Wali kelas memperkenalkan Marcel dan berkata,
"Kalau ada yang ingin ditanyakan, bisa langsung ke Ketua Kelas, Cindy."
Cindy cuma mengangguk pelan. Dari bangkunya di barisan depan, dia menatap singkat ke arah Marcel.
Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat Marcel merasa seperti diperiksa langsung oleh kepala sekolah.
Besok-besoknya, dia mulai mencoba lebih deket sama aku.
Kadang di kelas, kadang pura-pura ke kantin pas aku juga lagi ke sana.
Gaya pendekatannya jelas banget: Aku cuek tapi keren, pasti cewek suka.
Dan seperti dugaan, sebagian cewek di kelasku mulai pasang tampang centil tiap Marcel lewat.
Tapi buat aku?
Cowok yang ngerasa dirinya "hadiah" buat semua orang, biasanya nggak pernah ngerti gimana rasanya jadi manusia biasa.
Waktu itu hari Jumat, udah agak siang. Aku lagi di meja depan mading, beresin layout majalah sekolah.
Marcel tiba-tiba datang---bawa satu buku catatan kecil, terus duduk di sebelahku tanpa minta izin.
"Kamu yang atur mading?"
"Hmm," jawabku tanpa nengok.
"Rapi. Tapi rada boring. Di sekolah ku dulu, tiap mading bisa pakai 3D layout."
Aku berhenti nempel kertas dan pelan-pelan nengok ke dia.
"Di Australia?"
Dia senyum. "Iya. Di sana tiap pelajaran desain udah pake komputer dari kelas 9."
"Hebat," kataku datar. "Di sini kita masih pake gunting dan lem. Tapi anak-anaknya lulus jadi dokter dan pengacara semua."