Aku tidak begitu dekat dengan dia, walaupun sekelas.
Bahkan saat melihat dia sendirian, ingatanku flashback ke awal masa sekolah saat pertama kali lihat dia.
Hari itu, awal kelas satu. Panas.
Lapangan upacara penuh dengan murid-murid baru, semuanya mengenakan kemeja putih celana bahan warna bebas---kecuali satu orang.
Aku berdiri di barisan paling depan, tegak dan rapi.
Sebelah, teman-teman sesama lulusan SMP unggulan.
Semuanya penuh semangat, deg-degan, dan siap memulai masa SMA di sekolah swasta nomor satu di Jambi.
Tiba-tiba, dari arah sisi lapangan, dua cowok dipanggil maju ke depan.
Satu pakai blue jeans, satu lagi pakai celana kargo berwarna abu abu.
Yang pakai jeans tampak nyantai banget, jalan dengan tangan di saku dan kepala agak menunduk.
Namanya disebut: Angga Zerlan dan Wahyu Prasetyo.
Cindy melirik ke temannya dan berbisik pelan,
"Anak itu sungguh dungu. Udah jelas disuruh pakai celana bahan, malah ngeyel pakai jeans."
Sejak hari itu, dalam hati Cindy, cowok itu punya nama panggilan sendiri:
Sudung---singkatan dari sungguh dungu.
Lucunya, cowok yang dihukumnya bareng ternyata anak dari guru senior sekolah itu.
Mereka disuruh hormat ke tiang bendera selama 10 menit, sementara siswa lain masih mendengarkan pidato sambutan kepala sekolah.
Waktu berlalu, panggilan Sudung tetap bertahan di kepala Cindy.
Mereka satu sekolah, tapi tidak pernah benar-benar dekat.
Angga tetap jadi si anak nyeleneh yang suka telat, bolos, dan jarang kelihatan serius.
Tapi hari itu di kantin, dia sendirian. Tidak dengan Wahyu.
Baju seragamnya dikeluarin, sepatu dicopot satu, rambut acak-acakan, dan dia lagi makan gorengan sambil baca... komik Petruk Gareng sambil ketawa sendiri.
"Kamu ngapain nggak di kelas?" tanyaku spontan.