Angga berdiri. Turun dari saung kecil itu.
Mengambil susu Ultra stroberi, lalu men-toss ke cangkir kopi di tanganku.
Lalu dia minum lewat sedotan.
"Mari kita rayakan sekarang!" teriaknya.
Aku tertawa.
"Oh... ini maksudnya? Pantes Ultra-nya nggak langsung diminum. Takut ditolak, ya?"
Angga ngakak.
Bab 13 -- Tempoyak, Candi, dan Pertanyaan Aneh
Sejak hari itu di bandara, kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Tapi Angga punya caranya sendiri untuk menunjukkan sayang---bukan lewat kata-kata manis, tapi lewat hal-hal kecil yang... khas dia.
Hari Minggu itu, dia mengajakku ke seberang kota.
"Aku pengin ngajak kamu ke tempat yang belum pernah kamu datengin," katanya.
Kami naik motor, menyusuri jalanan Jambi, melewati jembatan besar yang membelah Sungai Batanghari, lalu masuk ke wilayah yang lebih sunyi. Di sepanjang jalan, kami melihat deretan rumah panggung, pohon rambutan yang sedang musim, dan warung-warung kecil dengan kursi plastik.
Kami berhenti di satu warung makan sederhana di tepi sungai. Di atas meja plastik biru, Angga memesan makanan tanpa bertanya dulu padaku.