sebentar. Tapi ia hanya mengangguk kecil. Seperti orang yang sudah belajar menerima kepergian, meski belum benar-benar siap.

Sebelum mereka berpose, sebelum senyum pura-pura diabadikan kamera,
Echa tiba-tiba membungkuk sedikit lebih dekat, lalu berbisik... cukup pelan, hanya untuk mereka berdua.

"Ngga... aku mau minta maaf. Dulu, waktu kita kelas satu... aku yang mulai. Tapi juga aku yang tiba-tiba ngejauh. Aku nggak tahu kenapa waktu itu aku kayak takut... takut sama perasaanku sendiri."

Suara Echa bergetar sedikit. Bukan karena sedih yang meledak, tapi karena penyesalan yang sudah terlalu lama disimpan dalam diam.

Angga menoleh sedikit. Ada senyum tipis di wajahnya — bukan senyum lega, tapi lebih seperti senyum yang tahu: tak semua yang pernah indah bisa diulang kembali.
Dan tidak apa-apa.

Echa melanjutkan, suaranya semakin pelan, seperti mengecil agar tak pecah di udara,
"Sekarang aku tahu... waktu itu kamu tulus. Tapi aku yang belum siap. Aku yang salah, karena pergi sebelum sempat mengerti."

Dan di antara mereka, tak ada yang membalas dengan kalimat panjang.
Tak ada janji, tak ada "semoga ketemu lagi".
Hanya sepasang mata yang tahu: beberapa hal memang tidak harus punya akhir yang lengkap. Cukup diingat... sebagai sesuatu yang pernah nyaris jadi indah, tapi harus selesai sebelum waktunya.

Lensa kamera berbunyi.

Angga mengangguk pelan. "Semoga sukses, Cha."

"Kamu juga. Dan... jaga Cindy baik-baik."
Lalu Echa melangkah pergi.

Malamnya, seperti malam-malam terakhir sebelum libur panjang, Echa mengudara satu kali lagi dari radio tempat dia siaran. Tapi kali ini, suaranya terdengar berbeda. Lebih tenang. Lebih tulus.

"Hai semua. Ini malam terakhir aku siaran bareng kalian. Terima kasih untuk kebersamaan selama tiga tahun. Untuk semua salam, semua request, semua cerita kita yang numpang lewat di frekuensi ini."
"Dan buat pasangan baru kita... Angga dan Cindy, semoga kalian terus saling jagain. Dan tetap jadi diri kalian sendiri."

Setelah jeda napas singkat, dia berkata:

"Lagu terakhir malam ini... lagu yang pernah bikin aku deg-degan. Tapi kali ini, aku putar bukan karena galau. Tapi sebagai ucapan selamat tinggal. Ini untuk kalian semua."

Lagu pun diputar:
"True Colors" -- Cyndi Lauper

Dan entah kenapa, malam itu... suara radio terasa seperti pelukan.

Bukan yang bikin lengket. Tapi yang bikin tenang.

Karena akhirnya, semua orang berjalan ke arah masing-masing...
Tapi saling mengucapkan selamat tinggal dengan baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun