Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi editan pribadi (sumber gambar asli: Wikimedia Commons / Warwick Goble) 

Dari Laptop Butut Seseorang yang Ingin jadi Penerjemah

Aku masih ingat hari ketika untuk pertama kalinya aku membaca Kataribe no List. Manga itu bercerita tentang benda-benda antik yang memiliki kekuatan aneh: sebuah arloji yang dapat memundurkan waktu, sebuah kelereng yang dapat menemukan apa pun, dan sebatang kapur yang mampu merenggut nyawa manusia. Dalam kisah itu, benda-benda tersebut tampak berakar dari dongeng-dongeng klasik yang pernah kita dengar sekilas waktu kecil, hanya saja kini dihadirkan kembali dengan cara yang misterius, bahkan agak kelam. Saat menutup halaman terakhir manga itu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang aneh: rasa kagum, sekaligus dorongan kuat untuk menelusuri kembali sumber kisah-kisah itu. Seolah ada suara kecil yang berkata, "Cobalah kembali ke asal semua dongeng ini."

Sejak saat itu, aku mulai mencari-cari buku dongeng klasik, dan langkah pertamaku jatuh pada nama yang paling sering disebut: Grimm Bersaudara. Di rak-rak toko buku dan perpustakaan, aku menemukan beberapa terjemahan, namun sebagian besar hanyalah kumpulan dongeng pilihan, bukan keseluruhan naskah. Padahal, Grimm Bersaudara tidak hanya mengumpulkan"Putri Salju" atau "Hansel dan Gretel". Mereka mengumpulkan dua ratus sepuluh kisah, masing-masing dengan nuansa, logika, dan keajaiban yang berbeda. Keinginan untuk membaca semuanya dalam bahasa Indonesia membuatku mulai menerjemahkannya sendiri, satu per satu, dari teks aslinya yang berbahasa Jerman maupun dari edisi terjemahan Inggris yang lebih lengkap.

Proyek itu bermula tanpa niat besar, hanya sebagai bentuk cinta kecil pada dunia cerita. Namun semakin jauh aku masuk ke dalam hutan dongeng Grimm, semakin aku sadar bahwa di balik kisah-kisah sederhana tentang anak kecil, binatang berbicara, dan raja-raja yang bijak atau dungu, tersembunyi sejarah panjang tentang cara manusia memahami moral, keajaiban, dan penderitaan. Terjemahan menjadi cara bagiku untuk menyentuh kembali akar dari imajinasi kolektif manusia Eropa, yang entah bagaimana juga memantul ke dalam budaya kita sendiri.

Perjalanan menerjemahkan dua ratus sepuluh kisah Grimm membuatku sering berhenti dan bertanya-tanya: dari mana datangnya semua ini? Dari mana asal "ibu peri" yang menolong, atau "ibu tiri" yang selalu kejam? Lalu aku menemukan bahwa sebelum Grimm Bersaudara menulis dan menyusun kembali dongeng-dongeng mereka, sudah ada penulis lain yang menempuh jalan serupa, di negeri dan zaman berbeda. Aku pun mulai menelusuri nama-nama yang disebut dalam berbagai catatan, dan perhentianku berikutnya jatuh pada Charles Perrault dari Prancis dan Hans Christian Andersen dari Denmark.

Dari Perrault, aku belajar bahwa dongeng tidak hanya sekadar hiburan bagi anak-anak, melainkan juga pantulan sopan santun istana dan budaya literer abad ke-17. Ia menulis "Cinderella", "Sleeping Beauty", dan "Little Red Riding Hood" dalam gaya yang elegan, penuh pelajaran moral dan selera istana. Sedangkan Andersen, yang hidup lebih dari seabad kemudian, membawa dongeng keluar dari dinding kastil dan menanamkannya kembali ke dalam hati manusia biasa. Dalam ceritanya, penderitaan sering kali tidak berakhir dengan bahagia, tetapi justru menyingkapkan keindahan dalam duka, seperti dalam "The Little Mermaid" atau "The Match Girl". Dari mereka, aku memahami bahwa dongeng berkembang mengikuti zaman, dan setiap penulis membawa pantulan masyarakatnya sendiri.

Namun, semua penelusuran itu akhirnya menuntunku semakin jauh ke masa lampau, menuju satu nama yang sering hanya disebut sekilas: Giambattista Basile. Seorang bangsawan dari Napoli pada abad ke-17, Basile menulis Lo cunto de li cunti atau Pentamerone, kumpulan lima puluh kisah rakyat dalam dialek Neapolitan yang menjadi cikal bakal dari begitu banyak dongeng yang kita kenal sekarang. Di dalamnya, aku menemukan benih cerita yang kelak diolah oleh Perrault dan Grimm: "Cenerentola", versi awal dari Cinderella; "La Gatta Cenerentola", yang lebih gelap dan lebih getir daripada versi istana; serta kisah "Petrosinella", nenek moyang Rapunzel yang dikurung di menara. Membaca Basile terasa seperti menyusuri naskah purba yang masih kasar, penuh aroma rakyat jelata, dengan logika yang kadang ajaib, kadang kejam, tapi selalu jujur terhadap naluri manusia.

Semakin aku mengenal Basile, semakin aku merasa bahwa lingkar perjalananku menemukan bentuknya. Grimm menyalin dan menyusun ulang dongeng dengan semangat dokumenter; Perrault menulisnya sebagai cermin moral kaum bangsawan; Andersen menjadikannya medium renungan pribadi yang puitis; sementara Basile adalah akar, tanah yang menyuburkan semuanya. Maka aku memutuskan untuk menutup pencarian itu di sana, di tempat semuanya bermula, dengan keinginan untuk menghadirkan suaranya dalam bahasa kita sendiri.

Menerjemahkan dongeng-dongeng ini bukan perkara mudah. Kadang aku harus berhenti lama hanya untuk mencari satu kata yang terasa benar. Bahasa Indonesia modern memiliki banyak padanan yang efisien, tetapi tidak semuanya mampu memelihara nuansa kuno dan lembut dari teks asal. Dalam kisah Grimm atau Basile, misalnya, kata "forest" tidak sekadar berarti hutan, melainkan tempat yang menyimpan rahasia, tempat di mana manusia diuji oleh nasib. Atau kata "maiden", yang bukan sekadar gadis, melainkan lambang kemurnian dan sekaligus keterasingan. Tantangan seperti itu membuatku terus menimbang: seberapa jauh penerjemah boleh menyesuaikan diri dengan pembaca tanpa mengkhianati suara pengarangnya?

Akhirnya aku memilih berdiri di antara keduanya. Aku ingin bahasa Indonesia dalam buku ini terasa hidup dan bisa dinikmati siapa pun yang mencintai cerita, tetapi juga tetap menjaga aroma kuno yang membuat dongeng-dongeng itu berbeda dari kisah modern. Aku tidak berusaha memodernkannya, sebab keindahan dongeng justru lahir dari jarak waktu: dari bahasa yang terasa agak asing, dari nilai-nilai yang mungkin tidak lagi mutlak, dan dari imajinasi yang menganggap hutan bisa berbicara atau hewan bisa menasihati manusia.

Proyek ini, yang bermula dari keisengan seorang pembaca manga, akhirnya menjadi perjalanan panjang yang mengajarkanku banyak hal. Aku belajar bahwa menerjemahkan bukan hanya memindahkan kata, melainkan juga menyebrangkan roh cerita dari satu dunia ke dunia lain. Aku belajar bahwa dongeng tidak pernah mati; ia hanya menunggu seseorang yang mau mendengarkan kembali bisikannya. Dan aku belajar bahwa dalam setiap kisah, baik yang bahagia maupun yang getir, selalu ada cermin kecil bagi diri kita sendiri.

Mungkin hasil terjemahan ini belum sempurna. Tapi setiap kalimat yang kutulis di laptop butut ini lahir dari rasa kagum yang sama yang dulu kurasakan saat pertama membaca Kataribe no List. Kagum pada benda-benda yang memuat sihir, pada kata-kata yang bisa mengubah waktu, dan pada kisah yang mampu membuat manusia percaya bahwa keajaiban masih mungkin ada, asal kita mau mencarinya.

Kepada siapa pun yang membaca buku ini, aku berharap semoga kau menemukan sesuatu yang sama: rasa ingin tahu, rasa takjub, atau sekadar kenangan kecil pada masa ketika dongeng masih terasa nyata. Jika itu terjadi, maka seluruh perjalanan panjang ini---malam-malam menerjemah, menimbang, dan menulis ulang---tidaklah sia-sia.

Sekilas tentang Giambattista Basile

Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 
Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 

Giambattista Basile (15 Februari 1566 -- 23 Februari 1632) adalah seorang penyair, penulis, dan pengumpul dongeng asal Italia dari Kerajaan Napoli. Ia dikenal sebagai penyusun Lo Cunto de li Cunti overo lo trattenemiento de peccerille, yang lebih populer dengan nama Il Pentamerone, sebuah kumpulan dongeng berbahasa Neapolitan yang dianggap sebagai karya tertua dalam tradisi dongeng Eropa. Melalui karyanya itu, Basile menempatkan dirinya sebagai salah satu perintis awal dalam sejarah sastra rakyat dan dongeng modern.

Basile lahir di Giugliano in Campania, dekat Napoli, dari keluarga kelas menengah. Dalam masa mudanya ia menjalani kehidupan yang berpindah-pindah, bekerja sebagai prajurit dan kemudian sebagai pegawai istana bagi sejumlah pangeran Italia, termasuk bagi Doge Venezia. Pengalamannya di lingkungan istana memberinya akses kepada kebudayaan literer dan seni musik yang sedang berkembang di Italia pada masa itu. Di Venezia, ia mulai menulis puisi dan karya sastra lainnya. Sekembalinya ke Napoli, Basile bergabung dengan lingkaran kesusastraan di bawah perlindungan Don Marino II Caracciolo, Pangeran Avellino, dan kepadanya ia mempersembahkan karya idilnya, L'Aretusa (1618). Menjelang akhir hidupnya, ia memperoleh gelar kebangsawanan sebagai Conte di Torone.

Karya sastra awal Basile yang tercatat muncul pada tahun 1604 dalam bentuk prakata untuk Vaiasseide karya sahabatnya, Giulio Cesare Cortese. Setahun kemudian, puisinya Smorza crudel amore digubah menjadi lagu, dan pada 1608 ia menerbitkan puisi religius berjudul Il Pianto della Vergine. Walaupun produktif menulis dalam berbagai bentuk, namanya kini terutama diingat karena satu karya besar: kumpulan dongeng yang ia tulis dalam dialek Neapolitan dengan nama pena Gian Alesio Abbatutis.

Lo Cunto de li Cunti overo lo trattenemiento de peccerille diterbitkan secara anumerta oleh saudari Basile, Adriana, dalam dua jilid pada tahun 1634 dan 1636 di Napoli. Judulnya berarti "Kisah dari Segala Kisah, atau Hiburan bagi Si Kecil", dan dalam perkembangan selanjutnya karya itu dikenal luas dengan nama Pentamerone. Struktur karyanya menyerupai Decameron karya Boccaccio, terdiri atas lima hari penceritaan dengan sepuluh kisah di setiap harinya, sehingga berjumlah lima puluh cerita. Basile menulisnya dalam bahasa rakyat sehari-hari, bukan bahasa Italia tinggi, dengan tujuan mempertahankan warna lokal dan humor rakyat Napoli.

Kisah-kisah dalam Pentamerone menggambarkan dunia rakyat Italia Selatan pada awal abad ke-17, dengan latar yang berpindah antara hutan, istana, dan desa-desa di wilayah Basilicata, terutama di sekitar kota Acerenza. Dalam dunia itu, makhluk gaib, raja, penyihir, dan rakyat jelata hidup berdampingan di bawah logika ajaib yang kadang kejam, kadang jenaka, namun selalu menggambarkan naluri manusia secara jujur. Salah satu ciri penting dari karya Basile ialah keberaniannya menghadirkan unsur kasar dan gelap yang sering dihapus dalam versi-versi dongeng kemudian. Humor rakyat, ironi terhadap kaum bangsawan, serta kritik terhadap keserakahan dan kemalasan menjadi motif berulang di banyak ceritanya.

Pentamerone memuat bentuk paling awal dari sejumlah dongeng yang kini dikenal di seluruh dunia, seperti Cenerentola (Cinderella), Petrosinella (cikal bakal Rapunzel), Sun, Moon and Talia (yang menjadi dasar Sleeping Beauty), serta berbagai kisah yang kemudian diadaptasi ulang oleh Charles Perrault di Prancis dan oleh Grimm Bersaudara di Jerman. Dalam karyanya, Basile juga memperkenalkan sosok ogre atau raksasa pemakan manusia, yang kemudian menjadi salah satu tokoh khas dalam dongeng Eropa. Dengan demikian, Pentamerone bukan sekadar kumpulan cerita rakyat, melainkan fondasi awal bagi tradisi dongeng literer yang berkembang setelahnya.

Meski ditulis dalam bahasa Neapolitan yang kala itu dianggap rendah dan sulit dipahami di luar Italia Selatan, karya ini lambat laun memperoleh pengakuan besar. Untuk waktu yang lama Pentamerone nyaris dilupakan, hingga kemudian pada abad ke-19 Grimm Bersaudara menyebutnya sebagai "koleksi dongeng nasional pertama" dan mengakui pengaruhnya terhadap proyek mereka sendiri. Sejak saat itu, para ahli sastra dan folklor mulai menempatkan Basile sebagai penghubung penting antara tradisi lisan rakyat dan bentuk sastra tertulis.

Secara struktural, Pentamerone memperlihatkan kemampuan Basile dalam memadukan cerita berbingkai dengan gaya tutur rakyat. Ia menggunakan narator perempuan, Shahrazad versi Italia, untuk mengikat kisah-kisah yang diceritakan dalam lima hari. Bahasa yang digunakan kerap penuh permainan kata, metafora, dan peribahasa rakyat, yang memberi warna khas pada karyanya. Meskipun tidak semua kisahnya ditujukan bagi anak-anak, pengaruhnya terhadap perkembangan sastra anak kemudian tidak dapat disangkal.

Kini, Pentamerone diakui sebagai tonggak penting dalam sejarah sastra dunia. Ia tidak hanya membuka jalan bagi Perrault dan Grimm dalam menyusun tradisi dongeng modern, tetapi juga memberikan pandangan berharga tentang budaya, humor, dan nilai moral masyarakat Italia abad ke-17. Pada abad ke-21, karyanya kembali dikenal luas melalui adaptasi film Tale of Tales (2015) yang mengambil inspirasi dari beberapa ceritanya, memperlihatkan bahwa keajaiban, kekejaman, dan keindahan yang dirangkai Basile empat abad lalu masih mampu berbicara kepada penonton masa kini.

Dalam sejarah panjang sastra rakyat Eropa, Giambattista Basile berdiri sebagai mata rantai pertama yang mengikat tradisi lisan dengan bentuk tulisan. Ia menyalin bukan hanya cerita, melainkan juga cara berbicara dan cara berpikir masyarakatnya. Dari dialek Neapolitan yang jenaka hingga tema moral yang tersembunyi di balik kekerasan dan keajaiban, Pentamerone menampilkan cermin yang jujur tentang kehidupan manusia sebagaimana adanya.

Tanpa Basile, mungkin tidak akan ada Perrault yang menuliskan Contes de ma mre l'Oye dengan gaya istana Prancis, atau Grimm Bersaudara yang mengumpulkan kisah rakyat Jerman dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Setiap dongeng modern, dari Cinderella hingga Rapunzel, sesungguhnya masih membawa jejak samar dari pena Basile. Karena itu, menerjemahkan dan membaca kembali Pentamerone bukan hanya usaha untuk mengenal kisah lama, tetapi juga untuk menelusuri asal mula imajinasi Eropa yang telah membentuk cara dunia bercerita hingga hari ini.

Sekilas tentang Pentamerone, atau Lo cunto de li cunti

Il Pentamerone, Volume II (1636) --- Wikimedia Commons 
Il Pentamerone, Volume II (1636) --- Wikimedia Commons 

Di antara reruntuhan kastil dan kebun jeruk Napoli abad ketujuh belas, Giambattista Basile menulis sesuatu yang tak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya: sebuah kumpulan dongeng yang seluruhnya ditulis dengan kesadaran sastra. Karyanya diberi judul Lo cunto de li cunti overo lo trattenemiento de peccerille, yang dalam bahasa sehari-hari berarti "Kisah dari segala kisah, atau Hiburan bagi Si Kecil". Namun dunia mengenalnya dengan nama yang lebih ringkas dan abadi, Il Pentamerone.

Basile menyusun lima puluh kisah dalam bingkai lima hari, mengikuti jejak Decameron karya Giovanni Boccaccio, tetapi dengan napas yang sama sekali berbeda. Jika Boccaccio menggambarkan kisah-kisah cinta dan kecerdikan manusia di tengah wabah Firenze, maka Basile menghadirkan dunia dongeng yang liar, penuh takhayul, kutuk, dan keajaiban. Pentamerone adalah jembatan antara tradisi tutur rakyat Italia Selatan dan sastra barok istana; sebuah karya yang menyatukan bahasa rakyat dan seni puisi istana dalam satu kesatuan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Basile menulisnya dalam dialek Neapolitan, bukan dalam bahasa Italia baku. Dengan pilihan itu, ia bukan hanya mencatat cerita, melainkan juga irama, nyanyian, dan kelakar rakyatnya. Dialek itu memberinya kebebasan untuk menciptakan metafora yang padat, gaya bahasa yang berlapis, dan humor yang kadang gelap, kadang menggoda. Lo cunto de li cunti menjadi contoh langka dari karya yang sekaligus bersifat linguistik dan sastrawi, sebuah dokumen kebudayaan yang merekam suara rakyat sebelum bahasa mereka hilang di balik standar sastra nasional.

Karya ini baru terbit setelah kematian Basile. Adalah saudarinya, Adriana Basile, seorang penyanyi istana ternama, yang menerbitkannya di Napoli dalam dua jilid pada tahun 1634 dan 1636 di bawah nama samaran Gian Alesio Abbatutis. Selama berabad-abad, buku itu tenggelam dalam sunyi, hingga akhirnya ditemukan kembali oleh Jacob dan Wilhelm Grimm, yang menyebutnya sebagai koleksi nasional dongeng pertama di Eropa. Mereka mengakui bahwa dari Pentamerone-lah banyak kisah di kemudian hari memperoleh bentuknya yang dikenal dunia: Cenerentola, Petrosinella, Sole, Luna e Talia, dan lainnya. Wilhelm Grimm menulis, dengan kekaguman yang dalam, bahwa karya Basile "menyimpan dasar dari semua tradisi yang lebih muda, dan karena itu memiliki nilai yang tak ternilai bagi siapa pun yang ingin mengenal akar dongeng Eropa."

Kerangka naratif Pentamerone tersusun atas lima hari penceritaan, sebagaimana judulnya yang berasal dari bahasa Yunani pnte (lima) dan hmra (hari). Basile menganyam lima puluh kisah itu dalam bingkai sebuah cerita utama yang tidak kalah ajaib.

Bingkai tersebut berkisah tentang seorang putri bernama Zoza, gadis yang tak pernah dapat tertawa. Sang ayah, dalam keputusasaan, mencoba segala cara agar anaknya tersenyum, sampai akhirnya membuat sebuah air mancur minyak di depan istana. Para pejalan kaki terpeleset di sana, dan Zoza hampir tertawa ketika seorang perempuan tua jatuh terguling dan marah besar. Namun tawa itu menjadi kutuk: perempuan tua itu bersumpah bahwa Zoza hanya akan menikah dengan seorang pangeran yang tertidur pulas di padang bernama Campo Rotondo, dan ia hanya dapat membangunkannya dengan air mata yang ia tampung dalam kendi selama tiga hari penuh.

Dengan pertolongan para peri, Zoza hampir berhasil mengisi kendi itu, namun pada saat-saat terakhir ia tertidur dan seorang budak Moor menuntaskan tugas itu, lalu mengaku sebagai pemilik air mata dan menikahi sang pangeran. Dari sinilah rangkaian lima puluh kisah dimulai. Si budak, kini berpura-pura sebagai istri sah sang pangeran, menuntut agar setiap hari ia diceritakan dongeng, atau ia akan mencelakai anak yang dikandungnya. Untuk memenuhi tuntutan itu, pangeran memanggil sepuluh perempuan pendongeng. Di antara mereka, tersembunyi Zoza sendiri, menyamar. Selama lima hari berturut-turut, masing-masing pendongeng mengisahkan lima cerita, dan kisah terakhir yang diceritakan Zoza mengungkap seluruh tipu daya sang budak.

Kisah bingkai itu menandai peralihan antara dunia nyata dan dunia fantasi, antara kutukan dan pengampunan, antara suara rakyat dan imajinasi penyair.


Setiap cerita di dalamnya berdiri sendiri, namun bersama-sama membentuk satu kesatuan moral dan estetik. Banyak di antaranya merupakan bentuk tertua yang dikenal dalam tradisi Eropa: Cenerentola menjadi asal mula Cinderella, Petrosinella melahirkan Rapunzel, Sole, Luna e Talia menumbuhkan La Belle au bois dormant atau Sleeping Beauty.

Berikut ini adalah daftar lima puluh kisah dalam lima giornata sebagaimana tercantum dalam naskah aslinya:

Giornata Prima

  1. Il racconto dell'orco

  2. La mortella

  3. Peruonto

  4. Vardiello

  5. La pulce

  6. La Gatta Cenerentola

  7. Il mercante

  8. Faccia di capra

  9. La cerva fatata

  10. La vecchia scorticata

Giornata Seconda

  1. Petrosinella

  2. Verdeprato

  3. Viola

  4. Cagliuso

  5. Il serpente

  6. L'orsa

  7. La colomba

  8. La schiavetta

  9. Il catenaccio

  10. Il compare

Giornata Terza

  1. Cannetella

  2. La Penta mano-mozza

  3. Viso

  4. Sappia Licarda

  5. Lo scarafaggio, il topo e il grillo

  6. La foresta d'agli

  7. Corvetto

  8. L'ignorante

  9. Rosella

  10. Le tre fate

Giornata Quarta

  1. La pietra del gallo

  2. I due fratelli

  3. I tre re animali

  4. Le sette cotennine

  5. Il dragone

  6. Le tre corone

  7. Le due pizzette

  8. I sette colombelli

  9. Il corvo

  10. La superbia castigata

Giornata Quinta

  1. La papera

  2. I mesi

  3. Smalto Splendente

  4. Il tronco d'oro

  5. Sole, Luna e Talia

  6. Sapia

  7. I cinque figli

  8. Ninnillo e Nennella

  9. I tre cedri

  10. La fine della storia

Masing-masing kisah tidak sekadar menghibur; ia membawa gema dari dunia rakyat Italia Selatan, mencerminkan humor pedesaan, kegetiran nasib, dan kecerdikan dalam menghadapi takdir. Bahasa Basile yang sarat perumpamaan menyalurkan nada khas sastra Barok: mewah dalam bentuk, tajam dalam makna, dan kadang penuh sindiran terhadap tingkah manusia.

Kritikus modern menilai Pentamerone sebagai karya yang berdiri di antara dua dunia: puisi istana dan cerita rakyat. Ia menjadi cikal bakal bagi seluruh tradisi dongeng Eropa modern. Tidak berlebihan bila Wilhelm Grimm menyebutnya sebagai fondasi tempat seluruh dongeng kemudian berdiri, sementara sejarawan sastra melihatnya sebagai kesaksian akan kekuatan tutur rakyat yang diangkat ke martabat sastra.

Kini, berabad-abad setelah wafatnya Basile, Lo cunto de li cunti tetap hidup, baik dalam bentuk terjemahan modern, kajian akademik, maupun adaptasi seperti film Il racconto dei racconti (Tale of Tales, 2015) karya Matteo Garrone. Dari Napoli hingga dunia, gema kisah-kisah Basile masih bergema, menandai bahwa dongeng bukan sekadar cerita anak-anak, melainkan warisan jiwa manusia yang abadi.

Pengantar Kisah Segala Kisah [Bingkai Kisah]

 

Sebuah peribahasa kuno berkata bahwa barangsiapa mencari apa yang tidak seharusnya, akan menemukan apa yang tak diinginkannya. Jelas sudah ketika seekor monyet mencoba mengenakan sepatu bot, kakinya malah tersangkut di dalamnya, persis seperti yang menimpa seorang budak perempuan compang-camping, yang meski tak pernah sekalipun mengenakan alas kaki, justru berhasrat memakai mahkota di kepalanya. Tetapi karena batu penggiling pada akhirnya akan menumbuk ampas, dan segala sesuatu cepat atau lambat harus dibayar, maka ia yang dengan curang mengambil milik orang lain akhirnya terjerat oleh tumit-tumit nasib. Setinggi apa pun ia berusaha memanjat, jatuhnya kelak akan lebih dahsyat.

 

Demikianlah kisah ini terjadi, sebagaimana akan diceritakan berikut ini.

 

Dikisahkan bahwa dahulu kala ada seorang raja, penguasa Lembah Berbulu, yang memiliki seorang putri bernama Zoza. Ia, bagaikan seorang Zoroaster atau Heraclitus kedua, tak pernah sekali pun terlihat tertawa.

 

Maka ayahnya yang malang, yang seluruh nafas hidupnya hanyalah putri tunggalnya itu, tidak meninggalkan satu pun upaya untuk mengusir kemurungan dari wajahnya. Ia mencoba membangkitkan gairah putrinya dengan mendatangkan para pemain kaki galah, lalu peloncat lingkaran, para akrobat, Tuan Ruggiero, para pesulap, pria-pria perkasa, seekor anjing penari, Vracone si monyet pelompat, seekor keledai peminum gelas, serta Lucia si cerewet, dan ini dan itu lagi.

 

Namun semua itu hanyalah sia-sia belaka, sebab bahkan ramuan Tuan Grillo sekali pun, bahkan herba yang getir, bahkan sebilah pedang menancap di dadanya takkan mampu membuat ujung bibirnya terangkat.

 

Akhirnya, tak tahu lagi harus berbuat apa, sebagai jalan terakhir sang ayah yang malang itu memerintahkan agar didirikan sebuah air mancur besar berisi minyak di depan gerbang istana, dengan maksud bahwa siapa pun yang lalu-lalang di jalanan, laksana semut yang berkerumun, akan terkena percikannya, dan agar pakaian mereka tidak tercemar minyak licin itu, mereka akan melompat-lompat seperti jangkrik, meloncat seperti kambing, berlari seperti kelinci, tergelincir, saling berbenturan, hingga mungkin dengan cara itu sesuatu dapat terjadi yang membuat sang putri tertawa.

 

Maka air mancur itu pun didirikan, dan pada suatu hari, ketika Zoza sedang duduk di jendela dengan wajah masam seperti acar, lewatlah seorang perempuan tua. Ia membawa sebuah kendi, lalu mulai mengisinya dengan minyak, menyerap cairan itu dengan spons. Ketika ia sibuk bekerja demikian, seorang page istana, anak nakal setan kecil, melemparkan sebuah batu kepadanya dengan begitu tepat hingga mengenai kendi itu dan menghancurkannya berkeping-keping.

 

Saat itu juga, perempuan tua itu, yang lidahnya tak berambut dan tidak pernah membiarkan seorang pun menginjak punggungnya, berbalik pada si page dan mulai berkata, "Ah, kau makhluk tak berguna, tolol, kepala kotor, pengompol ranjang, kambing meloncat, pantat bayi, jerat algojo, keledai banci! Lihatlah, bahkan kutu kini bisa batuk! Teruskanlah, semoga lumpuh menimpamu, semoga ibumu menerima kabar celaka, semoga kau tak hidup hingga menyaksikan tanggal satu Mei! Teruskanlah, semoga tombak orang Katalan menembusmu, atau tubuhmu dicabik tali (supaya tak ada setetes darah pun terbuang)! Semoga seribu penyakit menimpamu, ditambah angin yang mengoyak layar perahumu! Semoga benihmu hilang tak berbekas! Bajingan, pengemis, anak perempuan kena pajak, penjahat busuk!"

 

Mendengar luapan kata-kata tajam itu, si page yang janggutnya masih tipis dan kebijaksanaannya lebih tipis lagi membalas dengan mata uang yang sama, katanya, "Kenapa tidak kau tutup saja lubang gotmu itu, nenek setan, penyedot darah, penyihir penenggelam bayi, pengotor kain, pengumpul kentut?"

 

Ketika kata-kata itu menusuk telinga, perempuan tua itu begitu marah hingga kehilangan kendali dirinya, dan, seperti kuda yang lepas dari kandang kesabaran, ia mengangkat tirai panggungnya dan menampakkan sebuah tontonan hutan liar, pemandangan yang mungkin akan membuat Silvio berkata, 'Pergilah dan buka matamu dengan tandukmu.'

 

Dan pada saat itu juga, Zoza mulai tertawa terbahak-bahak hingga hampir kehilangan kesadarannya.

 

Namun ketika mendapati dirinya ditertawakan, perempuan tua itu murka tak terperi; dengan wajah menakutkan ia berpaling kepada Zoza dan berkata, "Enyahlah! Dan semoga kau tak pernah memetik sekuntum bunga suami kecuali bila kau mengambil pangeran dari Padang Bundar!"

 

Mendengar kata-kata itu, Zoza segera memanggil perempuan tua itu, sebab ia ingin tahu dengan segala cara apakah yang diucapkan barusan merupakan sebuah hinaan atau sebuah kutukan.

 

Perempuan tua itu menjawab, "Ketahuilah kini, pangeran yang kusebut tadi adalah makhluk elok bernama Tadeo, yang karena kutukan seorang peri telah diberi sapuan terakhir pada kanvas hidupnya dan dibaringkan dalam sebuah makam di luar tembok kota. Tertulis pada batunya sebuah epitaf yang menyatakan bahwa setiap perempuan yang dalam tiga hari penuh berhasil mengisi kendi yang tergantung di sana dengan air matanya, akan membangkitkannya kembali dan menjadikannya suami. Dan karena mustahil sepasang mata manusia dapat meneteskan cukup air untuk memenuhi sebuah kendi yang muatannya setengah gantang, kecuali mata Egeria yang kudengar, berubah menjadi sumber air mata di Roma, maka inilah kutukan yang kutimpakan padamu, sebab kau telah menertawaiku dan memperolok diriku, dan aku memohon pada langit agar kutukan ini menimpa dirimu tepat sasaran, sebagai balas dendam atas penghinaan yang kau lakukan padaku."

 

Dan setelah berkata demikian, ia pun bergegas menuruni tangga, takut kalau-kalau ia dipukul.

 

Pada saat itu juga Zoza mulai merenungkan dan mengunyah kata-kata perempuan tua itu, hingga seekor iblis kecil pun menyelinap masuk ke dalam kepalanya yang jelita. Setelah menenun begitu banyak pikiran dan menggiling begitu banyak keraguan tentang hal tersebut, akhirnya ia pun ditarik oleh kerekan gairah, gairah yang membutakan akal dan memikat tutur kata. Maka, setelah mengambil segenggam koin emas dari ruang harta ayahnya, ia menyelinap keluar dari istana dan berjalan terus hingga sampai ke kastil seorang peri.

 

Di sana ia meluapkan segala derita hatinya, dan karena merasa iba kepada gadis yang demikian cantik, yang terlempar jatuh dari pelana kudanya oleh dua taji usianya yang masih belia dan oleh cinta buta pada hal-hal yang belum diketahuinya, sang peri memberinya sepucuk surat perkenalan untuk saudara perempuannya, juga seorang peri. Dan setelah menumpahkan segala puji-puji padanya, keesokan pagi ketika Malam telah membuat burung-burung mengumumkan kabar bahwa siapa pun yang melihat kawanan bayangan hitam yang mengembara akan menerima ganjaran besar, sang peri memberinya sebuah kenari indah dan berkata, "Ambillah ini, anakku yang manis, dan simpanlah baik-baik; namun bukalah hanya pada saat kebutuhan yang paling mendesak."

 

Dan dengan sepucuk surat lain, ia menitipkan Zoza kepada saudara perempuannya yang lain. Setelah perjalanan panjang, Zoza tiba, disambut dengan penuh kasih, dan keesokan paginya menerima surat lain untuk saudari yang ketiga, bersama sebuah kastanye dan peringatan yang sama seperti sebelumnya: membukanya hanya ketika kebutuhan telah menodongkan pisau.

 

Setelah berjalan lagi, tibalah ia di kastil sang peri berikutnya, yang mengelusnya seribu kali lipat dengan kasih sayang. Dan keesokan paginya, ketika hendak pergi, ia memberinya sebuah hazelnut dengan peringatan yang sama: bukalah hanya dalam keadaan genting.

 

Sesudah memperoleh benda-benda itu, Zoza pun mengangkat kakinya dan mengembara melintasi begitu banyak negeri, menyeberangi begitu banyak hutan dan sungai, hingga setelah tujuh tahun berlalu, tepat ketika Sang Matahari, yang telah dibangunkan oleh terompet ayam jantan, mengenakan pelananya dan bersiap melakukan perjalanan rutinnya, ia tiba di Padang Bundar, nyaris tak menyisakan ekor pada tubuhnya.

 

Dan di sana, sebelum memasuki kota, ia melihat sebuah makam marmer di kaki sebuah pancuran, yang terkurung dalam pualam porfiri, meneteskan air mata kristal.

 

Ia pun mengambil kendi yang tergantung di sana, meletakkannya di antara kedua kakinya, lalu mulai bercakap-cakap dengan pancuran itu seolah-olah tengah menukar baris-baris dari Menaechmi, hampir tak mengangkat wajahnya dari bibir kendi. Dengan begitu, dalam waktu kurang dari dua hari, ia berhasil mengisinya hingga hanya dua jari tersisa dari tepi, hanya dua jari lagi dan kendi itu akan penuh.

 

Namun ia begitu letih karena menangis tiada henti, dan tanpa disadari tertipu oleh kantuk, ia pun terpaksa beristirahat sejenak di bawah tenda kelopak matanya.

 

Sementara itu datanglah seorang budak perempuan berkaki jangkrik, yang kerap pergi ke pancuran itu untuk mengisi kendi airnya dan yang tahu benar tentang prasasti di makam itu, sebab kisahnya telah tersebar ke mana-mana. Ketika ia melihat Zoza menangis begitu keras demi meneteskan dua aliran air mata itu, ia duduk lama mengintipinya, menunggu hingga kendi itu hampir penuh, supaya ia bisa merampas harta indah itu dari tangan Zoza dan meninggalkannya dengan sekepal lalat.

 

Begitu ia melihat Zoza terlelap, segera ia mengambil kesempatan, menyelinapkan kendi itu dengan cekatan dari bawahnya, lalu meletakkan matanya sendiri di atas bibir kendi, dan dalam empat tetesan saja ia pun memenuhi isinya.

 

Pada saat kendi itu penuh hingga ke tepinya, pangeran pun bangkit dari peti putihnya seolah terbangun dari tidur panjang. Ia meraih tubuh hitam legam itu dan membawanya ke istana, di mana, di tengah pesta pora dan kembang api kerajaan, ia menjadikannya istrinya.

 

Namun ketika Zoza terbangun dan mendapati kendi itu telah tumpah, bersama dengan runtuhnya segala harapannya, serta melihat peti itu kini terbuka, hatinya terhimpit begitu keras hingga nyaris melepaskan bungkusan jiwanya di gerbang Bea-Cukai Kematian.

 

Akhirnya, ketika menyadari bahwa tiada obat bagi malangnya, dan bahwa satu-satunya yang patut ia salahkan hanyalah matanya sendiri, yang tak cukup waspada menjaga anak lembu dari harapannya ia pun melangkah satu kaki demi satu kaki hingga tiba di kota.

 

Di sana ia mendengar kabar tentang pesta besar sang pangeran dan tentang betapa elok istri yang telah diambilnya. Seketika ia pun membayangkan apa yang pasti telah terjadi, dan dengan desah berat ia berujar bahwa dua hal hitam telah menjerumuskannya ke dalam kejatuhan: tidur, dan seorang budak.

 

Begitu pula, dalam usahanya menentang Kematian, yang terhadapnya tiap binatang membela diri sekuat tenaganya, ia pindah ke sebuah rumah megah di seberang istana sang pangeran, di mana meski ia tak dapat melihat berhala hatinya, ia setidaknya bisa memandangi tembok kuil yang menampung hadiah yang diidamkannya. Dan suatu hari ia terlihat oleh Tadeo, yang laksana kelelawar selalu terbang mengelilingi malam hitam budak itu, tetapi menjadi elang ketika menancapkan pandangannya pada Zoza, makhluk melimpah dari anugerah alam, sang "aku tidak setara" dari permainan kecantikan.

 

Ketika sang budak menyadari apa yang sedang terjadi, ia mengamuk besar-besaran dan, karena sudah mengandung, mengancam suaminya, berkata, "Kalau kau tidak minggir dari ambang jendela, aku pukul perutku dan bunuh si kecil Georgie." Tadeo, yang khawatir akan pewarisnya, gemetar seperti alang-alang memikirkan kemungkinan menyakiti istrinya, dan melepaskan diri dari pandangan Zoza seperti jiwa tercabut dari badannya.

 

Saat Zoza melihat seteguk harapan itu disedot dari cawan harapannya, ia tak tahu apa yang harus dilakukan di saat kebutuhan yang amat mendesak. Namun kemudian ia teringat akan hadiah-hadiah peri, dan membuka kenarinya. Keluar dari dalamnya seorang laki-laki kecil, sebesar boneka, mainan paling manis di dunia, yang naik ke ambang jendela dan mulai bernyanyi dengan begitu banyak getaran, kicauan, dan hiasan sehingga suaranya seperti Compar Biondo, melampaui Pezzillo, dan meninggalkan Cieco di Potenza serta Raja Burung jauh di belakang.

 

Budak perempuan itu kebetulan melihat dan mendengar semuanya, lalu menjadi sangat bergairah hingga ia memanggil Tadeo dan berkata kepadanya, "Kalau aku tak punya iblis penyanyi dari ambang jendela, aku pukul perutku dan bunuh si kecil Georgie." Pangeran, yang telah terjerat oleh bujuk rayu budak Moor itu, segera mengutus seseorang untuk menanyakan kepada Zoza apakah ia mau menjualnya; ia menjawab bahwa ia bukan pedagang, tetapi jika ia menginginkannya sebagai hadiah, ia boleh menerimanya sebagai penghormatan. Tadeo, yang ingin menjaga kebahagiaan istrinya agar kehamilannya berjalan lancar, menerima tawaran itu.

 

Empat hari kemudian Zoza membuka kastanye, dan keluarlah seekor ayam betina bersama dua belas anak ayam emas, yang ia letakkan di ambang jendela yang sama. Ketika budak itu melihatnya, keinginannya muncul sampai ke tulang-tulang di kakinya, dan setelah ia memanggil Tadeo serta menunjukkan betapa eloknya benda itu, ia berkata, "Kalau kau tak mengambil ayam dari ambang jendela, aku pukul perutku dan bunuh si kecil Georgie."

 

Tadeo, yang membiarkan wanita itu mengendalikan dirinya dan menarik ekornya, kembali mengutus seseorang kepada Zoza untuk menawar berapa pun harga yang ia minta atas ayam yang indah itu. Jawabnya sama seperti sebelumnya: ia tak mau menjualnya, melainkan memberikannya sebagai hadiah; karena berbicara soal membeli adalah pemborosan waktu. Maka pangeran tak punya pilihan dan karena terpaksa menelan segala kehormatannya, ketika ia mengambil barang rupawan itu ia heran atas kemurahan wanita itu, sebab perempuan pada hakekatnya begitu serakah sehingga semua batangan emas di India pun tak akan memuaskan mereka.

 

Setelah lewat waktu yang sama, Zoza membuka hazelnut, dari mana keluar sebuah boneka yang menenun emas, benda yang menakjubkan melebihi segala imajinasi. Baru saja diletakkan di ambang jendela, budak itu mencium bau kehadirannya, memanggil Tadeo, dan berkata kepadanya, "Kalau kau tak belikan aku boneka dari ambang jendela, aku pukul perutku dan bunuh si kecil Georgie." Tadeo membiarkan dirinya digulung seperti benang dan ditarik hidungnya oleh keangkuhan istri yang menungganginya seperti kuda, tetapi karena ia tak berani mengutus orang untuk mengambil boneka Zoza, ia memutuskan pergi sendiri, mengingat pepatah: "Tak ada utusan yang lebih baik daripada dirimu sendiri," "Jika kau menghendaki sesuatu, pergilah sendiri; jika tidak, utus orang lain," dan "Jika ingin makan ikan, kau harus basahi ekormu." Ia tak henti-hentinya memohon agar Zoza memaafkan kelakuannya, yang disebabkan oleh nafsu seorang perempuan hamil; Zoza, yang kini penyebab semua bencananya berdiri di hadapannya, menahan diri untuk tidak tunduk pada rayuan itu, supaya ia bisa menenggelamkan dayungnya dan lebih lama menikmati pemandangan tuannya, yang telah dirampas darinya oleh seorang budak jelek.

 

Akhirnya, ia memberi boneka itu sebagaimana ia memberi benda-benda lainnya, tetapi sebelum melepaskannya ia memohon kepada potongan tanah liat kecil itu agar menanamkan dalam hati budak perempuan itu keinginan mendengar dongeng.

 

Tadeo, yang mendapati dirinya memegang boneka itu tanpa harus mengeluarkan sepersen pun, tercengang atas kebaikan itu dan menawari Zoza negara serta nyawanya sebagai balasan atas begitu banyak jasa. Ia kembali ke istana dan menyerahkan boneka itu kepada istrinya; segera setelah diangkat ke pangkuannya untuk dimainkan, boneka itu mengambil rupa Cupido, dalam wujud Ascanius di pangkuan Dido. Dan itu menimbulkan bara dalam dadanya; ia disambar oleh hasrat membara untuk mendengar dongeng sehingga, tak sanggup menahan diri dan khawatir akan menyentuh mulutnya dan melahirkan seorang anak yang cerewet yang mampu menulari satu kapal jiwa-jiwa malang, ia memanggil suaminya dan berkata, "Kalau orang-orang tak datang dan memenuhi telingaku dengan dongeng, aku pukul perutku dan bunuh si kecil Georgie."

Untuk menyingkirkan obat musim Maret ini, Tadeo segera mengeluarkan pengumuman: semua perempuan di negeri itu harus datang ke istananya pada hari yang telah ditentukan. Dan pada hari itu, pada terbitnya bintang Diana, yang membangunkan Fajar supaya ia menghias jalan-jalan tempat Matahari hendak berparade, mereka semua berkumpul di tempat yang ditetapkan. Tetapi karena Tadeo tak merasa pantas menahan kerumunan begitu besar demi memenuhi keinginan istrinya, dan karena pemandangan kerumunan itu membuatnya sesak, ia memilih hanya sepuluh perempuan, yang terbaik di kota, mereka yang tampak paling piawai dan paling cepat lidah. Mereka adalah: Zeza si pincang, Cecca si bengkok, Meneca yang gondok, Tolla berhidung besar, Popa si bungkuk, Antonella yang ngiler, Ciulla bermoncong, Paola yang mata juling, Ciommetella yang kudisan, dan Iacova si menjijikkan.

 

Setelah menuliskan nama-nama mereka dan mengusir para perempuan lain, bersama budak itu mereka semua bangkit dari bawah kanopi dan melangkah dengan langkah terukur menuju sebuah taman istana yang sama, di mana ranting-ranting itu begitu kusut sehingga Matahari tak sanggup memisahkannya dengan tongkatnya. Setelah duduk di bawah sebuah paviliun yang ditutupi pergola anggur, di tengah-tengahnya mengalir sebuah air mancur besar, guru para pengawal yang tiap hari mengajar mereka seni bisik-membisik, Tadeo mulai berbicara dengan cara berikut: "Tak ada yang lebih lezat di dunia ini, wahai perempuan-perempuan agungku, daripada mendengar perkara orang lain, dan bukan tanpa alasan sang filsuf agung itu menempatkan kebahagiaan tertinggi manusia pada mendengarkan kisah-kisah manis; sebab bila engkau melayangkan telinga pada perkara yang sedap, kepedihan menguap, pikiran yang menjengkelkan sirna, dan umur bertambah. Dan karena hasrat inilah engkau melihat para tukang meninggalkan bengkel mereka, para pedagang melepaskan perdagangannya, para pengacara meninggalkan perkara mereka, dan para penjaga toko meninggalkan usahanya, lalu berbondong-bondong ke tukang cukur dan lingkaran gosip untuk mendengar berita bohong, pamflet-pamflet rekaan, dan kabar-kabar kosong. Untuk ini aku harus minta maaf atas nama istriku, yang hasrat melankolis mendengar dongeng itu telah menancap di kepalanya. Jadi jika berkenan bagi kalian untuk menghancurkan kendi khayalan sang putri dan mengenai sasaran hasratku, hendaklah kalian berpuas diri selama empat atau lima hari ini, sebelum ia mengosongkan perutnya, dengan tiap orang menceritakan satu kisah tiap hari, seperti yang biasa diceritakan para perempuan tua kepada anak-anak. Kita akan selalu bertemu di tempat yang sama, dan setelah kita melahap makanan pembicaraan akan dimulai, dan tiap hari akan diakhiri dengan beberapa eklog yang akan dibacakan oleh pelayan-pelayan kita sendiri. Demikianlah hidup kita akan dipenuhi kegembiraan, celaka bagi mereka yang mati."

 

Mendengar kata-kata itu para perempuan itu semua menerima perintah Tadeo dengan anggukan kepala; sementara itu meja-meja ditata dan makanan tiba, lalu mereka mulai makan. Setelah mereka selesai melahapnya, sang pangeran memberi isyarat kepada Zeza si pincang untuk menembakkan senjatanya. Ia membungkuk dalam-dalam kepada pangeran dan istrinya, dan mulai berbicara dengan cara berikut:

Dongeng Ogre

Hiburan Pertama pada Hari Pertama

 

Setelah Antuono dari Marigliano diusir oleh ibunya karena menjadi biang segala kebodohan, ia lalu mengabdi pada seorang ogre, yang selalu memberinya hadiah setiap kali ia ingin pulang menengok rumahnya. Namun, tiap kali ia tertipu oleh seorang penjaga penginapan, hingga akhirnya sang ogre memberinya sebuah gada yang menghukumnya karena kebodohannya, membuat si penjaga penginapan menebus tipu muslihatnya, dan membawa kekayaan bagi keluarga Antuono.

 

"Siapa pun yang berkata bahwa Dewi Fortuna itu buta, tahu lebih banyak daripada tuan Lanza, sumpah demi Tuhan! Sebab ia memang benar-benar menghantam membabi buta, mengangkat orang-orang yang tak pantas sekalipun disuruh mengusir burung dari ladang kacang hingga ke puncak kejayaan, dan menjatuhkan hingga ke tanah orang-orang yang sesungguhnya bunga terbaik umat manusia, sebagaimana kini akan kalian dengar."

 

"Konon, di kota Marigliano, hiduplah seorang perempuan terhormat bernama Masella. Selain anak-anak perempuannya yang belum menikah, enam gadis kecil kurus kering seperti tongkat, ia memiliki seorang putra yang begitu tolol dan dungu hingga tak sanggup melempar bola salju pun. Maka duduklah ia sepanjang hari seperti seekor induk babi dengan pelana di mulutnya, dan tiada sehari pun berlalu tanpa ia berkata kepadanya: 'Apa gunanya kau tinggal di rumah ini? Terkutuklah roti yang kau makan! Angkat kakimu, dasar tak berguna; enyahlah, biang onar; pergilah jatuh ke lubang, dasar pembuat susah; enyahlah dari pandanganku, tukang melahap kastanye! Pasti kau tertukar di buaian; alih-alih seorang bayi mungil nan menawan, aku mendapat seekor babi rakus pemakan lasagna.' Namun meski ibunya bicara begitu, Antuono hanya bersiul saja."

 

"Melihat tak ada harapan putranya itu akan berubah menjadi orang baik, pada suatu hari yang sama buruknya dengan hari-hari lain, Masella menghajarnya dengan keras, mengambil sebuah penggilas adonan, lalu ia dipukuli seakan-akan sedang dijahitkan sebuah jaket dari pukulan. Antuono pun merasa seakan-akan ia terkepung, dipagari, dan dipancang ketika ia sama sekali tak menduganya, dan begitu ia bisa lolos dari tangan ibunya, ia pun mengangkat tumitnya tinggi-tinggi dan berlari pergi, hingga menjelang senja, saat lampu-lampu mulai dinyalakan di toko milik Dewi Cynthia, ia sampai di kaki sebuah gunung yang demikian tinggi, seakan-akan tanduknya menanduk awan.

 

Di sanalah, di atas akar besar sebatang pohon poplar, di depan sebuah gua yang dihiasi batu apung, duduklah seorang ogre. Dan, oh Ibu tersayang, betapa mengerikan rupanya!

 

Ia kecil dan cebol, serupa seikat ranting kering; kepalanya lebih besar daripada labu raksasa dari India; dahinya penuh benjolan; alisnya bertaut satu; matanya menonjol keluar; hidungnya seperti dua lubang hidung kuda yang tampak menganga seperti saluran got; mulutnya selebar alat pemeras anggur, dengan dua gading menjuntai hingga menyentuh tulang-tulang kecil di kakinya; dadanya berbulu lebat; lengannya kurus panjang bagai gulungan benang pintal; kakinya melengkung seperti pintu gudang bawah tanah; dan telapak kakinya rata lebar seperti kaki bebek. Singkatnya, ia tampak seperti roh jahat, iblis tua, pengemis busuk, gambaran hidup dari bayangan keji, yang akan membuat Roland sendiri gemetar ketakutan, Skanderbeg menggigil ngeri, dan pegulat paling tangguh sekalipun pucat pasi.

 

Namun Antuono, yang tak akan bergeming bahkan meski ditembak dengan ketapel, menundukkan kepala dan berkata kepadanya: "Selamat siang, tuan, apa kabar? Bagaimana keadaan Anda? Perlukah sesuatu? Jauh lagikah jalan ke tempat tujuan saya?"

 

Sang ogre, mendengar sapaan ini yang datang tiba-tiba, tertawa terbahak, dan karena ia menyukai watak si tolol ini, ia berkata kepadanya: "Maukah kau bekerja untukku?" Dan Antuono menjawab, "Berapa bayarnya sebulan?" Ogre itu pun berkata, "Cukup layani aku dengan setia; kita akan rukun dan kau akan melihat hari-hari baik." Maka perjanjian pun terikat, dan Antuono tinggal untuk mengabdi kepada sang ogre, di mana makanan dilemparkan ke wajahnya, dan soal pekerjaan, ia hidup bagaikan domba di padang rumput.

 

Dalam empat hari saja ia menjadi gemuk seperti orang Turki, perutnya sebesar lembu, gagah seperti ayam jantan, merah seperti udang rebus, hijau seperti bawang putih, bulat seperti kastanye, dan begitu tambun serta kekar hingga hampir tak bisa melihat melewati hidungnya sendiri.

 

Namun sebelum genap dua tahun berlalu, Antuono mulai jemu akan segala kelimpahan itu, dan lahirlah kerinduan serta hasrat membara dalam dirinya untuk sekali saja menengok Pascarola, kampung halamannya. Begitu besar kerinduannya akan rumah kecilnya, hingga tubuhnya hampir menyusut kembali seperti semula.

 

Ogre itu, yang dapat menembus isi hati dan mengenali dari baunya bahwa pantat Antuono gatal bagaikan orang yang tak terurus, memanggilnya dan berkata, "Antuono tersayangku, aku tahu kau terbakar rindu ingin melihat darah dagingmu sendiri. Karena aku mencintaimu bagaikan biji mataku, aku rela kau pulang sejenak untuk bersenang hati. Maka ambillah keledai ini, yang akan menghemat tenagamu di perjalanan. Tapi waspadalah, jangan sekali pun kau ucapkan, 'Majulah, beraklah emas,' kepadanya, atau kau akan menyesal, demi arwah kakekku."

 

Antuono pun mengambil keledai itu, dan tanpa sempat berkata "Selamat malam," ia langsung naik ke punggungnya dan berangkat dengan langkah kencang. Namun belumlah ia berjalan seratus langkah jauhnya, ia meloncat turun dari keledai itu dan mulai berkata, "Majulah, beraklah emas!"

 

Dan begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, sang keledai segera memuntahkan mutiara, rubi, zamrud, safir, dan berlian yang masing-masing sebesar kenari. Dengan mulut ternganga lebar, Antuono menatap kotoran indah itu, diare yang menakjubkan, disentri mulia dari pantat keledai kecil itu. Dengan penuh kegirangan ia pun memenuhi sebuah pelana dengan permata-permata itu.

 

Kemudian ia menaiki kembali keledainya dan bergegas hingga sampai di sebuah penginapan. Begitu turun, hal pertama yang ia katakan kepada penjaga penginapan adalah, "Ikatkan keledai ini di palungan dan beri ia makan dengan baik, tapi ingat, jangan sekali-kali kau ucapkan 'Majulah, beraklah emas,' atau kau akan menyesal. Dan simpanlah barang-barang kecilku ini di tempat yang aman."

 

Mendengar permintaan aneh itu dan melihat permata-permata yang nilainya ratusan dukat, sang penjaga penginapan yang sudah mahir dalam pekerjaannya, seekor ikan pelabuhan yang berpengalaman dengan asam dan wadah lebur, timbul rasa ingin tahu dalam dirinya untuk tahu arti kata-kata itu. Maka setelah ia memberi Antuono makan kenyang dan minum sampai puas, ia pun membaringkannya di antara kasur jerami dan selimut tebal. Begitu ia melihat mata Antuono mulai terpejam dan dengkurannya keras bergemuruh, ia pun berlari ke kandang dan berkata kepada keledai itu, "Majulah, beraklah emas!"

 

Dengan mantera kata-kata itu, keledai itu pun melaksanakan kebiasaannya, mengalirkan isi perutnya berupa aliran emas dan perhiasan permata. Melihat kotoran berharga itu, si penjaga penginapan pun memutuskan menukar keledai tersebut dan menipu si tolol Antuono, sebab ia yakin mudah saja membutakan, memperdaya, mempermainkan, dan mengakali seekor babi gemuk, anak domba besar, kepala makaroni, tolol besar, atau si dungu macam yang kini jatuh ke tangannya.

 

Maka, ketika fajar menyingsing keesokan harinya, saat Aurora menuangkan pispot suaminya yang penuh pasir merah halus dari jendela Timur, Antuono mengucek matanya dengan tangan, meregangkan tubuhnya setengah jam lamanya, dan setelah berdialog dengan enam puluh kali menguap serta enam puluh kali kentut, ia pun memanggil penjaga penginapan dan berkata, "Kemari, sobat: tagihan sering membuat persahabatan langgeng; biarlah kita tetap berteman dan dompet kita yang bertarung; tuliskan tagihanku agar segera kubayar."

 

Maka, dihitunglah sekian untuk roti, sekian untuk anggur, jumlah ini untuk sup, jumlah itu untuk daging, lima untuk kandang, sepuluh untuk ranjang, dan lima belas untuk kesehatanmu. Antuono pun mengeluarkan kacang-kacangan sebagai bayarannya. Lalu ia mengambil keledai palsu itu, bersama dengan sebuah karung penuh batu apung sebagai ganti permata, dan segera berlari menuju desanya.

 

Belum juga ia menjejakkan kaki di rumah, ia sudah berteriak bagaikan disengat semak jelatang:

 

"Ibu! Cepatlah, Ibu! Cepat! Kita kaya! Keluarkan taplak, bentangkan seprai, tebarkan selimut, sebab sebentar lagi kau akan melihat harta karun!"

 

Dengan penuh sukacita, ibunya membuka sebuah peti berisi mas kawin anak-anak gadisnya, lalu mengeluarkan seprai halus yang bila ditiup saja melayang di udara, taplak yang baru dicuci, dan selimut-selimut indah, menatanya di lantai dengan rapi. Antuono menaruh keledai di atasnya dan mulai berseru-seru, "Majulah, beraklah emas!"

 

Namun meski ia mengucapkannya berkali-kali, keledai itu sama sekali tidak mengindahkan kata-kata tersebut, tak lebih dari seekor binatang yang mendengar alunan kecapi. Kendati demikian, setelah ia ulangi tiga atau empat kali, yang sama saja dengan membuangnya ke angin, ia pun mengambil sebatang pentungan yang bagus dan mulai mengusik si malang itu, meratakan punggungnya, menekannya, dan memadatkannya dengan begitu banyak pukulan hingga hewan malang itu kehilangan kendali di bagian bawah tubuhnya dan menumpahkan kotoran kuning keemasan di atas kain putih itu.

 

Melihat isi perut keledai itu terkuras demikian rupa, Masella yang malang, yang semula menaruh harapan besar untuk memperkaya kemiskinannya, kini mendapati dirinya malah dengan pondasi yang terlalu murah hati hingga seluruh rumahnya berbau busuk. Maka ia pun meraih sebatang tongkat dan, tanpa memberi putranya waktu untuk menunjukkan batu apung yang ia bawa, menghajar Antuono begitu rupa hingga ia segera kabur kembali ke rumah ogre.

 

Ogre itu melihat Antuono datang, lebih mirip berlari daripada berjalan, dan karena ia tahu apa yang telah terjadi sebab ia memang makhluk gaib, ia pun menegurnya habis-habisan. Ia memanggilnya tak berguna, oh-ibu-tersayang-minumlah-pil-ini, tolol, serigala bodoh, bebal, barang rongsokan, kepala mie, pemakan kastanye, dungu, kasar, dan pandir, yang demi seekor keledai yang sudah dilumuri harta, malah menukar dirinya dengan binatang yang hanya pandai menghasilkan mozzarella tiruan.

 

Antuono menelan pil pahit itu dan bersumpah bahwa takkan pernah lagi ia membiarkan dirinya dibodohi dan ditertawakan oleh manusia.

 

Namun sebelum setahun berlalu, ia kembali terserang penyakit yang sama, kerinduan untuk melihat sanak keluarga. Ogre itu, meski berwajah buruk namun berhati baik, memberinya bukan hanya izin untuk pulang, tetapi juga sebuah taplak meja indah. Ia berkata, "Bawalah ini kepada ibumu, tetapi berhati-hatilah jangan berlaku seperti keledai sebagaimana dulu. Jangan ucapkan 'terbukalah' atau 'tertutuplah, taplak meja' sebelum engkau sampai di rumah, sebab bila kau kembali tertimpa musibah, itu urusanmu sendiri. Sekarang pergilah dengan doaku, dan segera kembalilah."

 

Maka Antuono pun berangkat, namun tak jauh dari gua ia sudah meletakkan taplak itu di tanah dan buru-buru berkata, "Terbukalah, taplak meja! Tertutuplah, taplak meja!"

 

Dan ketika terbuka, tampaklah keindahan, kemegahan, serta kemewahan yang luar biasa, sungguh sulit dipercaya mata manusia. Melihat semua itu, Antuono segera berkata, "Tertutuplah, taplak meja!"

 

Dan setelah segalanya kembali tertutup rapat di dalamnya, ia bergegas menuju penginapan yang sama seperti sebelumnya. Sesampainya di sana, ia berkata kepada si penjaga penginapan, "Tolong simpan taplak ini, dan jangan coba-coba mengatakan 'terbukalah' atau 'tertutuplah, taplak meja!'"

 

Si penjaga, seorang penipu tiga kali matang, berkata: "Serahkan saja padaku." Dan setelah ia kembali membuat Antuono kenyang hingga kekenyangan dan yakin bahwa ia sudah menggenggam monyet dari ekornya, ia mengirimnya ke ranjang, lalu mengambil taplak itu dan berkata, "Terbukalah, taplak meja!"

 

Maka terbukalah taplak itu, dan keluarlah begitu banyak barang-barang berharga hingga menakjubkan mata. Lalu si penjaga mencari taplak lain yang mirip, dan ketika Antuono bangun, ia menukar yang asli dengan yang palsu.

 

Antuono pun melenggang pergi dan sampai ke rumah ibunya sambil berseru, "Kali ini benar-benar kita akan menendang kemiskinan! Kali ini benar-benar kita akan menemukan obat bagi kain tambal dan compang-camping kita!"

 

Selesai berkata, ia bentangkan taplak itu di lantai dan mulai berkata, "Terbukalah, taplak meja!"

 

Namun sekalipun ia mengucapkannya dari hari ini sampai esok, tetaplah sia-sia; taplak itu tak mengeluarkan secuil roti pun, apalagi jerami. Maka, melihat bahwa keberuntungannya berbalik melawan arus, ia berkata kepada ibunya, "Selamat tahun baru, Bu, si penjaga penginapan telah menipuku lagi! Tapi awas, sekarang kita berdua! Lebih baik ia tak pernah lahir! Lebih baik ia tertindih roda kereta! Semoga aku kehilangan perabot terbaik di rumah ini bila aku tidak menuntut ganti rugi di penginapan itu, bukan hanya untuk permata dan keledai yang dicuri, tetapi juga untuk taplak meja ini. Dan bila tidak, biarlah aku memecahkan piring-piringnya hingga jadi debu!"

 

Mendengar kebodohan baru ini, ibunya Antuono mulai menyemburkan api dan berkata, "Cukup sudah, anak terkutuk! Pergilah patahkan punggungmu! Enyahlah dari mataku; isi perutku rasanya mau tumpah, aku tak bisa menahanmu lagi; herniaku membengkak, dan gondokku makin besar bila kau ada di rumah! Selesaikan urusanmu sendiri, dan biarlah rumah ini bagimu seperti api, sebab aku akan menyingkirkanmu dari pakaianku dan berpura-pura tak pernah melahirkanmu!"

 

Antuono yang malang melihat kilat itu dan tak ingin menunggu guntur, maka, seakan-akan ia baru saja mencuri cucian segar, ia menundukkan kepala, mengangkat tumit, dan lari terbirit-birit kembali ke rumah ogre.

 

Ketika ogre melihat Antuono datang dengan langkah lesu dan wajah suram, ia pun menabuh simbal lain di telinganya, "Aku tak tahu apa yang menahanku untuk tidak mencungkil salah satu matamu, kau tenggorokan kentut, mulut gas, perut busuk, pantat ayam, ta-ta-ta-ta, penabuh terompet dari Vicaria! Engkau menyiarkan urusan pribadi bak pengumuman umum, memuntahkan isi perutmu sendiri, bahkan tak sanggup menahan sebutir kacang! Andaikan kau menutup mulutmu di penginapan, takkan ada semua ini. Tapi karena lidahmu kau gunakan seperti layar kincir angin, engkau telah menggiling menjadi debu segala kebahagiaan yang kuberikan dengan tanganku!"

 

Antuono yang malang hanya bisa menyelipkan ekor di antara kedua kakinya dan menelan musik pahit itu bulat-bulat. Ia tetap tinggal melayani ogre selama tiga tahun lagi tanpa peristiwa berarti, memikirkan rumahnya tak lebih sering daripada ia memikirkan untuk menjadi seorang bangsawan. Namun meski begitu, setelah waktu yang panjang itu, demamnya kembali, dan sekali lagi ia tergerak untuk pulang sejenak.

 

Maka ia meminta izin, dan ogre itu senang dapat menyingkirkan pengganggu itu, membiarkannya pergi serta menghadiahkannya sebuah gada ukir yang indah. Ia berkata, "Bawalah ini sebagai kenang-kenangan dariku, tetapi hati-hati, jangan sekali-kali mengucapkan 'Bangkitlah, gada!' atau 'Turunlah, gada!' sebab aku tak mau lagi berurusan denganmu."

 

Menerima itu, Antuono menjawab, "Ah, sudahlah! Aku sudah tumbuh gigi bungsuku; aku tahu berapa pasang yang dibuat tiga ekor lembu! Aku bukan bocah kecil lagi, dan siapa pun yang ingin menipu Antuono, lebih baik mencium sikunya sendiri dulu!"

 

Mendengar itu, ogre menimpali, "Pujian bagi seorang majikan terletak pada perbuatannya; kata-kata itu perempuan, perbuatanlah yang lelaki. Kita lihat saja nanti. Ingat, 'Seorang yang diperingatkan adalah setengah terselamatkan.'"

 

Sementara ogre masih berbicara, Antuono sudah melangkah pergi menuju rumahnya. Namun baru setengah kilometer berjalan, ia sudah berkata, "Bangkitlah, gada!"

 

Dan ternyata kata itu bukan sembarang kata, melainkan sihir murni. Seakan di dalam gada itu bersemayam setan kecil, benda itu segera mulai menggilas bahu Antuono, menghantam dirinya seakan-akan hujan pukulan turun dari langit terbuka, setiap hantaman datang beruntun menunggu yang berikutnya.

 

Mendapati dirinya digebuki dan dipermak seperti sepotong kulit Maroko, si malang segera berseru, "Turunlah, gada!"

 

Maka berhentilah gada itu menuliskan not balok di punggungnya. Setelah belajar pahit dari biayanya sendiri, ia berkata, "Celakalah dia yang lari, akan pincang kakinya; sumpahku, kali ini aku takkan melepaskannya! Barang siapa akan mengalami malam buruk, ia belum juga naik ke ranjangnya!"

 

Dengan tekad itu, ia sampai di penginapan biasa. Di sana ia disambut dengan sambutan paling hangat di dunia, sebab jelas sudah apa yang bakal dikeluarkan si kulit babi ini. Begitu tiba, Antuono berkata pada si penjaga penginapan, "Tolong simpan gada ini untukku, tapi awas jangan mengucapkan 'Bangkitlah, gada!' atau kau akan celaka! Dengarkan aku baik-baik: jangan sekali-kali kau keluhkan Antuono lagi, sebab aku takkan tahan, dan aku sudah menyiapkan ranjangku lebih dulu."

 

Si penjaga, girang bukan main atas keberuntungan ketiganya, memastikan Antuono kekenyangan sampai ke tenggorokan dan melihat dasar kendi, lalu begitu ia menidurkannya di atas ranjang kecil, ia pun bergegas mengambil gada itu. Memanggil istrinya untuk ikut serta dalam perayaan, ia berkata, "Bangkitlah, gada!"

 

Maka gada itu segera mencari pelabuhan di tubuh penjaga penginapan dan istrinya, dan dengan gedebuk! di sini, gedam! di sana, bunyinya seperti petir bolak-balik menggelegar. Menyadari bahwa tubuh mereka lemah dan pertahanannya tipis, keduanya lari tunggang langgang dengan si gada terus mengejar, sampai akhirnya membangunkan Antuono dan memohon ampun padanya.

Melihat segalanya berjalan sebagaimana mestinya, makaroni masuk ke keju, brokoli ke dalam lemak, Antuono pun berkata, "Tiada obatnya: kalian akan mati dipukuli gada ini kecuali kalian kembalikan barang-barangku!"

 

Penjaga penginapan yang kini sudah lumat habis-habisan berteriak, "Ambil saja semua milikku, asal singkirkan penggaruk punggung ini dariku!"

 

Dan untuk meyakinkan Antuono, ia keluarkan semua yang pernah dicurinya. Setelah semuanya kembali ke tangannya, Antuono berkata, "Turunlah, gada!"

 

Maka gada itu pun diam dan meringkuk di sudut ruangan.

 

Lalu Antuono mengumpulkan keledai dan benda-benda lainnya, lalu pulang ke rumah ibunya. Di sana, setelah menguji pantat keledai dengan ujian kerajaan dan taplak meja dengan percobaan menyeluruh, ia berhasil menimbun harta yang banyak, menikahkan saudari-saudarinya, dan membuat ibunya kaya. Dengan demikian terbuktilah pepatah: Tuhan menolong orang gila dan anak-anak.

Murad

Hiburan Kedua pada Hari Pertama

Tak seorang pun terdengar mengeluarkan sepatah kata pun selama Zeza melanjutkan ceritanya. Namun, ketika ia menutup kisahnya, tiba-tiba terdengar riuh gaduh; semua yang hadir tak lagi dapat menahan lidah mereka. Mereka ramai berbincang tentang kotoran keledai dan gada ajaib, dan seseorang berkata bahwa jika ada sebuah hutan penuh dengan gada-gada itu, tak sedikit pencuri yang akan berhenti memainkan simbal, dan lebih dari beberapa orang akan memperoleh akal sehat dalam benaknya, dan keledai pun tak akan melebihi jumlah hewan beban, sebagaimana yang terjadi di zaman ini.

 

Tetapi setelah cukup lama membicarakan perkara itu, sang tuan memerintahkan Cecca untuk meneruskan rangkaian kisah, dan ia pun berkata demikian, "Seandainya manusia menyadari betapa banyak kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan yang ditimbulkan oleh para perempuan terkutuk di dunia ini, niscaya ia akan lebih berhati-hati untuk menjauh dari jalan seorang perempuan curang ketimbang dari tatapan seekor ular. Ia tidak akan mengorbankan kehormatannya demi ampas sebuah rumah pelacuran, hidupnya demi sebuah rumah sakit penyakit, dan seluruh hartanya demi seorang perempuan jalang yang tak bernilai tiga keping tembaga; sebab satu-satunya hal yang akan ia telan darinya hanyalah pil-pil gabungan dari kejijikan dan amarah. Seperti yang akan kalian dengar, inilah yang menimpa seorang pangeran yang menjerumuskan dirinya ke tangan kaum jahat itu.

 

Di desa Miano, hiduplah seorang suami dan istri. Karena mereka bahkan tak memiliki tunas seorang anak pun, mereka begitu mendambakan seorang pewaris. Dan sang istri, khususnya, selalu berkata, "Oh, Tuhan, seandainya aku bisa melahirkan sesuatu ke dunia ini, aku tak peduli jika itu hanyalah sebatang ranting murad"' Dan begitu sering ia mengulang-ulang nyanyian itu, dan begitu lama ia mengusik langit dengan kata-kata tersebut, hingga akhirnya perutnya membuncit dan rahimnya membulat. Dan setelah sembilan bulan berlalu, alih-alih menyerahkan ke pangkuan bidan seorang bayi lelaki kecil bagai boneka atau bayi perempuan mungil bagai desahan, ia justru melahirkan dari ladang Elysium dalam rahimnya sebuah ranting murad yang indah.

 

Ia menanam ranting itu dalam sebuah pot berhias ragam ornamen, menaruhnya di jendela, dan dengan penuh kegembiraan merawatnya pagi dan petang, dengan ketekunan yang melebihi seorang petani yang menjaga kebun brokolinya, yang darinya ia berharap dapat membayar sewa tanahnya.

 

Ketika si murad telah tumbuh begitu indah hingga tampak tak ada bandingnya, kebetulan seorang pangeran yang kebetulan lewat jalan itu melihatnya, dan ia pun jatuh cinta padanya. Ia membeli ranting itu dari pemiliknya, lalu membawanya ke kamar pribadinya, dan menaruhnya di jendela.

 

Ia lalu datang dan pergi setiap hari, mengamati tanaman itu, merawatnya, menyiraminya, dan mengaguminya sampai-sampai ia nyaris kehilangan akal. Dan setiap kali ia meninggalkan kamar itu, ia memelihara ranting itu dengan sorot mata penuh cinta, dan setiap kali ia kembali, hatinya semakin terikat pada pesonanya, sehingga tak satu pun momen berlalu tanpa memikirkan si murad.

 

Kini, kebetulan bahwa ketika pangeran pergi keluar, dari ranting itu keluarlah seorang gadis rupawan, yang berjalan ke sekeliling ruangan bagai dewi dari surga. Jika kau lihat betapa memesonanya ia: rambutnya laksana emas berkilau, kulitnya bagai susu dan mawar, matanya seperti dua bintang, bibirnya ibarat delima yang terbuka, dan tubuhnya ramping bagai tongkat lilin.

Ia pun duduk di kursi, memintal emas halus, menenun sutra, menyulam kain, membersihkan kamar, dan menata segala sesuatu hingga tampak indah bagaikan istana seorang ratu. Tetapi, ketika ia mendengar pangeran mendekat, dengan secepat kilat ia kembali masuk ke dalam ranting itu. Dan sekali lagi, ranting itu tampak hanya sebagai sebuah tanaman, indah dipandang mata, namun tak seorang pun mengira di baliknya tersembunyi rahasia agung."

 

"Namun ketika putra raja kebetulan lewat di depan rumah itu dalam perjalanannya menuju perburuan, ia jatuh cinta tanpa ukuran pada ranting murad yang indah itu, dan ia mengirim kabar kepada pemiliknya bahwa jika ia bersedia menjualnya, ia akan membayarnya setara dengan sebuah mata. Setelah seribu kali penolakan dan perdebatan, sang wanita akhirnya tergoda oleh tawaran-tawaran, terpikat oleh janji-janji, diguncang oleh ancaman-ancaman, dan luluh oleh permohonan-permohonan, hingga ia memberikan pot itu, sambil memohon agar sang pangeran menjaganya dengan segenap hatinya, sebab ia mencintainya lebih daripada seorang putri, dan menghargainya seolah-olah ia lahir dari rahimnya sendiri.

 

Dengan sukacita terbesar di dunia, sang pangeran membawa pot itu ke kamar pribadinya dan menaruhnya di loggia; ia sendiri mencangkul dan menyiraminya dengan tangannya. Terjadilah pada suatu malam, ketika sang pangeran telah berbaring di tempat tidur dan memadamkan lilin, sementara dunia mulai diam dan semua orang memasuki lelap pertama, ia mendengar suara langkah-langkah di dalam rumah, lalu sesuatu yang meraba-raba menuju ke ranjangnya. Ia mengira itu mungkin seorang pelayan muda yang ingin mencuri dompetnya, atau mungkin pula seekor iblis kecil yang hendak menarik selimutnya. Tetapi karena ia seorang pemberani, yang bahkan api neraka takkan mampu menakutinya, ia berpura-pura seperti kucing mati dan menunggu bagaimana semua itu akan berakhir.

 

Dan ketika ia merasakan sosok itu kian mendekat dan menyentuhnya, ia sadar betapa lembutnya hal itu; dan di tempat ia menyangka akan menggenggam duri landak, ia malah menemukan sesuatu yang lebih halus dan lunak daripada wol Tunisia, lebih lentur dan patuh daripada ekor musang, lebih lembut dan rapuh daripada bulu burung kenari emas. Maka ia pun membalikkan tubuhnya dari sisi ranjang yang satu ke sisi yang lain, dan mengira bahwa itu pasti seorang peri (sebagaimana kenyataannya), lalu ia melingkarkan dirinya padanya bagaikan seekor gurita; dan ketika mereka bermain-main dalam keheningan burung gereja, mereka pun mencoba permainan "Batu di Pangkuan."

 

Namun sebelum Sang Surya muncul laksana tabib agung yang datang memeriksa bunga-bunga yang layu dan sakit, sang tamu itu bangkit dari ranjang dan menyelinap pergi, meninggalkan pangeran sarat dengan manisnya kenangan, mengandung rasa ingin tahu, dan dipenuhi dengan keajaiban.

 

Ketika permainan rahasia itu berlangsung selama tujuh hari, sang pangeran pun terbakar rindu dan meleleh dalam hasrat untuk mengetahui keberuntungan macam apakah yang turun dari bintang-bintang baginya dengan cara demikian, dan kapal apakah yang sarat dengan manisnya Cinta telah berlabuh di ranjangnya. Maka pada suatu malam, ketika gadis jelita itu tertidur, ia mengikat salah satu kepangan rambutnya pada lengannya agar ia tak bisa menyelinap pergi, lalu ia memanggil seorang pelayan; dan ketika lilin-lilin dinyalakan, ia pun melihat bunga dari segala keindahan, keajaiban dari segala wanita, cermin dan telur hias milik Venus, sebuah permata mungil Cinta. Ia melihat boneka kecil, merpati yang berkilauan, Fata Morgana, panji, bulir gandum emas; ia melihat pencuri hati, mata elang, bulan purnama, wajah merpati kecil, santapan yang layak bagi seorang raja, sebuah permata; singkatnya, ia menyaksikan sebuah tontonan yang membuat mata terbelalak.

 

Memandang semua itu, ia berseru, "Sekarang pergilah lompat ke dalam tungku, Dewi Cypria! Lilitkan tali di lehermu, O Helena! Kembalilah ke tempat asalmu, O Creusa dan Fiorella, sebab kecantikan kalian hanyalah kain perca dibandingkan dengan keindahan berlapis ganda ini, kecantikan utuh, sempurna, matang, agung, dan tegap! Inilah pesona yang pantas bersiul, pesona yang menyaingi Seville, pesona sekeras gemuruh halilintar, kelas utama, mulia, tanpa cela, dan di mana tak ada huruf 'z' yang tercemar! O tidur, O manisnya tidur, tumpahkan bunga poppymu ke mata permata jelita ini; jangan ganggu kenikmatan hatiku dalam menatap dengan sepenuh jiwa kemenangan dari kecantikan ini! O kepang indah yang mengikatku; O mata jelita yang menghangatkanku; O bibir indah yang menyegarkanku; O dada elok yang menghiburku; O tangan halus yang menusukku, dari bengkel keajaiban Alam yang mana patung hidup ini tercipta? Dari India manakah emas itu datang untuk menempa rambut ini? Dari Etiopia manakah gading itu didapat untuk membentuk dahi ini? Dari Maremma manakah batu merah berapi ditambang untuk ditanamkan pada mata ini? Dari Tirus manakah merah kirmizi diambil untuk mewarnai wajah ini? Dari Timur manakah mutiara dirangkai menjadi gigi-gigi ini? Dan dari gunung manakah salju diambil untuk ditaburkan di dada ini, salju yang mengkhianati kodratnya, sebab ia justru menumbuhkan bunga-bunga dan menghangatkan hati?"

 

Sambil mengucapkan kata-kata ini, ia melilitkan lengannya pada tubuh sang peri bagaikan sulur anggur yang mencari penopang hidupnya, dan ketika ia menekan lehernya, gadis itu pun terbebas dari lelap dan membalas salah satu helaan napas penuh cinta pangeran dengan sebuah lenguhan kecil yang manis.

 

Ketika ia melihat gadis itu telah terjaga, ia berkata kepadanya, "O permata hatiku, bila aku hampir kehilangan akal hanya dengan melihat kuil Cinta ini tanpa cahaya, bagaimana kiranya nasib hidupku kini, setelah engkau menyalakan dua pelita di dalamnya? O mata indah, yang dengan kemenangan cahayanya membuat bintang-bintang bangkrut; hanya engkau, ya hanya engkau, yang telah melubangi hatiku, dan hanya engkau pula yang, bagaikan telur segar, mampu membuat ramuan penawar untuk menyembuhkannya. O tabib jelitaku, kasihanilah seorang yang sakit cinta, yang karena pergantian udara dari gelap malam menuju cahaya kecantikan ini telah jatuh dalam demam! Letakkan tanganmu di dadaku, raba nadiku, tuliskan resep untukku! Namun mengapa aku mencari resep, oh jiwaku? Tiupkan saja lima lintah penyedot darah ke bibir ini dengan mulutmu yang indah! Aku tak menginginkan pengobatan lain di dunia ini selain belaian tangan mungilmu, sebab aku yakin bahwa dengan air penyegar dari karunia elokmu dan akar lidah lembumu, aku akan sembuh dan sehat kembali."

 

Mendengar kata-kata ini, sang peri jelita pun memerah laksana nyala api, dan menjawab, "Pujianmu terlalu banyak, Tuan Pangeran. Aku hanyalah hambamu, dan untuk melayani wajahmu yang bak wajah raja, aku rela sampai mengosongkan jambanmu, dan aku menganggap suatu keberuntungan besar bahwa dari sebuah ranting murad dalam pot tanah liat, aku telah berubah menjadi cabang laurel yang tergantung di taverna hati yang terbuat dari darah dan daging, sebuah hati yang mengandung kebesaran dan keutamaan semacam itu."

 

Mendengar itu, sang pangeran pun meleleh laksana lilin tallow yang terbakar; ia kembali merengkuhnya, dan setelah menyegel surat cintanya dengan sebuah ciuman, ia meraih tangan sang peri dan berkata, "Dengarlah janjiku: engkau akan menjadi istriku, engkau akan menjadi pemegang tongkatku, engkau akan memegang kunci hatiku, sebagaimana engkau telah memegang kemudi hidupku."

 

Dan setelah seratus lebih upacara serta kata-kata cinta, mereka pun bangkit dari ranjang dan memastikan bahwa isi perut mereka sehat, lalu mengulangi kebiasaan itu selama beberapa hari.

Namun karena Fortuna adalah perusak permainan dan perusak pernikahan, selalu menjadi batu sandungan bagi langkah-langkah Cinta, dan anjing hitam yang mengotori kenikmatan mereka yang mencinta, terjadilah bahwa sang pangeran dipanggil untuk berburu seekor babi hutan besar yang merusak kota, sehingga ia terpaksa meninggalkan istrinya, atau lebih tepatnya, dua pertiga dari hatinya. Tetapi karena ia mencintainya lebih daripada hidupnya sendiri, dan menganggapnya lebih indah daripada segala keindahan lain, dari cinta dan kecantikan itulah lahir jenis Cinta yang ketiga, cinta yang bagaikan badai di lautan kebahagiaan asmara, bagaikan hujan yang membasahi cucian sukacita Cinta, bagaikan jelaga yang jatuh ke dalam sup berminyak kenikmatan para kekasih. Cinta yang seperti itu, maksudku, adalah ular yang menggigit dan rayap yang menggerogoti, empedu yang meracuni, embun beku yang membekukan; cinta yang membuat hidup selalu tergantung pada seutas benang, pikiran selalu goyah, hati selalu penuh curiga.

 

Dan ketika ia memanggil peri itu, ia berkata kepadanya, "Aku terpaksa, wahai hatiku, untuk pergi dari rumah selama dua atau tiga malam; Tuhanlah yang tahu betapa pedihnya hatiku saat harus melepaskan diriku darimu, jiwaku sendiri. Hanya langit yang tahu bila sebelum aku sempat mulai berlari, aku sudah menempuh langkah terakhirku. Namun, demi menyenangkan ayahku, aku tak bisa menghindari kepergian ini, aku harus meninggalkanmu. Maka aku mohon kepadamu, demi segala cinta yang engkau rasakan untukku, kembalilah ke dalam potmu dan jangan keluar sampai aku kembali, yang akan terjadi secepat mungkin."

 

"Akan kulakukan itu," kata sang peri, "sebab aku tak tahu, tak mau, dan tak mampu menolak apa yang menjadi kesenanganmu. Pergilah, maka, bersama bunda keberuntungan, karena aku di sisimu untuk melayanimu. Tetapi lakukan satu hal untukku: tinggalkan sebuah lonceng kecil yang diikatkan dengan benang sutra pada pucuk murad, dan ketika engkau kembali, tariklah benang itu dan bunyikan loncengnya, maka aku akan segera melompat keluar dan berkata, 'Inilah aku.'"

 

Sang pangeran pun melakukan hal itu; bahkan ia memanggil seorang pelayan dan berkata, "Kemarilah, kau! Bukalah telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik: persiapkan ranjang ini setiap malam seakan-akan aku sendiri yang akan tidur di atasnya, dan jagalah pot ini tetap disiram. Tetapi ingat: aku sudah menghitung ranting-rantingnya, dan bila kutemukan ada yang hilang, maka aku akan memutus jatah rotimu."

 

Setelah berkata demikian, ia menaiki kudanya dan berangkat, bagai seekor domba yang digiring menuju penyembelihan, untuk mengejar seekor babi.

 

Sementara itu, tujuh perempuan sundal yang dipelihara oleh sang pangeran, ketika menyadari bahwa ia telah menjadi hangat lalu dingin dalam cinta, dan bahwa ia tak lagi menggarap ladang mereka, mulailah curiga bahwa ia telah melupakan persahabatan lama karena pesona baru. Maka, ingin menyingkap negeri baru, mereka memanggil seorang tukang batu dan dengan upah yang cukup lumayan mereka berhasil membuatnya menggali sebuah terowongan yang membentang dari bawah rumah mereka menuju kamar sang pangeran.

 

Lalu, perempuan-perempuan nista itu masuk dan mengintai, hendak melihat apakah ada penghuni baru, apakah ada pesona lain yang telah menipu mereka dari tangan mereka dan merebut hati sang pangeran. Mereka membuka kamar itu, tetapi tak menemukan siapa pun, dan ketika mereka melihat murad yang indah itu, masing-masing dari mereka mengambil sebatang ranting untuk dirinya sendiri; sedangkan yang termuda mengambil seluruh pucuk tanaman itu, tempat lonceng kecil tergantung.

 

Hampir tak tersentuh, lonceng itu berdenting, dan, mengira bahwa yang datang adalah sang pangeran, peri itu segera keluar. Tetapi begitu perempuan-perempuan jalang itu melihat sosok yang mempesona itu, mereka segera menerkamnya sambil berkata, "Jadi kaulah yang menarik air harapan kami ke kincirmu? Kaulah yang merampas dari tangan kami remah-remah kasih pangeran yang begitu manis? Kaulah 'Nyonya Keagungan' yang berani menguasai daging empuk yang dulunya milik kami? Selamat datanglah kau! Ayo, kini kau berada di papan cincangan! Ah, lebih baik andai ibumu tak pernah melahirkanmu; ayo, sudah waktunya bagimu! Kau sudah menabrak Vaiano! Kali ini benar-benar kau menabrak nasib! Kalau kau bisa lolos dari sini, maka aku tak lahir dalam sembilan bulan!"

 

Sambil berkata demikian, mereka melemparkan sebilah kayu ke kepalanya dan seketika memecahkannya menjadi seratus keping. Lalu masing-masing membawa pulang bagiannya; hanya si bungsu yang enggan turut dalam perkara keji itu, dan ketika saudari-saudarinya mengajaknya berbuat seperti mereka, ia tak menginginkan apa pun kecuali sehelai rambut emas dari peri itu. Setelah puas, mereka semua meninggalkan kamar itu melalui terowongan yang sama.

 

Sementara itu, pelayan datang untuk menyiapkan ranjang dan menyiram pot sebagaimana telah diperintahkan tuannya. Tetapi ketika ia menemukan malapetaka yang mengerikan itu, tubuhnya gemetar, hampir mati seketika. Sambil menggigit tangannya sendiri, ia memungut sisa-sisa daging dan tulang yang ada, dan setelah ia mengikis darah yang menodai lantai, ia mengumpulkan semuanya kembali ke dalam pot yang sama, lalu menyiraminya. Setelah itu, ia merapikan ranjang, menutup pintu, menguncinya, dan, meletakkan kuncinya di bawah pintu, ia pun menyingkir jauh dari kota itu dengan sandal tuanya.

 

Namun kemudian sang pangeran kembali dari perburuan dan menarik benang sutra serta membunyikan lonceng. Ayo, bunyikanlah; mungkin kau bisa menangkap beberapa burung puyuh! Bunyi lagi; mungkin sang uskup sedang lewat! Ia bisa saja membunyikan lonceng itu berulang-ulang; tetapi peri itu tak juga muncul.

 

Maka pergilah ia langsung ke kamar tidurnya, dan karena tak sabar untuk memanggil pelayannya dan meminta kunci, ia menendang pintu hingga terhempas terbuka, masuk, membuka jendela, dan, ketika melihat pot tanpa ranting itu, ia mulai menepuk dadanya dan meratap, berteriak, menjerit, meraung, "Oh celaka aku; oh sunyi aku; oh malang aku! Siapakah yang telah membuat janggut rami ini untukku? Siapakah yang memberiku kartu rendah dalam permainan trionfo? Oh pangeran yang hancur, binasa, tercerai-berai! Oh muradku yang tak berdaun; oh peri yang hilang dariku; oh hidupku yang nestapa! Oh nikmatku, kau telah lenyap seperti asap; oh kesenanganku, kau telah berubah pahit! Apa yang harus kau lakukan, Cola Marchione yang sial? Apa yang harus kau perbuat, orang malang? Lompatlah ke parit ini! Bebaskan dirimu dari derita ini! Segala yang baik telah berakhir bagimu, dan kau tak mengiris lehermu? Kau telah kehilangan setiap harta, dan kau tak mengalirkan darah dari nadimu? Kau telah diperlakukan seperti kotoran oleh kehidupan, dan kau tak segera pergi darinya?

 

Di manakah kau, di manakah kau, muradku? Dan jiwa kejam manakah, yang lebih keras daripada kelelawar, yang telah merusak pot indahku ini? Oh perburuan terkutuk, engkau telah memburu hingga mati setiap kebahagiaanku! Aduh, tamatlah riwayatku, habislah aku, ajal telah menjemputku, hari-hariku sudah berakhir; aku tak mungkin bisa hidup tanpa kehidupanku sendiri yang tercinta; aku akan dipaksa untuk meregangkan kaki terakhirku, sebab tanpa kekasihku, tidur hanyalah siksaan, makanan racun, kesenangan sembelit, dan hidup buah yang getir."

 

Sang pangeran melontarkan kata-kata itu dan masih banyak lagi ratapan lainnya yang sanggup menggerakkan batu-batu di jalan. Setelah lama berkeluh-kesah, melantunkan nyanyian duka yang getir, penuh derita dan murka, di mana ia tak pernah memejamkan mata untuk tidur atau membuka mulut untuk makan, akhirnya ia begitu dikuasai oleh penderitaan hingga wajahnya, yang dulunya merah cemerlang bak minium dari timur, kini berubah pucat seperti arsenik, dan daging bibirnya pun tampak seperti lemak tengik.

 

Ketika peri itu, yang telah mulai tumbuh kembali dari sisa-sisa yang diletakkan dalam pot, melihat bagaimana kekasih malangnya itu mencabuti rambutnya dan melemparkan tubuhnya ke sana kemari, dan bagaimana ia telah berubah menjadi sekadar segenggam kecil tubuh berwarna pucat seperti orang Spanyol yang sakit, seperti kadal kurus, sari kol, penyakit kuning, sebuah pir, pantat burung pematuk ara, dan kentut serigala, ia pun tergerak oleh belas kasih dan meloncat keluar dari pot seperti cahaya lilin yang memancar dari lentera buta.

 

Ia menjelma di hadapan Cola Marchione dan, merengkuhnya dalam pelukan, berkata, "Sudahlah, hiburlah dirimu, pangeranku, cukup sudah, cukup sudah! Akhiri ratapan itu, keringkan air matamu, tinggalkan kemarahanmu, lunakkan wajah murammu! Lihatlah, aku di sini, hidup dan cantik, meski ada burung-burung tua itu yang, setelah mereka memecahkan kepalaku, memperlakukan tubuhku seperti Typhon memperlakukan saudaranya yang malang!"

 

Menyaksikan ini, ketika sama sekali tak disangka-sangka, sang pangeran seolah kembali hidup. Dan ketika warna kembali ke pipinya, hangat kembali ke darahnya, dan roh kembali ke dadanya, ia mencurahkan seribu belaian dan pelukan, ciuman dan remasan padanya, lalu ingin mengetahui dari awal hingga akhir segala yang telah terjadi.

 

Ketika ia mendengar bahwa pelayan itu tak bersalah, ia pun memanggilnya, lalu memerintahkan sebuah perjamuan besar, dan dengan restu ayahandanya ia menikahi sang peri. Setelah itu ia mengundang semua bangsawan paling terhormat di kerajaan, dan terutama memastikan bahwa di atas segalanya ketujuh penyihir tua yang telah menyembelih anak domba mungil itu hadir pula.

 

Dan ketika mereka telah selesai makan, sang pangeran bertanya kepada masing-masing tamunya, satu demi satu, "Apakah hukuman yang pantas bagi seseorang yang telah menyakiti gadis cantik ini?"

 

Ia menunjuk pada peri itu, yang tampak begitu mempesona hingga menembus hati seperti sebuah panah, menarik jiwa-jiwa padanya seperti kerekan, dan menyeret nafsu bagaikan kereta luncur.

 

Maka setiap orang yang duduk di meja, mulai dari sang raja sendiri, menyampaikan pendapatnya. Ada yang berkata orang semacam itu layak digantung; yang lain berkata ia pantas dipatahkan di roda; yang lain lagi berkata ia pantas disiksa dengan pencapit; yang lain melemparkan ide agar ia dilempar dari tebing; satu menyebut hukuman ini, satu menyebut hukuman itu.

 

Akhirnya tibalah giliran ketujuh ikan kerapu tua itu berbicara. Meski mereka tak menyukai nada pembicaraan ini dan sudah mulai membayangkan malam buruk yang akan datang, toh mereka tetap menjawab sebab kebenaran selalu terucap di mana anggur sedang bersekongkol, bahwa siapa pun yang punya keberanian menyentuh bahkan sedikit saja potongan nikmat asmara ini, ia pantas dikubur hidup-hidup dalam pipa pembuangan.

 

Setelah vonis keluar dari mulut mereka sendiri, sang pangeran berkata, "Kalianlah yang telah menuntut diri kalian sendiri, kalianlah yang menandatangani surat kematian kalian sendiri. Tinggal aku melaksanakan perintah kalian, sebab kalianlah yang, dengan hati Nero dan kekejaman Medea, membuat telur dadar dari kepala mungil ini dan mencincang anggota tubuhnya yang cantik bak daging sosis. Maka cepatlah, jangan buang waktu lagi! Lemparkan mereka saat ini juga ke dalam saluran pembuangan, biar mereka akhiri hidup mereka dalam nestapa."

 

Perintah itu pun segera dijalankan. Setelahnya, sang pangeran menikahkan adik bungsu para perempuan jalang itu dengan pelayannya sendiri, memberinya mahar yang pantas, dan memberi pula orangtua si murad cukup harta untuk hidup sejahtera. Ia pun hidup berbahagia bersama sang peri, sementara putri-putri neraka itu, menutup hidup mereka dalam siksaan yang pahit, membuktikan kebenaran peribahasa para bijak kuno:

 

"Kambing pincang masih bisa berjalan, bila tak ada yang menghadang."

Peruonto

Hiburan Ketiga pada Hari Pertama

Mereka semua tampak sangat gembira atas hiburan yang telah diterima sang pangeran malang, dan juga atas hukuman yang dijatuhkan kepada para perempuan jahat itu. Tetapi karena giliran berbicara kini jatuh pada Meneca, maka percakapan yang lain pun dihentikan, dan ia mulai bertutur sebagai berikut:

 

Perbuatan baik tak pernah sia-sia; barangsiapa menabur keramahan akan menuai manfaat, dan barangsiapa menanam kebaikan akan memanen kasih sayang. Sebuah kebaikan yang ditujukan kepada jiwa yang tahu berterima kasih takkan pernah mandul, melainkan menumbuhkan rasa syukur dan melahirkan balasan. Manusia selalu dapat menemukan bukti akan hal ini dalam pengalaman sehari-hari; dan kalian akan melihat salah satu contohnya dalam kisah yang hendak kuceritakan.

 

Seorang wanita terpandang dari Casoria, bernama Ceccarella, memiliki seorang anak lelaki bernama Peruonto. Ia adalah makhluk paling muram, paling dungu, dan paling tolol yang pernah diciptakan Alam. Karena itulah hati sang ibu malang lebih hitam daripada kain perca tua; seribu kali dalam sehari ia mengutuki lututnya sendiri yang dahulu telah membuka jalan bagi kelahiran seorang pemburu lalat yang tak lebih berharga daripada beratnya air mani seekor anjing.

 

Namun sia-sialah jeritan dan keluh kesah perempuan malang itu; sekalipun ia berteriak dan membuka mulutnya selebar-lebarnya, si pemalas itu takkan bangkit dari tempat ia buang hajat hanya untuk menolong ibunya dalam urusan sekecil apa pun. Akhirnya, setelah ribuan makian yang menggelegar, seribu ocehan yang pedas, seribu kali 'sudah kubilang' dan 'kan kubilang lagi,' disertai teriakan hari ini dan bentakan esok, ia pun mengusir anaknya itu ke hutan untuk mencari kayu bakar. Katanya, 'Sudah saatnya kau tersedak sepotong makanan; pergilah ambil kayu, jangan sampai tersesat, dan cepat kembali, sebab kita perlu menumis sedikit batang brokoli dengan minyak agar hidup kita yang sengsara ini bisa ditarik sedikit lebih panjang.'

 

Maka si pemalas Peruonto pun berangkat, layaknya seorang terhukum yang digiring berjalan di antara para Saudara Keadilan Putih; ia melangkah seolah-olah menapaki telur, dengan langkah seekor murai; ia menghitung setiap tapak, bergerak pelan sekali, maju sedikit demi sedikit, merayap perlahan, berjalan lamban di jalan menuju hutan, seperti gagak yang terbang dan tak pernah kembali."

 

Dan ketika ia berada di tengah sebuah padang rumput, di mana mengalir sebuah sungai---bercakap-cakap dan bergemercik, mengeluh tentang kurang bijaknya batu-batu yang menghalangi jalannya---ia bertemu dengan tiga pemuda yang telah menjadikan rerumputan sebagai kasur kecil dan batu api sebagai bantal, lalu tidur seperti binatang yang disembelih di bawah terik panas matahari, yang menyiksa mereka dengan sinarnya yang tegak lurus.

 

Tatkala Peruonto melihat pemuda-pemuda malang itu, yang tampak bagaikan pancuran air di dalam tungku api, timbullah belas kasihan dalam hatinya. Dengan kapak yang dibawanya, ia menebang beberapa cabang pohon ek dan membuat sebuah naungan indah di atas mereka.

 

Sementara itu, ketiga pemuda itu yang sesungguhnya adalah putra-putra seorang peri terbangun, dan ketika mereka melihat betapa baik hati dan penuh kasihnya Peruonto, mereka menganugerahinya sebuah sihir: ia boleh memiliki apa pun yang ia inginkan.

 

Setelah itu, Peruonto melanjutkan perjalanannya menuju hutan, tempat ia mengumpulkan seikat kayu bakar yang begitu besar hingga perlu sebuah kereta luncur untuk menariknya. Ketika ia sadar bahwa berusaha memikulnya di punggung hanyalah pekerjaan sia-sia, ia naik dan mengangkanginya, sambil berkata, 'Ya ampun, andai saja seikat kayu ini bisa membawaku, berlari seperti seekor kuda!'

 

Dan, lihatlah, seikat kayu itu pun mulai berjalan dengan langkah teratur, bagaikan kuda murni dari Bisignano, dan ketika sampai di istana raja, ia berputar-putar serta melakukan lompatan-lompatan menakjubkan."

 

"Para dayang sedang berada di jendela, dan ketika melihat keajaiban itu, mereka segera berlari memanggil Vastolla, putri sang raja. Ia menatap keluar, dan saat menyaksikan gerakan lompatan-lompatan seekor kuda kayu bakar serta tingkah seikat ranting yang melompat-lompat, ia pun meledak tertawa. Padahal karena wataknya yang murung, tak seorang pun dapat mengingat kapan terakhir kali ia tertawa.

 

Ketika Peruonto mengangkat kepalanya dan melihat dirinya dijadikan bahan tertawaan, ia berkata, "Baiklah, Vastolla; semoga engkau mengandung dari lelaki ini!" Usai berkata demikian, ia menyepak tumpukan kayu itu dengan tumitnya, dan dalam derap kayu ia pun tiba di rumah hampir seketika. Begitu banyak anak-anak kecil yang mengikutinya, berteriak-teriak dan mengejek, hingga bila ibunya tak cepat-cepat menutup pintu di belakangnya, niscaya mereka akan membunuhnya dengan lemparan jeruk bali dan batang brokoli.

 

Namun, setelah Vastolla berhenti dari haidnya dan mulai merasakan ngidam serta degup-degup aneh dalam hatinya, ia pun menyadari bahwa adonan telah masuk ke dalam tungkunya. Ia berusaha menyembunyikan kehamilannya selama mungkin, tetapi ketika perutnya yang telah membesar seperti tong kecil tak lagi dapat ditutupi, raja pun mengetahui apa yang sedang terjadi.

 

Ia murka bukan kepalang, melakukan hal-hal di luar akal, lalu memanggil para penasihatnya dan berkata, "Kalian sudah tahu bahwa bulan kehormatanku kini telah memberiku tanduk; kalian sudah tahu bahwa putriku telah menyediakan tinta yang cukup untuk sebuah pena, yang akan menulis bukan sekadar kronik, melainkan "tanduk-nik" aibku; kalian sudah tahu bahwa ia telah membebani perutnya hanya untuk memberati dahiku. Maka katakanlah apa pendapat kalian; beri aku nasihat. Aku ingin ia menyerahkan jiwanya sebelum ia melahirkan keturunan busuk; aku ingin ia merasakan sakitnya kematian sebelum rasa sakit melahirkan; aku ingin memangkas tunasnya dan mencabutnya dari dunia ini sebelum ia sempat bertunas dan berbuah benih."

 

Para penasihat, yang telah menghabiskan lebih banyak minyak daripada anggur, berkata, "Ia memang pantas mendapat hukuman besar, dan tanduk yang telah ia tancapkan di dahimu selayaknya dijadikan gagang pisau yang akan mengakhiri hidupnya. Namun tidak; bila kita membunuhnya sekarang, saat ia sedang mengandung, maka si nekat itu akan lolos dari jerat: dialah yang telah mempersenjatai tanduk kanan dan tanduk kirimu, sehingga engkau berada di tengah-tengah pertempuran kekecewaan; dialah yang telah menghamparkan bagimu seorang Cornelius Tacitus untuk mengajarkan politik Tiberius; dialah yang telah mempersembahkan padamu mimpi sejati kehinaan dan mengeluarkannya dari pintu bertanduk. Maka, marilah kita tunggu sampai ia mencapai pelabuhannya, hingga kita dapat mengetahui dari mana akar aib ini berasal. Setelah itu barulah kita pertimbangkan dan putuskan, dengan sebutir garam kebijaksanaan, apa yang mesti dilakukan."

 

Nasihat ini terasa tepat bagi sang raja, yang melihat mereka berbicara dengan tertib dan masuk akal. Maka ia menahan tangannya dan berkata, "Baiklah, kita tunggu saja bagaimana akhir dari perkara ini."

 

Sebagaimana telah ditentukan langit, tibalah saat kelahiran. Dengan empat rasa sakit kecil, dan pada hembusan pertama dalam tempayan, pada kata pertama bidan, serta pada kram pertama di perutnya, Vastolla menumpahkan ke pangkuan sang bidan dua bayi lelaki montok yang bagaikan dua apel emas.

 

Raja, yang kini hamil bukan dengan janin melainkan dengan amarah, memanggil para penasihatnya agar ia pun bisa melahirkan isi hatinya, lalu berkata, "Baiklah, anakku sudah melahirkan anak-anaknya; sekarang tiba waktunya menolongnya dengan sebilah cambuk."

 

"Jangan," kata para tetua itu (dan semua hanya demi menunda waktu selama mungkin), "tunggulah sampai si kecil-kecil itu bertambah besar, agar kita bisa mengenali rupa ayah mereka pada wajah mereka."

 

Raja tak pernah menuliskan sebaris bait pun tanpa petunjuk dewan penasehatnya, takut bila ia menulis bengkok. Maka ia pun mengangkat bahunya, menahan diri, dan menunggu hingga bocah-bocah itu genap berusia tujuh tahun. Saat itulah para penasihat kembali mendorongnya agar menyerang batang pohon beserta cabangnya.

 

Salah seorang dari mereka berkata, '"Karena engkau tak juga berhasil membuat putrimu menanggalkan kaus kakinya dan dengan lidahnya sendiri mengaku siapa pemalsu itu, dia yang telah menggunakan gambaranmu untuk mencurangi mahkotamu, maka kini mari kita hapus noda ini. Perintahkanlah sebuah perjamuan besar dipersiapkan dan setiap bangsawan serta lelaki terhormat di kota datang menghadirinya. Kita akan memperhatikan dengan seksama, dan mengarahkan mata kita ke talenan, supaya kita dapat melihat kepada siapa anak-anak itu, didorong oleh Alam, paling rela berpaling; sebab tanpa ragu dialah ayah mereka, dan kita akan membersihkannya seperti sejumput kotoran gagak."

 

Raja senang dengan pendapat ini. Ia memerintahkan perjamuan diadakan dan mengundang setiap orang yang mengenakan jubah dan memiliki kedudukan. Ketika mereka semua selesai makan, ia menyuruh mereka berbaris, dan kedua anak lelaki itu dibawa melewati mereka satu per satu. Namun anak-anak itu memberi perhatian pada mereka sama sedikitnya dengan anjing Alexander terhadap kelinci, sehingga sang raja murka dan menggigit bibirnya. Dan meskipun sepatu tidak kurang tersedia, sepatu itu terlalu sempit baginya hingga ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah karena sakit.

 

Namun para penasihat berkata kepadanya, "Tenanglah, paduka, dan dengarkanlah kami: besok kita adakan perjamuan lain, bukan untuk orang-orang terhormat, melainkan untuk kalangan bawah. Sebab wanita selalu condong kepada yang terburuk, barangkali, bila kita tidak menemukannya di antara para bangsawan, kita akan menemukan benih amarah paduka di antara para tukang pisau, pedagang kaki lima, dan penjual sisir."

 

Pertimbangan ini berkenan di hati sang raja, dan ia memerintahkan perjamuan kedua diadakan. Sesuai dengan proklamasi, semua orang bodoh, gelandangan, penjahat, bajingan, berandalan, anak nakal, bandit, pemalas, pengemis, penipu, penggarong jenazah, dan setiap orang di kota yang mengenakan celemek dan sandal kayu diundang untuk datang. Dan ketika mereka semua duduk berderet rapi seperti sekian banyak tuan besar di meja panjang, mereka pun mulai melahap hidangan yang tersedia.

 

Sekarang Ceccarella, yang telah mendengar proklamasi itu, mulai mendesak Peruonto, mengatakan bahwa ia pun harus pergi menghadiri pesta tersebut. Ia terus mendesak hingga akhirnya ia berangkat menuju perjamuan. Baru saja ia tiba, kedua anak lelaki yang rupawan itu segera melekat padanya laksana kutu, mencurahkan pelukan dan ciuman tanpa henti.

 

Ketika sang raja melihat hal itu, ia mencabut seluruh janggutnya, sebab ia menyadari bahwa kacang dalam kue ini, tiket kemenangan dalam undian ini, jatuh kepada sosok mengerikan yang sekadar melihat wajahnya saja membuat mual dan muntah. Selain memiliki rambut lebat dan kusut, mata seekor burung hantu, hidung burung kakaktua, serta mulut ikan kerapu, ia pun telanjang kaki dan begitu compang-camping hingga bahkan tanpa membaca Fioravante pun orang bisa melihat bagian rahasianya.

 

Dengan helaan napas suram, sang raja berseru, "Apa yang dilihat babi betina putriku ini hingga ia terpikat pada monster laut ini? Apa yang ia lihat hingga ia berlari kencang bersama si kaki-berbulu ini? O, gadis tak tahu malu, buta, penuh tipu daya! Perubahan macam apakah ini? Menjadi seekor sapi demi seekor babi, sehingga aku sendiri berubah menjadi domba? Apa lagi yang kita tunggu? Mengapa kita masih berunding? Biarlah ia menerima hukuman yang pantas baginya; biarlah ia menanggung sanksi yang kalian anggap patut. Singkirkan dia dariku, sebab aku tak sanggup menatapnya lagi."

 

Para penasihat lalu bermusyawarah, dan menyimpulkan bahwa putri itu, bersama si pelaku kejahatan dan anak-anak mereka, harus dilemparkan ke dalam sebuah tong besar dan dihanyutkan ke laut, agar hidup mereka berakhir tanpa perlu sang raja mengotori tangannya dengan darah mereka.

 

Begitu hukuman itu dijatuhkan, seketika muncullah sebuah tong besar, dan ke dalamnya keempat orang itu dijejalkan. Namun sebelum ditutup rapat, beberapa dayang Vastolla, sambil menangis dan meratap, meletakkan satu tong kecil berisi kismis dan buah ara kering, agar mereka bisa bertahan hidup sedikit lebih lama. Setelah itu tong ditutup rapat, dibawa, dan dilemparkan ke laut, tempat ia terapung mengikuti arah angin yang membawanya.

 

Sementara itu Vastolla, menangis hingga kedua matanya mengalirkan dua sungai deras, berkata kepada Peruonto, "Alangkah malangnya nasib kita, memiliki buaian Bacchus sebagai liang kubur kita! Oh, jika saja aku tahu siapa yang telah mempermainkan tubuhku hingga kini aku dilemparkan ke dalam wadah ini! Sungguh malang, hidupku dihabiskan tanpa tahu sebabnya! Katakanlah, katakan padaku, wahai kejam, mantra macam apakah yang kau bacakan, dan tongkat sihir macam apakah yang kau gunakan, hingga kini aku terkurung dalam lingkaran besi tong ini? Katakanlah, katakan padaku, iblis macam apa yang menggoda dirimu hingga kau memasang pancuran tak kasatmata padaku, sehingga satu-satunya celah untuk melihat dunia hanyalah lubang busuk ini?"

 

Peruonto, yang sepanjang waktu mendengarkan dengan telinga pedagang, akhirnya menjawab, "Jika kau ingin aku memberitahumu, berikan aku kismis dan buah ara." Vastolla pun memberinya segenggam dari keduanya, agar ia bersuara. Dan begitu perutnya penuh, ia menceritakan satu per satu: perjumpaannya dengan tiga pemuda itu, kemudian dengan ikatan kayu bakar, dan akhirnya dengan dirinya di jendela, saat ia dipermainkan sebagai badut gendut dan justru ia yang mendapat perut berisi karenanya.

 

Mendengar penjelasan itu, sang putri malang pun mulai bersemangat kembali dan berkata kepada Peruonto, "Saudaraku, apakah kita ingin hidup kita berakhir dalam tong ini? Mengapa kau tidak mengubah bejana ini menjadi sebuah kapal indah, agar kita dapat lari dari bahaya dan berlayar menuju pelabuhan yang aman?" Dan Peruonto menjawab, "Berikan aku kismis dan buah ara bila kau ingin aku melakukannya." Vastolla segera menuruti, langsung memenuhi kerongkongannya agar ia mau membuka mulut, dan seperti seorang nelayan perempuan di pesta Karnaval, ia memancing kata-kata segar dari mulut Peruonto dengan kismis dan buah ara kering.

 

Begitu Peruonto mengucapkan apa yang diinginkan Vastolla, tong itu pun berubah menjadi sebuah kapal megah, lengkap dengan segala tali-temali yang dibutuhkan untuk berlayar dan seluruh awak yang diperlukan untuk menggerakkannya. Dan terlihatlah seorang menarik layar, seorang menggulung tali-temali, seorang menjaga kemudi, seorang merawat layar, seorang memanjat hingga ke tiang tertinggi, seorang berteriak, "Kendorkan kemudi!" dan seorang lagi, "Angkat layar!"; ada yang meniup terompet, ada yang menyalakan meriam, ada yang sibuk dengan satu hal dan seorang lagi dengan hal lainnya.

 

Vastolla pun berenang dalam lautan kebahagiaan di atas kapal itu, dan karena waktu sudah tiba ketika Sang Bulan senang bermain dengan Sang Matahari dalam permainan "Kau Datang dan Kau Pergi, dan Tempatmu Telah Usai," ia berkata kepada Peruonto, "Wahai pemuda tampan, ubahlah kapal ini menjadi sebuah istana megah, sebab dengan begitu kita akan lebih aman. Kau tahu peribahasa yang mengatakan: 'Puji laut, tapi tetaplah di darat.'"

 

Dan Peruonto menjawab, "Jika kau ingin aku melakukannya, berikan aku kismis dan buah ara." Vastolla segera mengurus hal itu tanpa menunda, dan Peruonto, yang selalu terjerat oleh kerongkongannya, meminta imbalan. Seketika kapal itu merapat dan berubah menjadi sebuah istana yang menakjubkan, dihiasi dengan indah dari puncak hingga dasar, dipenuhi perabotan dan kemewahan hingga tak ada lagi yang dapat diinginkan.

 

Padahal sebelumnya Vastolla rela menukar hidupnya demi tiga keping koin, kini ia tak akan menukarnya sekalipun dengan wanita paling mulia di dunia, sebab ia telah diberi anugerah dan dilayani layaknya seorang ratu. Untuk menyempurnakan segala keberuntungannya, hanya tinggal satu hal yang perlu ia pinta kepada Peruonto: agar ia memperoleh karunia menjadi tampan dan elok parasnya, sehingga mereka dapat menikmati segalanya bersama. Sebab meskipun ada pepatah yang berkata, "Lebih baik punya suami buruk rupa daripada kaisar sebagai teman," namun tetap saja bila wajahnya berubah elok, Vastolla akan menganggapnya sebagai keberuntungan terbesar di dunia.

 

Dan, menurut kebiasaan perjanjian yang sama, Peruonto menjawab, 'Berikan aku kismis dan buah ara jika kau ingin aku melakukannya.' Vastolla segera menemukan obat bagi sembelit kata-kata Peruonto dengan obat pencahar berupa buah ara. Belum selesai ia mengucapkan kata-kata itu, seketika ia berubah dari seorang pengangon lalat menjadi seekor burung kenari emas, dari raksasa buruk rupa menjadi seorang Narcissus, dari topeng menyeramkan menjadi boneka mungil yang memesona.

 

Ketika Vastolla melihat perubahan itu, ia melayang ke langit ketujuh karena bahagia, dan merengkuhnya erat dalam pelukan, ia peras keluar sari manis kebahagiaan.

 

"Pada saat yang sama, sang raja  yang sejak hari malapetaka itu telah tenggelam sampai leher dalam segala urusan 'biarkan aku sendiri' dibawa berburu oleh para pengawalnya demi menghibur hatinya. Namun ketika malam datang menyergap mereka, tampaklah sebuah lampu minyak menyala di jendela istana itu. Maka raja mengutus seorang pelayan untuk menanyakan apakah mereka bersedia memberikan tempat berteduh baginya.

 

Jawaban yang ia terima ialah bahwa bukan hanya ia boleh memecahkan segelas minuman di sana, melainkan ia juga dipersilakan memecahkan sebuah bejana kamar. Dan demikianlah sang raja masuk, menaiki tangga serta melewati ruang-ruang, namun ia tak melihat seorang pun kecuali dua bocah kecil itu, yang berlarian mengelilinginya sambil berseru, 'Kakek, Kakek!'

 

Raja itu tercengang, terpesona, dan terdiam bagai terkena sihir. Dan ketika akhirnya ia merasa letih dan duduk di meja, lihatlah! Taplak dari linen Flanders terbentang tanpa terlihat tangan siapa pun, dan piring-piring penuh berbagai hidangan dibawa ke meja lalu diangkat kembali, hingga ia makan dan minum seperti benar-benar seorang raja.

 

Ia dilayani oleh kedua bocah tampan itu, dan sepanjang waktu ia duduk di meja, musik dimainkan dengan kecapi dan rebana, hingga getarannya meresap sampai ke tulang-tulang kecil di kakinya.

 

Begitu ia selesai makan, muncullah sebuah ranjang penuh buih emas, dan ketika butiran sepatunya dilepaskan, ia berbaring untuk tidur, demikian pula seluruh rombongan istana, yang juga telah kenyang setelah berpesta di seratus meja lain yang terhidang di ruang-ruang lainnya."

 

Ketika pagi tiba dan raja hendak berangkat, ia ingin membawa kedua bocah kecil itu bersamanya. Namun Vastolla keluar bersama suaminya dan, sambil melemparkan diri di kaki sang ayah, ia memohon pengampunan serta menceritakan segala petualangannya.

 

Raja, yang kini melihat bahwa ia telah mendapatkan dua cucu yang laksana permata dan seorang menantu tampan bak peri, memeluk mereka semua dan membawa mereka kembali ke kota. Dan untuk merayakan perolehan yang begitu indah ini, ia memerintahkan diadakannya pesta besar yang berlangsung selama berhari-hari.

 

Dan akhirnya ia pun harus mengakui, meski di luar kehendaknya sendiri, bahwa manusia boleh berencana, namun Tuhanlah yang menentukan.

Vardiello

Hiburan Keempat dari Hari Pertama

Sesudah Meneca selesai dengan kisahnya, yang dinilai tak kalah menakjubkan daripada kisah-kisah lainnya, yang penuh dengan kejadian aneh yang membuat para pendengarnya menahan napas sampai akhir---Tolla, menuruti perintah pangeran, maju untuk berbicara. Tanpa membuang waktu ia berkata demikian:

 

"Seandainya Alam telah memberi kepada binatang kebutuhan untuk berpakaian dan mengeluarkan uang demi makanan, niscaya bangsa berkaki empat sudah lama musnah. Namun mereka mampu menemukan makanan tanpa perlu seorang petani memetiknya, seorang pembeli membelinya, seorang juru masak menyiapkannya, atau seorang pengurus meja memotongkannya; dan kulit mereka sendiri melindungi dari hujan maupun salju, tanpa perlu pedagang memberi kain, penjahit membuat pakaian, ataupun bocah suruhan meminta uang jasa.

 

Akan tetapi Alam tidak terpikir untuk memberi kemudahan ini kepada manusia, yang berakal budi, karena manusia tahu cara mendapatkan apa yang dibutuhkannya sendiri. Itulah sebabnya mengapa sudah lumrah terlihat orang bijak hidup melarat, sementara si dungu hidup berlimpah harta, sebagaimana akan tampak dari kisah yang hendak aku ceritakan.

 

Grannonia dari Aprano adalah seorang perempuan yang amat bijaksana; tetapi ia memiliki seorang anak bernama Vardiello, yang merupakan si tolol paling tak berguna di seluruh kota. Meskipun demikian, karena mata seorang ibu selalu terpesona dan melihat apa yang tak ada, ia menaruh kasih sayang tanpa batas kepadanya, mengurus dan membelai seolah-olah dialah makhluk tercantik di dunia.

 

Grannonia memiliki seekor induk ayam yang sedang mengerami telur, pada anak-anak ayam itu ia gantungkan segala harapan, berharap hasil tetasan itu kelak membawa laba yang lumayan. Maka ketika ia harus pergi untuk suatu urusan, ia memanggil putranya dan berkata, "Anak manis kesayangan Mama, dengarlah: jagalah ayam itu baik-baik. Jika ia bangkit untuk mematuk-matuk, pastikan kau menyuruhnya kembali ke sarang, sebab jika tidak, telur-telurnya akan dingin, dan nanti takkan ada telur mungil atau anak ayam kecil.'"

 

"Biar aku yang urus," jawab Vardiello, "kau tidak sedang berbicara pada telinga tuli."

 

"Satu hal lagi," sambung ibunya.

"Lihatlah, anakku yang terberkati: di dalam lemari itu ada sebuah toples kecil berisi benda beracun. Pastikan jangan sampai kau melakukan dosa besar menyentuhnya, atau kau akan meluruskan kakimu untuk terakhir kali."

 

"Jangan sampai, Tuhan melarang!" sahut Vardiello. "Racun tidak akan menjamahku; dan kau benar-benar wanita bijak yang tolol karena sudah mengingatkan aku, sebab bisa saja aku menabraknya tanpa sengaja, dan ketika itu tak ada duri ikan ataupun tulang rawan yang mampu menghalanginya masuk."

 

Dan demikianlah ibunya pergi, dan Vardiello tinggal sendirian. Agar tidak menyia-nyiakan waktu, ia keluar ke kebun dan mulai membuat parit-parit kecil yang ditutupi ranting dan tanah, agar anak-anak jatuh ke dalamnya.

 

Tetapi ketika ia sedang asyik bekerja, ia sadar bahwa induk ayam sedang berjalan-jalan keluar dari kamarnya. Maka ia pun mulai berkata, "Hus, hus, pergi sana, masuk kembali ke sarang!" Namun ayam itu tak mengangkat kakinya sedikit pun, dan setelah 'hus, hus' tak digubris, Vardiello melihat si ayam berperangai bagai keledai, mulai menghentak-hentakkan kakinya.

 

Dan setelah menghentak-hentakkan kaki, ia melemparkan topinya; lalu setelah topi, ia melemparkan sebuah penggilas adonan, yang mengenai tubuh ayam itu tepat sasaran dan membuatnya meluruskan kaki untuk terakhir kali, lalu mati.

 

Melihat malapetaka mengerikan ini, Vardiello berpikir mencari penawar bagi kerusakan yang telah terjadi; dan, menjadikan kebutuhan sebagai kebajikan, segera ia menurunkan celananya dan duduk di atas sarang agar telur-telurnya tidak dingin. Tetapi karena ia menjatuhkan tubuhnya terlalu berat, ia malah membuat telur-telur itu menjadi omelet.

 

Menyaksikan bahwa ia telah menggandakan kerugiannya, ia merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Akhirnya, karena setiap duka berakhir dengan sesuap makanan, ketika perutnya mulai berbunyi, ia pun memutuskan untuk melahap ayam itu.

 

Dan demikianlah, setelah mencabuti bulunya dan menusukkannya pada sebuah besi pemanggang yang bagus, ia menyalakan api yang besar dan mulai memanggangnya. Dan supaya segala sesuatunya siap tepat waktu, ketika ayam itu hampir matang ia menghamparkan sebuah kain bersih yang baru dicuci di atas sebuah peti tua, lalu mengambil kendi dan turun ke gudang bawah tanah untuk menuang sedikit anggur dari  tong anggur kecil.

 

Tepat ketika ia sedang menuang anggur itu, terdengarlah suara gaduh, keributan, dan hiruk pikuk di rumah, bagaikan derap kuda berzirah. Ketakutan, ia menoleh dan melihat seekor kucing besar telah kabur membawa ayam itu bersama dengan seluruh besi pemanggangnya, sementara seekor kucing lain berlari mengejarnya, menjerit menuntut bagiannya.

 

Untuk menebus kerugian ini, Vardiello menerkam kucing itu laksana singa yang dilepaskan dari rantai, dan dalam terburu-buru ia meninggalkan tong anggur itu tanpa ditutup. Setelah bermain kejar-kejaran di setiap sudut rumah, akhirnya ia berhasil merebut kembali ayam itu, tetapi seluruh anggur telah habis tumpah dari tong.

 

Ketika Vardiello kembali dan melihat kekacauan di hadapannya, ia membuka tong jiwanya sendiri lewat keran matanya. Namun, dibantu oleh akal sehatnya yang seujung kuku, ia mencari cara menutupi kerusakan agar ibunya tidak menyadari besarnya kehancuran: ia mengambil sekarung tepung yang penuh sesak, padat, penuh tumpah ruah hingga melimpah, dan menaburkannya di atas lantai yang basah.

 

Namun demikian, ketika ia menghitung dengan jarinya segala malapetaka yang telah terjadi, dan mempertimbangkan bahwa dengan menghancurkan segalanya seperti seekor keledai sejati ia telah kehilangan lomba dalam memperebutkan kasih sayang Grannonia, ia pun memutuskan dengan sepenuh hati untuk tidak membiarkan dirinya ditemukan hidup-hidup oleh ibunya.

 

Maka dibukanya kendi kecil berisi kacang yang diawetkan, yang oleh ibunya telah diberitahukan sebagai racun, dan ia tak mengangkat tangannya hingga terlihat dasar kendi. Dan ketika perutnya sudah penuh kenyang, ia pun menyelipkan dirinya masuk ke dalam tungku perapian.

 

Sementara itu, ibunya pulang. Ia mengetuk pintu cukup lama, tetapi melihat bahwa tak ada seorang pun yang mendengar, ia menendang pintu, masuk ke dalam, dan memanggil anaknya dengan suara lantang. Ketika melihat tak ada jawaban, ia pun merasa firasat buruk, dan semakin mencekam hatinya, semakin nyaringlah ia berteriak, "Oh, Vardiello! Oh, Vardiello, apakah kau tuli; mengapa tidak kau dengar aku? Apakah kau encok; mengapa tidak kau berlari datang? Apakah kau sakit parah; mengapa tak kau jawab? Di manakah kau, wajah pembawa tiang gantungan? Ke mana kau menyelinap, anak durhaka? Oh, andai saja aku telah menenggelamkanmu di sumbernya, ketika aku melahirkanmu!"

 

Ketika Vardiello mendengar hiruk pikuk ini, akhirnya ia menjawab dengan suara paling menyedihkan, "Di sini aku, Ibu. Aku di dalam tungku, dan engkau takkan pernah melihatku lagi."

 

"Mengapa tidak?" jawab ibunya yang malang.


 "Karena aku telah meracuni diriku sendiri," sahut sang anak.


 "Astaga," tambah Grannonia, "bagaimana bisa? Apa alasanmu melakukan kejahatan ini? Dan siapa yang memberimu racun itu?"

 

Dan satu demi satu, Vardiello menceritakan segala kesialan indah yang baru saja dialaminya, dan bagaimana karena semua itu ia ingin mati agar tak perlu lagi menanggung penderitaan dunia.

 

Ketika ibunya mendengar semua itu, hatinya hancur, pahit rasanya, dan ia harus banyak berbuat serta berkata sebelum berhasil mengusir murung dari kepala Vardiello. Dan karena ia mencintai putranya hingga ke dasar jantungnya, diberikannyalah kepadanya semacam sirop yang menghapus gagasan tentang kacang yang diawetkan dari benaknya, sebab ternyata itu bukanlah racun melainkan sekadar ramuan tonik untuk perut.

 

Dan setelah ia meyakinkan anaknya dengan kata-kata lembut dan memberinya seribu pelukan, ditariknyalah Vardiello keluar dari tungku, lalu diberinya selembar kain bagus dan disuruhnya pergi menjualnya, dengan peringatan agar jangan berurusan dengan orang-orang yang terlalu banyak bicara.

 

"Bagus sekali!' kata Vardiello. "Jangan ragu, aku akan melayanimu dengan sebaik-baiknya!"

 

Dan sambil membawa kain itu, ia pun berlari-lari di kota Napoli, tempat ia membawa dagangannya, sambil berteriak, "Kain, kain!"

 

Tetapi kepada setiap orang yang bertanya, "Kain apa ini?" ia menjawab, "Kau bukan orang yang cocok denganku, kau terlalu banyak bicara."

 

Dan jika ada orang lain yang bertanya, "Berapa harga yang kau minta?" ia pun menyebutnya cerewet, dan berkata bahwa mereka memberati otaknya serta membuat kepalanya sakit.

 

Akhirnya, tibalah ia di sebuah halaman rumah kosong yang telah ditinggalkan karena dihuni oleh roh pengganggu. Di sanalah bocah malang itu, letih kakinya dan penat berlarian, duduk di atas sebuah tembok kecil.

 

Melihat tiadanya lalu-lintas di tempat itu, yang tampak seperti ladang yang telah dijarah, ia berkata dengan takjub kepada sebuah patung plester yang berdiri di sana, "Katakan padaku, kawan, apakah tak ada seorang pun yang tinggal di sini?"

 

Dan ketika melihat patung itu tak menjawab, tampaklah olehnya bahwa ini adalah seorang yang sedikit bicara, maka katanya, "Apakah kau ingin membeli kain ini? Akan kuberikan padamu dengan harga baik!"

 

Dan karena patung itu tetap diam, ia pun berkata, "Aku bersumpah, inilah yang kucari! Ambillah, lihatlah, lalu berikan kepadaku berapa pun yang kau kehendaki; besok aku akan kembali untuk mengambil uangnya."

 

Maka ditaruhnyalah kain itu di tempat ia duduk tadi, dan orang pertama yang masuk ke situ untuk membuang hajat menemukan keberuntungannya dan membawanya pergi.

 

Ketika Vardiello pulang kepada ibunya tanpa kain itu dan menceritakan bagaimana kejadian berlangsung, hampir saja ibunya kena serangan jantung, dan berkata kepadanya, "Kapan kau akan waras? Lihatlah betapa banyak kekacauan yang telah kau timbulkan! Ingatlah semuanya! Tetapi salahku juga, karena paru-paruku lembut; aku tak membakar punggungmu sejak pertama, dan kini barulah kusadari bahwa tabib yang terlalu murah hati hanya membuat luka tak tersembuhkan. Kau akan terus menimbulkan kesusahan bagiku sampai kau mendapat pelajaran keras, dan saat itu barulah kita akan mengakhiri perhitungan kita."

 

Tetapi Vardiello berkata, "Diamlah, Ibu tersayang, takkan terjadi seperti katamu! Apa lagi yang kau inginkan selain koin-koin segar? Apakah kau mengira aku orang bodoh dari Ioio yang tak tahu urusanku sendiri? Esok masih ada! Tidak jauh dari sini ke Belvedere, dan kau akan lihat apakah aku tahu cara menaruh gagang pada sekop."

 

Keesokan paginya---saat bayang-bayang Malam, diusir oleh polisi Sang Matahari, terusir dari kota---Vardiello pun pergi ke halaman tempat patung itu berada dan berkata, "Selamat pagi, Tuan; kiranya berkenanlah kau memberiku empat keping uang itu? Ayolah, bayarlah kain yang kuberikan padamu."

 

Namun ketika dilihatnya patung itu tetap bisu, ia mengambil sebuah batu dan melemparkannya dengan sekuat tenaga, menghantam tepat di dada patung itu, hingga retaklah sebuah uratnya.

 

Dan itulah keselamatan rumah tangganya, sebab beberapa potongan besar plester pecah, dan di dalamnya ia temukan sebuah periuk penuh dengan scudo emas.

 

Disambarnya periuk itu dengan kedua tangannya, dan ia berlari pulang secepat angin, sambil berteriak, "Ibu! Ibu! Lihatlah kacang merah ini, lihatlah semuanya, lihatlah!"

 

Begitu ibunya melihat koin-koin itu, ia segera mengerti bahwa anaknya akan mengumumkan hal ini kepada dunia, dan ia pun berkata kepadanya agar menunggu di ambang pintu hingga penjual ricotta lewat, karena ia ingin membeli susu seharga satu koin.

 

Vardiello, yang selalu lahap akan segala sesuatu, segera duduk di depan pintu, dan lebih dari setengah jam lamanya ibunya, dari jendela atas, menurunkan hujan deras berupa lebih dari enam gulungan kismis dan buah ara kering, yang dipungut oleh Vardiello sambil berseru, "Oh, Ibu! Oh, Ibu! Ambillah baskom, keluarkanlah tempayan, siapkanlah ember, sebab jika hujan ini terus turun, kita akan menjadi kaya!"

 

Dan ketika perutnya telah penuh sesak, ia pun naik ke atas untuk tidur.

 

Suatu hari, ada dua pekerja, dari golongan yang suka berkeluyuran di sekitar pengadilan, tengah bertengkar tentang siapa yang berhak atas sebuah koin emas yang ditemukan di tanah.

 

Vardiello lewat di tempat itu dan berkata, "Betapa bodohnya kalian, bertengkar hanya karena sebutir kacang merah! Aku sendiri tak peduli, sebab aku telah menemukan satu periuk penuh kacang semacam itu."

 

Ketika polisi pengadilan mendengar hal ini, mata mereka terbuka lebar, lalu mereka menginterogasinya, menanyakan bagaimana, kapan, dan dengan siapa ia menemukan koin-koin tersebut.

 

Dan Vardiello menjawab, "Aku menemukannya di sebuah istana, di dalam seorang lelaki bisu, ketika sedang turun hujan kismis dan buah ara kering."

 

Tatkala sang hakim mendengar jawaban yang seaneh sebuah nada sumbang, ia langsung memahami duduk perkaranya, dan menjatuhkan vonis agar Vardiello dimasukkan ke sebuah rumah sakit jiwa, yang memang berwenang mengadili perkara semacam ini.

 

Maka, kebodohan si anaklah yang membuat sang ibu menjadi kaya, dan kebijaksanaan sang ibu pula yang menutupi kebebalan si anak. Dari sini jelaslah bahwa sebuah kapal yang dikemudikan oleh nakhoda yang cakap, jarang sekali akan pecah di karang."

Kutu

Hiburan Kelima pada Hari Pertama

Sang pangeran dan budaknya terpingkal-pingkal mendengar kebodohan Vardiello, dan mereka memuji kebijaksanaan ibunya, sebab ia mampu meramalkan tabiatnya yang keji dan menemukan jalan keluar baginya.

 

Ketika Popa didesak untuk mulai bercerita, ia menanti sampai semua yang lain mengunci rapat mulut mereka, lalu ia pun mulai berkata:

 

"Keputusan yang diambil tanpa pertimbangan selalu berujung pada kebinasaan tanpa penawar. Barangsiapa bertindak seperti orang gila, akan menderita seperti orang bijak, sebagaimana yang terjadi pada Raja Gunung Tinggi, yang karena kesalahan sepele bernilai empat uang receh, melakukan kebodohan setinggi tumit bertumit tinggi, dan menjerumuskan putrinya serta kehormatannya ke dalam bahaya yang tiada terkira.

 

Sang raja Gunung Tinggi pernah digigit seekor kutu. Dan ketika ia menjentiknya dengan cekatan, lalu melihat betapa elok dan kokoh tubuh kecil itu, ia merasa sayang untuk menghukum mati makhluk itu di tiang kukunya. Maka ia menaruh kutu itu di dalam sebuah karaf, dan setiap hari memberinya makan dengan setetes darah dari lengannya sendiri.

 

Kutu itu tumbuh dengan begitu cepat, hingga pada akhir tujuh bulan, ketika ia harus memindahkannya ke tempat yang lebih besar, tubuhnya sudah melebihi seekor anak domba. Melihat hal itu, sang raja menyuruh agar kulitnya dikuliti; dan setelah kulit itu diawetkan, ia mengeluarkan sebuah titah: siapa pun yang mampu mengenali kulit itu berasal dari hewan apa, akan dianugerahi putrinya sebagai istri.

 

Setelah maklumat itu diumumkan, berduyun-duyunlah orang berdatangan, berlari dari segenap penjuru bumi untuk menghadiri ujian itu dan mencoba peruntungan. Ada yang berkata itu kulit kucing raksasa, ada yang menebak lynx, ada pula yang bilang buaya, ada yang berkata binatang ini, ada pula yang menebak binatang itu. Namun semuanya meleset seratus mil jauhnya, tak satu pun yang benar mengenai sasaran.

Akhirnya, muncullah seorang ogre untuk ikut serta dalam ujian anatomi itu, seorang ogre yang merupakan makhluk paling mengerikan di dunia, yang dengan sekali pandang saja mampu membuat pemuda paling berani gemetar, mencret, berulat, dan menggigil.

 

Begitu ia datang, ogre itu segera berputar-putar di sekitar kulit itu, mengendus-endusnya, dan tepat mengenai sasaran ketika ia berkata, "Ini adalah kulit dari pemimpin segala kutu."

 

Sang raja melihat bahwa si ogre telah menempelkan cangkoknya pada batang pohon yang benar, lalu ia memanggil putrinya, Porziella, yang tampak seakan-akan hanya terbuat dari susu dan darah.

 

Oh, alangkah eloknya! Ia bagai gelendong mungil, begitu indah hingga mata yang memandanginya seolah-olah sedang membelai dengan kasih.

 

Sang raja berkata kepadanya, "Anakku, engkau tahu titah yang telah kuumumkan, dan engkau tahu siapa diriku. Segala sesuatu telah dipertimbangkan, dan aku tak bisa menarik kembali janjiku: entah engkau jadi ratu, entah hanya kulit kayu poplar. Aku telah mengucapkan kata-kataku, dan kini aku harus menepatinya, meskipun hatiku hancur karenanya.

 

Siapa yang bisa menyangka bahwa seekor ogre yang akan memenangkan undian ini? Namun karena sehelai daun pun takkan jatuh bila bukan kehendak langit, maka kita harus percaya bahwa pernikahan ini mula-mula telah ditetapkan di atas sana, baru kemudian di bawah sini.

 

Maka bersabarlah, dan bila engkau anak yang berbakti, janganlah membantah ayahmu. Sebab hatiku berkata kepadaku, engkau akan berbahagia; karena seringkali tempayan batu polos menyimpan harta karun di dalamnya."

 

Ketika Porziella mendengar keputusan pahit itu, matanya meredup, wajahnya menguning, bibirnya layu, kakinya gemetar, dan ia hampir saja mengirimkan elang jiwanya untuk mengejar puyuh penderitaannya.

 

Akhirnya, dengan tangis yang pecah dan suara yang meninggi, ia berkata kepada ayahnya, "Kesalahan apakah yang telah kuperbuat di rumah ini sehingga pantas menerima hukuman semacam ini? Kekasaran macam apakah yang kulakukan padamu sehingga aku diserahkan ke tangan raksasa menakutkan ini?

 

Oh, Porziella yang malang! Inilah dirimu, yang hendak masuk ke tenggorokan kodok busuk ini dengan kemauanmu sendiri, seperti seekor musang; inilah dirimu, seekor domba malang yang hendak direnggut oleh manusia serigala!

 

Beginikah kasih sayangmu pada darah dagingmu sendiri? Beginikah cinta yang engkau tunjukkan kepada dia yang pernah engkau sebut sebagai murid jiwamu? Beginikah caramu mencabut dari hatimu ia yang berbagi darah denganmu sendiri? Beginikah caramu menyingkirkan dari pandanganmu ia yang menjadi biji mata matamu?

 

Oh, ayah, ayah yang kejam, pastilah engkau tak dilahirkan dari daging manusia! Orca telah memberimu darah, kucing hutan memberimu susu!

 

Namun mengapa aku berbicara tentang binatang laut dan darat? Setiap hewan mencintai anaknya sendiri; hanya engkau yang memperlakukan benihmu dengan hati yang berlawanan dan rasa muak; hanya engkau yang tak sudi menelan putrimu sendiri!

 

Oh, lebih baik andai ibuku mencekikku sejak lahir, lebih baik andai buaian menjadi ranjang kematianku, puting pengasuhku berisi racun, kain bedongku adalah jerat tali, dan peluit kecil yang digantung di leherku adalah batu giling---sebab inilah malapetaka yang menimpaku, dan inilah nasibku: duduk di samping makhluk terkutuk ini, merasakan belaian tangan harpi, dipeluk oleh tulang kering beruang, dan dicium oleh dua gading babi hutan!"

 

Ia masih berniat berkata lebih banyak, ketika sang raja, menghembuskan asap ke segala arah, menyergah putrinya, "Cukup sudah amarahmu; gula itu mahal harganya! Tenanglah; perisai-perisaimu hanyalah kulit poplar belaka! Tutuplah mulutmu; itu hanya memuntahkan kotoran! Diam! Jangan sepatah kata pun lagi! Kau ini hanya mulut tajam, lidah berbisa, pengumbar kata-kata keji!

 

Apa pun yang kulakukan selalu kulakukan dengan benar! Jangan coba-coba mengajari seorang ayah bagaimana harus memperlakukan putrinya! Hentikan omongan itu; masukkan kembali lidahmu, dan jangan biarkan amarahmu membuat mustar ini sampai ke hidungku, sebab bila tanganku sampai padamu, takkan kusisakan sehelai rambut pun di kepalamu, dan akan kusebar gigi-gigimu ke seluruh bumi ini!

 

Lihatlah bau busuk yang lahir dari pantatku ini, yang berani-beraninya hendak bertingkah seperti lelaki dan menetapkan hukum bagi ayahnya sendiri! Sejak kapan seorang gadis, yang mulutnya masih berbau susu, berhak mempertanyakan kehendak ayahnya?

 

Cepatlah, ulurkan tanganmu kepadanya, dan pergilah sekarang juga ke rumahnya! Tak sudi aku melihat wajahmu yang lancang dan congkak itu di depan mataku bahkan seperempat jam lagi!"

 

Mendapati dirinya dalam keadaan semacam ini, malanglah Porziella: wajahnya bagai seorang yang telah dijatuhi hukuman mati, matanya seperti orang yang dirasuki roh, mulutnya seperti seseorang yang telah meneguk obat pencahar Domini Agustini, dan hatinya seperti milik orang yang kepalanya terjepit di antara bilah dan batu.

 

Ia menggenggam tangan si ogre, dan olehnya ia diseret, tanpa seorang pun menemani, masuk ke dalam hutan --- tempat pepohonan membentuk istana bagi padang rumput agar tak ditemukan Matahari, sungai-sungai merintih karena harus mengalir dalam gelap hingga tersandung batu, dan binatang-binatang buas bergembira di Benevento mereka, bebas dari pajak bea, berkeliaran dengan aman di rimbunan belukar --- suatu tempat yang tak pernah dimasuki siapa pun kecuali mereka yang tersesat.

 

Di sanalah, di tempat yang kelam bagaikan cerobong asap tersumbat dan menakutkan laksana gerbang neraka, berdiri rumah sang ogre, dihiasi dan diplester dengan tulang-tulang manusia yang pernah ia lahap. Siapa pun yang beriman Kristiani dapat membayangkan getar tubuh, kengerian, sesak di dada, mencret, ngeri, cacingan, dan gemetar yang dialami si gadis malang: singkatnya, tak tersisa setetes pun darah di dalam nadinya.

                                        

Namun, itu semua bukan apa-apa, tidak lebih dari sebutir ara kering, dibandingkan perubahan yang menantinya, sebab ia mendapati kacang-kacangan sebagai hidangan pembuka, dan kacang fava sebagai penutup.

 

Sungguh, sang ogre yang kembali dari perburuannya, memanggul potongan-potongan tubuh manusia yang telah dicincangnya, lalu berkata kepadanya, "Sekarang kau tak bisa lagi mengeluh, istriku tercinta, bahwa aku tidak memperhatikanmu! Lihatlah persediaan makanan ini, cukup untuk menemaninya dengan roti; ambillah, nikmatilah, dan cintailah aku, sebab meskipun langit runtuh sekalipun, aku takkan membuatmu kekurangan lauk!"

 

Malanglah Porziella, yang mual seperti perempuan hamil, memalingkan wajahnya. Melihat itu, sang ogre berkata, "Begitulah jadinya bila kau berikan manisan kepada seekor babi! Tapi tak apa: tenanglah hingga esok pagi, sebab aku diundang berburu babi hutan. Akan kubawa pulang dua ekor untukmu, dan kita akan mengadakan pesta perkawinan yang agung bersama semua kerabat kita, agar kita dapat menggenapi pernikahan kita dengan sukacita yang lebih besar lagi."

 

Ucapnya sudah, ia pun berangkat masuk hutan.

 

Sementara Porziella meratap nasibnya di jendela, lewatlah seorang perempuan tua yang kebetulan bernasib malang, melintas di depan rumah itu. Karena lemah oleh lapar, ia meminta sedikit makanan.

 

Gadis malang itu menjawab, "Oh, perempuan yang baik, hanya Tuhanlah yang tahu isi hatiku. Aku berada dalam kuasa makhluk neraka, yang tak memberiku apa pun selain potongan tubuh manusia dan anggota badan yang telah disembelih; aku sendiri tak tahu bagaimana aku bisa bertahan menatap benda-benda menjijikkan itu. Sungguh, hidupku adalah hidup paling celaka yang pernah dijalani oleh jiwa yang telah dibaptis. Padahal aku seorang putri raja, padahal aku dibesarkan dengan pappardelle, padahal aku terbiasa hidup di tengah limpahan segalanya!"

 

Sambil mengucapkan keluh kesah itu, ia pun menangis seperti anak kecil yang jajanannya dirampas, hingga luluhlah hati perempuan tua itu. Maka katanya, "Tenanglah, gadis manisku; jangan habiskan kecantikanmu dengan air mata, sebab engkau telah menemukan keberuntunganmu, dan aku ada di sini untuk membantumu naik pelana apa pun yang bisa kupasang. Dengarkan aku sekarang. Aku punya tujuh orang putra, tujuh permata, tujuh pohon ek, tujuh raksasa---Mase, Nardo, Cola, Micco, Petrullo, Ascadeo, dan Ceccone---dan mereka memiliki lebih banyak keutamaan daripada daun rosemary.

 

Mase, setiap kali ia menempelkan telinganya ke tanah, ia dapat mendengar dan menguping segala sesuatu yang terjadi hingga sejauh tiga puluh mil. Nardo, setiap kali ia meludah, ia menciptakan lautan busa sabun. Cola, setiap kali ia menjatuhkan sepotong kecil besi, ia menumbuhkan sebidang ladang pisau cukur yang tajam. Micco, setiap kali ia melemparkan sebatang tongkat, ia menjadikan hutan rimba yang kusut. Petrullo, setiap kali ia mengguncangkan setetes air ke tanah, ia menjadikan sungai yang mengerikan. Ascadeo, setiap kali ia melemparkan sebuah batu, ia membuat menara perkasa menjulang. Dan Ceccone, ia menembak begitu tepat dengan busur silang, hingga mampu mengenai mata seekor ayam dari jarak satu mil.

 

Kini, dengan pertolongan ketujuh putraku ini, semuanya sopan, baik hati, dan pasti berbelas kasih pada keadaanmu, aku berniat menolongmu lepas dari cakar si ogre, sebab mangsa yang indah dan menggoda ini tidaklah pantas masuk ke kerongkongan makhluk menakutkan itu."

 

"Tak pernah ada saat yang lebih baik daripada sekarang," jawab Porziella. "Bayangan hitam suamiku itu telah pergi dan takkan kembali malam ini, maka kita punya cukup waktu untuk mengangkat tumit kita dan segera pergi dari sini."

 

"Bukan malam ini," sahut perempuan tua, "sebab aku tinggal agak jauh dari sini. Tapi baiklah: besok pagi aku akan datang bersama ketujuh putraku untuk mengakhiri penderitaanmu."

 

Usai berkata begitu, ia pun pergi. Dan Porziella, dengan hati yang kini sepenuhnya tenteram, tertidur pulas sepanjang malam.

 

Dan begitu burung-burung berseru, "Hidup Sang Surya!", tibalah perempuan tua itu bersama ketujuh putranya. Setelah Porziella bergabung dengan mereka, berangkatlah mereka menuju kota.

 

Namun mereka baru berjalan setengah mil ketika Mase, menempelkan telinganya ke tanah, tiba-tiba berseru, "Hati-hati! Hei! Si rubah sudah datang! Si raksasa telah pulang ke rumah lebih cepat, dan karena tak menemukan sang gadis, kini ia mengejar kita dengan topinya terselip di bawah ketiaknya."

 

Mendengar itu, Nardo pun meludah ke tanah dan seketika terciptalah lautan busa sabun. Ketika si ogre tiba di sana dan melihat busa menggunung, ia segera pulang kembali, mengambil sekarung dedak, lalu melumuri kakinya dengan tebal, hingga dengan susah payah ia pun berhasil melintasi rintangan itu.

 

Namun ketika Mase sekali lagi menempelkan telinganya ke bumi, ia berseru, "Giliranmu, saudara, ia datang lagi."

 

Maka Cola menjatuhkan sepotong besi kecil, dan seketika menjulanglah sebidang ladang pisau cukur yang tajam. Melihat jalannya terhalang, si ogre kembali lagi ke rumah, mengenakan pakaian besi dari kepala hingga kaki, lalu datang lagi dan melangkah melewati parit itu dengan selamat.

 

Tapi Mase, saat menempelkan telinganya sekali lagi ke tanah, berteriak, "Cepat, cepat! Angkat senjata kalian; si ogre akan terbang ke sini dengan kecepatan penuh sebentar lagi!"

 

Maka Micco pun segera melemparkan tongkatnya, dan seketika muncullah hutan rimba yang menakutkan, sukar ditembus.

 

Begitu tiba di hadapan rintangan itu, si ogre mencabut kapak besar yang selalu ia bawa di pinggang, lalu menebang pohon poplar di sini, pohon ek di sana; di satu sisi ia menumbangkan dogwood, di sisi lain pohon service, sehingga hanya dengan empat atau lima tebasan saja, ia merobohkan hutan itu ke tanah dan berhasil lolos tanpa luka sedikit pun.

 

Mase, yang memiliki telinga seperti kelinci, kembali meninggikan suaranya, "Janganlah kita berdiri di sini seakan hendak bercukur; si ogre telah menumbuhkan sayap, dan dalam sekejap ia akan berada di punggung kita."

 

Mendengar ini, Petrullo segera meneguk setetes air dari sebuah pancuran kecil yang menitik perlahan dari cangkang batu, lalu meludahkannya ke tanah, dan, lihatlah! muncullah sungai besar yang menggelegar.

 

Ketika si ogre melihat halangan baru ini dan menyadari bahwa untuk setiap lubang yang ia buat, yang lain segera menemukan penutupnya, ia pun menanggalkan seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat, lalu berenang ke seberang dengan pakaiannya diangkat di atas kepala.

 

Mase, yang menempelkan telinganya pada setiap celah, mendengar derap kaki ogre itu, dan berseru, "Perkara kita ini berjalan buruk, dan si ogre telah menghentakkan tumitnya begitu keras hingga langit pun dapat menceritakannya. Mari kita pertahankan akal kita dan berlindung dari badai ini; jika tidak, habislah kita."

 

"Jangan takut," kata Ascadeo, "sekarang akan kutunjukkan pada si pantat buruk rupa itu sedikit pelajaran."

 

Dan sambil berkata begitu, ia melemparkan sebuah batu ke tanah, dan seketika menjulanglah sebuah menara perkasa, tempat mereka semua segera berdesakan masuk, mengunci pintu rapat-rapat di belakang mereka.

 

Namun ketika si ogre tiba dan melihat bahwa mereka telah lolos ke tempat yang aman, ia berlari pulang, menemukan tangga pemetik anggur, lalu memanggulnya di atas punggung, dan berlari kembali ke menara.

 

Mase, yang telinganya selalu waspada, mendengar kedatangan si ogre dari kejauhan dan berkata, "Lilin harapan kita hampir padam, dan tempat perlindungan terakhir hidup kita kini bergantung pada Ceccone, sebab si ogre itu datang lagi. Dan kali ini ia benar-benar murka! Oh, aduh, jantungku berdegup kencang dan aku meramalkan hari ini akan berakhir buruk."

 

"Dasar penakut pengecut kau ini!" jawab Ceccone. "Serahkan saja pada Menechiello ini, dan kau akan lihat apakah anak panahku mengenai sasaran atau tidak."

 

Saat ia berkata begitu, si ogre sudah menegakkan tangga pada dinding menara dan mulai memanjatnya; namun Ceccone segera mengangkat busurnya, membidik, dan dengan satu tembakan ia menghantam mata si ogre hingga meletus keluar, membuat makhluk itu terjerembab ke tanah seperti buah pir yang jatuh dari pohonnya.

 

Kemudian ia keluar dari menara, dan dengan pisau yang tadinya tergantung di sisi ogre itu, ia menyayat lehernya seakan sedang memotong keju ricotta.

 

Mereka mengangkut si ogre dengan penuh keriangan ke hadapan sang raja, yang diliputi sukacita karena mendapatkan kembali putrinya, sebab ia telah menyesali seratus kali lipat keputusannya menyerahkan gadis itu kepada seorang ogre.

 

Dan setelah beberapa hari, ia menemukan seorang suami yang tampan bagi putrinya, lalu menganugerahkan harta melimpah kepada ketujuh bersaudara beserta ibu mereka, yang telah membebaskan sang putri dari kehidupan yang begitu sengsara.

 

Sejak saat itu, sang raja tak henti-hentinya menyatakan dirinya seribu kali bersalah kepada Porziella, karena telah menjerumuskannya ke dalam bahaya besar hanya demi suatu keisengan belaka, tanpa mempertimbangkan betapa besarnya kesalahan yang dibuat oleh mereka yang mencari telur serigala dan sisir bergigi lima belas.

Kucing Abu (Cinderella)

Hiburan Keenam pada Hari Pertama

Para pendengar terdiam laksana patung ketika menyimak kisah si kutu, dan mereka memberikan piagam kebodohan kepada raja yang dungu, yang telah mempertaruhkan darah dagingnya sendiri dan pewaris kerajaannya demi perkara sepele. Setelah semua mulut terkunci rapat, Antonella membuka miliknya, dan begini kisahnya:

 

"Dalam lautan kejahatan, iri hati selalu mendapati dirinya dengan hernia, bukan dengan kandung kemih, dan di tempat ia berharap melihat orang lain tenggelam, justru dialah yang karam atau terhempas ke karang. Begitulah nasib beberapa gadis pendengki yang kini akan kuceritakan kepada kalian.

 

Ketahuilah, dahulu kala ada seorang pangeran duda yang memiliki seorang putri yang sangat ia kasihi, hingga ia tak lagi memandang siapa pun selain dirinya. Ia telah menghadirkan seorang guru menjahit yang sangat mahir, yang mengajarinya tusuk rantai, renda terbuka, pinggiran, dan tusuk tepi, serta memberinya kasih sayang yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

 

Namun sang ayah baru saja menikah lagi; ia mengambil seorang perempuan berwatak ganas, jahat, dan iblis adanya. Tak lama kemudian, sang putri tiri menjadi sumber kebencian perempuan terkutuk ini. Ia melemparkan tatapan masam, mengerlingkan wajah mengerikan, dan merajut alisnya dengan cara begitu menakutkan, sehingga si gadis malang itu senantiasa mengadu kepada gurunya tentang perlakuan buruk ibu tirinya, sambil berkata, "Oh, Tuhan, tidakkah engkau bisa menjadi ibuku, engkau yang selalu mencium dan memelukku dengan penuh kasih?"

 

Keluhan itu ia ulang-ulang tanpa henti, sampai-sampai tertanam seperti lebah di telinga sang guru. Hingga pada suatu hari, dibutakan oleh bisikan roh jahat, sang guru berkata kepadanya, "Jika engkau mengikuti nasihatku yang sedikit gila ini, aku akan menjadi ibumu, dan engkau akan semanis biji mata di mataku sendiri."

 

Ia hendak melanjutkan perkataannya, namun Zezolla---sebab begitulah nama gadis itu---bergegas menyahut, "Ampuni aku bila kuambil kata-kata dari bibirmu. Aku tahu engkau mencintaiku setulus hati, jadi biarlah cukup di sini, dan sufficit; ajarkanlah aku caranya, sebab aku masih baru di dunia ini; engkau menulis, aku akan menandatangani."

 

"Baiklah," jawab sang guru, "maka dengarkan dengan saksama; buka telingamu lebar-lebar, dan keberuntunganmu akan seputih bunga. Begitu ayahmu pergi, katakanlah pada ibumu tiri bahwa engkau ingin salah satu gaun tua dari peti besar di gudang, agar gaun yang kini kau kenakan bisa engkau simpan. Karena ia senang melihatmu compang-camping, ia pasti akan membuka peti itu dan berkata, "Peganglah tutupnya." Dan ketika engkau menahannya sementara ia mengais-ngais isi peti, biarkanlah tutup itu jatuh menimpa dirinya, dan ia akan patah lehernya. Setelah itu terjadi, engkau tahu ayahmu rela mencetak uang palsu demi membahagiakanmu. Maka, saat ia membelai dirimu, mohonlah ia menikah denganku, dan beruntunglah engkau, sebab engkau akan menjadi nyonya dalam hidupku."

 

Setelah Zezolla mendengar hal itu, setiap jam baginya terasa bagaikan seribu tahun. Ia mengikuti petunjuk gurunya dengan tepat, dan setelah masa berkabung atas kemalangan ibu tirinya usai, ia mulai memainkan nada pada hati ayahnya agar menikahi sang guru.

 

Pada awalnya pangeran mengira itu hanya gurauan, tetapi sang putri mengetuk begitu keras hingga akhirnya pintu pun jebol. Pada akhirnya ia menyerah pada kata-kata Zezolla. Ia mengambil Carmosina, sang guru, sebagai istrinya, dan pesta besar pun digelar.

 

Kini, sementara kedua mempelai asyik berpesta ria dan Zezolla berdiri di salah satu balkon istana, seekor merpati kecil hinggap di dinding dan berkata kepadanya, "Jika suatu saat engkau menginginkan sesuatu, sampaikanlah permintaanmu kepada merpati para peri di pulau Sardinia, dan permintaanmu akan segera terkabul."

 

Ibu tiri yang baru itu menyelimuti Zezolla dengan kasih sayang selama lima atau enam hari lamanya, mendudukkannya di tempat terbaik di meja makan, memberinya potongan makanan paling lezat, dan memakaikannya pakaian terbaik.

 

Namun tak lama berselang ia membatalkan dan melupakan sepenuhnya jasa yang telah diberikan kepadanya (ah, betapa sengsaranya jiwa yang bersemayam pada seorang perempuan jahat!). Ia lalu mengangkat enam putrinya sendiri, yang hingga saat itu disembunyikan, ke segala kemuliaan.

 

Dan ia membujuk suaminya dengan begitu lihai, sehingga ketika anak-anak tirinya berhasil merebut hati sang pangeran, putri kandungnya sendiri justru tersingkir darinya. Dari hari ke hari, Zezolla pun jatuh dari kamar kerajaan ke dapur, dari ranjang berkanopi ke tungku perapian, dari balutan sutra mewah dan emas menjadi kain perca, dari tongkat kerajaan ke tusukan daging.

 

Dan bukan hanya kedudukannya yang berubah, tetapi juga namanya, sebab ia tak lagi dipanggil Zezolla, melainkan Kucing Cinderella.

 

Terjadilah bahwa sang pangeran harus pergi ke Sardinia untuk urusan kenegaraan, dan, satu per satu, ia bertanya kepada Imperia, Calamita, Shiorella, Diamante, Colombina, dan Pascarella --- keenam anak tirinya  apa yang mereka ingin ia bawakan sekembalinya.

 

Seorang meminta pakaian mewah, seorang meminta perhiasan rambut, seorang meminta pemerah wajah, seorang meminta mainan untuk mengisi waktu, seorang meminta satu hal, dan seorang lagi meminta hal yang lain.

 

Akhirnya ia bertanya kepada putrinya sendiri, hampir dengan nada mengejek, "Dan engkau, apa yang kauinginkan?"

 

Dan ia menjawab, "Tidak ada apa-apa, kecuali engkau menyampaikan salamku kepada merpati para peri dan memintanya mengirimkan sesuatu untukku; dan bila engkau lupa, semoga engkau tak dapat maju ataupun mundur. Ingat baik-baik ucapanku: lenganmu, lengan bajumu."

 

Sang pangeran pun berangkat, menunaikan urusannya di Sardinia, dan membeli apa yang telah diminta oleh anak-anak tirinya. Namun Zezolla sama sekali terlupakan darinya.

 

Tetapi setelah ia naik ke kapalnya dan hendak berlayar, kapal itu tidak mampu meninggalkan pelabuhan, seakan-akan terhalang oleh seekor lamprey laut. Sang kapten kapal, hampir putus asa, tertidur karena kelelahan, dan dalam mimpinya ia melihat seorang peri, yang berkata kepadanya, "Tahukah engkau mengapa kapal ini tak dapat meninggalkan pelabuhan? Karena pangeran yang bersamamu melanggar janji yang ia buat pada putrinya, mengingat semua orang kecuali darah dagingnya sendiri."

 

Kapten itu terbangun dan menceritakan mimpinya kepada sang pangeran, yang, sadar akan kelalaiannya, segera pergi ke gua para peri. Setelah menyampaikan salam dari putrinya, ia memohon agar mereka mengirimkan sesuatu untuknya.

 

Dan lihatlah, keluarlah seorang wanita muda jelita bagaikan panji-panji keindahan dari dalam gua itu. Ia berkata kepadanya bahwa ia berterima kasih kepada putrinya karena telah mengingatnya dengan begitu baik, dan bahwa Zezolla hendaknya berbahagia, sebab ini adalah tanda kasih dari sang peri.

 

Dengan kata-kata itu, ia memberinya sebatang pohon kurma, sebuah cangkul emas, sebuah ember emas, dan sehelai kain sutra, serta berkata bahwa pohon kurma itu harus ditanam, dan benda-benda lainnya untuk merawatnya.

 

Sang pangeran, terheran-heran akan hadiah itu, berpamitan pada sang peri dan kembali ke negerinya, di mana, setelah ia memberikan kepada anak-anak tirinya semua yang telah mereka minta, barulah ia menyerahkan kepada putrinya hadiah dari peri.

 

Hampir meledak karena girang, Zezolla menanam pohon kurma itu di sebuah pot yang indah, mencangkulnya, menyiraminya, dan mengeringkannya dengan kain sutra setiap pagi dan sore, sehingga setelah empat hari, ketika tanaman itu telah tumbuh setinggi seorang wanita, muncullah seorang peri darinya dan berkata kepadanya, "Apa yang kauinginkan?"

 

Zezolla menjawab bahwa ia ingin sesekali keluar rumah, tetapi tanpa diketahui oleh saudara-saudaranya.

 

Sang peri menjawab, "Setiap kali kau mau, pergilah ke pot itu dan ucapkan:

Kurma emas milikku,
Telah kucabut rumputmu dengan cangkul kecil dari emas,
Telah kusiram engkau dengan ember kecil dari emas,
Telah kukeringkan engkau dengan kain sutra,
Sekarang telanjangilah dirimu dan pakaikanlah aku!

Dan ketika kau ingin menanggalkan pakaian, ubahlah baris terakhir menjadi:
"Telanjangilah aku dan kenakanlah dirimu kembali!'"

 

Maka tibalah suatu hari pesta, dan putri-putri sang guru pergi keluar, semua penuh bunga, berhias dan tercat; semua pita, lonceng kecil, dan perhiasan; semua harum, bunga mawar, dan karangan bunga.

 

Zezolla segera berlari menuju pot, mengucapkan kata-kata yang diajarkan sang peri, dan mendapati dirinya tampil seanggun seorang ratu. Setelah itu ia ditempatkan di atas seekor kuda putih murni, dengan dua belas pengiring muda yang ramping dan anggun.

 

Lalu pergilah ia ke tempat yang sama dengan tujuan saudara-saudaranya, dan mereka meneteskan air liur melihat keelokan merpati yang gemilang itu.

 

Sebagaimana takdir menghendaki, raja pun hadir di sana, dan ketika ia melihat kecantikan luar biasa Zezolla, ia segera jatuh ke dalam pesonanya. Ia lalu meminta pelayan yang paling ia percayai untuk mencari tahu bagaimana ia bisa memperoleh lebih banyak kabar tentang keajaiban kecantikan itu---siapakah dia dan di mana ia tinggal.

 

Tanpa membuang waktu, sang pelayan segera mengikuti jejaknya; tetapi, menyadari ada penyergapan, Zezolla menebarkan segenggam koin emas yang diperolehnya dari pohon kurma untuk tujuan itu.

 

Ketika mata pelayan itu menangkap kilauan koin tersebut, ia melupakan niatnya mengejar kuda, lebih memilih memenuhi cakar tangannya dengan uang receh, sementara Zezolla bergegas kembali dan menyelinap masuk ke dalam rumah.

 

Begitu ia menanggalkan pakaiannya sesuai petunjuk sang peri, harpi-harpi saudara tirinya pun datang dan hanya untuk membuat darahnya mendidih, menceritakan segala keindahan yang telah mereka saksikan.

 

Sementara itu, sang pelayan kembali menghadap raja dan memberitahukan kepadanya tentang koin emas itu. Mendengar hal itu, raja meledak dalam kemarahan besar dan berkata bahwa demi beberapa butir kacang busuk pelayan itu telah menjual kesenangannya, dan bahwa pada hari pesta berikutnya ia harus, dengan cara apa pun, memastikan dirinya mengetahui siapa gadis jelita itu dan di mana burung elok itu bersarang.

 

Hari pesta berikutnya pun tiba, dan setelah saudara-saudara tirinya keluar dengan segala hiasan dan keanggunan, meninggalkan Zezolla yang terhina di tepi perapian, ia segera berlari menuju pohon kurma.

 

Setelah mengucapkan kata-kata yang biasa, keluarlah serombongan dayang: yang satu membawa cermin, yang lain sebotol kecil air labu, yang lain lagi besi pengeriting, yang lain kain pemerah pipi, yang lain sisir, yang lain bros, yang lain pakaian, dan yang lain kalung serta liontin. Mereka mendandani Zezolla seindah mentari, lalu menempatkannya dalam sebuah kereta yang ditarik enam ekor kuda dan diiringi para pelayan serta pengiring berseragam, sehingga ketika ia tiba di tempat yang sama dengan pesta sebelumnya, ia hanya menambah rasa heran di hati saudara-saudaranya dan menyalakan api di dada sang raja.

 

Namun, ketika ia kembali pulang dan sang pelayan mengejarnya, Zezolla menebarkan segenggam mutiara dan permata agar ia tidak berhasil menyusulnya. Dan sementara lelaki malang itu berhenti memunguti benda-benda itu, sebab sayang bila terbuang, Zezolla sempat menyeret dirinya kembali ke rumah dan menanggalkan pakaian dengan cara yang sama seperti biasa.

 

Dengan wajah sepanjang tiang, sang pelayan kembali kepada raja, yang berkata, "Aku bersumpah demi arwah para leluhurku, bila kau tidak menemukannya, engkau akan mendapat pukulan yang lezat dan tendangan di pantat untuk setiap helai janggutmu!"

 

Hari pesta berikutnya pun tiba, dan setelah saudara-saudara tirinya pergi, Zezolla kembali menuju pohon kurma dan mengucapkan nyanyian ajaib. Maka ia didandani dengan megah dan ditempatkan dalam sebuah kereta emas, diiringi begitu banyak pelayan hingga ia tampak seperti seorang pelacur yang ditangkap di jalanan umum dan dikepung para penjaga kota.

 

Ia pun berangkat, membuat mulut saudara-saudaranya berair iri, lalu beranjak pulang dengan pelayan raja terus menempel pada keretanya, seakan dijahit dengan benang ganda. Ketika melihat ia masih menempel di sisinya, Zezolla berseru, "Cambuklah kudanya, kusir!" Maka kereta pun melaju secepat kilat.

 

Benar saja, lajunya begitu deras hingga ia kehilangan sebuah patten---sandal mungil nan elok, yang tak ada bandingannya. Pelayan itu, yang tak mampu menyusul kereta yang terbang bak angin, mengambil patten itu dari tanah dan membawanya kepada raja, sambil menceritakan apa yang telah terjadi

 

Raja mengambil patten itu di tangannya dan berkata:
 "Jika fondasinya saja seindah ini, bagaimanakah rupa rumahnya?
 Wahai kaki pelita yang pernah menyangga lilin yang kini membakarku!
 Wahai kaki tungku tempat hidupku mendidih!
 Wahai sumbat indah, terikat pada kail Cinta, yang dipakai untuk memancing jiwaku!
 Mari sini: akan kupeluk dan kucium engkau; bila aku tak dapat meraih pohonnya, biarlah akarnya kupuja; bila tak kuperoleh tiangnya, biarlah alasnya kucium!
 Engkau pernah menjadi batu peringatan bagi kaki putih nan jelita, dan kini engkau menjadi jerat bagi hati hitam ini.
 Engkau membuat sang wanita yang merajai hidupku bertambah sejengkal lebih tinggi, dan engkau membuat hidupku pun bertambah manis, saat kupandang dan kumiliki dirimu."

 

Sambil berkata demikian, raja memanggil juru tulis, memanggil sang peniup trompet, dan---tut! tut! tut!---diumumkannya sebuah maklumat: semua perempuan di negeri itu diundang menghadiri pesta dan jamuan yang baru saja terlintas di benaknya.

 

Dan ketika hari yang ditentukan tiba---oh, Tuhan! Betapa meriahnya! Dari mana datangnya begitu banyak kue dan pai? Dari mana datangnya sup, bakso, makaroni, dan ravioli? Ada cukup santapan untuk memberi makan seluruh bala tentara!

 

Setelah semua perempuan tiba---mulia dan biasa, kaya dan miskin, tua dan muda, cantik dan buruk rupa---dan mereka semua usai menjamu selera, raja pun mengangkat cawan dan lalu mencoba patten itu satu per satu pada setiap tamu, berharap menemukan kaki yang pas, yang akan mengungkap siapa wanita yang ia cari. Namun ketika tak satu pun yang cocok, ia mulai putus asa.

 

Akhirnya, setelah meminta hening, ia berkata, 'Datanglah kembali besok untuk menebus penantian bersamaku; tapi, bila kalian sayang padaku, jangan ada seorang perempuan pun yang tertinggal di rumah, siapa pun dia.'

Sang pangeran berkata, :Aku punya seorang putri, tapi ia hanya menjaga tungku, seorang hina dina, tak pantas duduk di meja yang sama dengan Tuan."


 Namun sang raja berkata, "Biarlah ia yang pertama dalam daftar, sebab demikianlah keinginanku."

 

Maka keesokan harinya mereka semua datang kembali, dan bersama anak-anak Carmosina, datang pula Zezolla. Begitu raja melihatnya, ia merasa inilah perempuan yang ia cari, meski pura-pura tak memperhatikan.

 

Setelah semua usai makan, tibalah saat untuk mencoba patten. Dan begitu patten itu didekatkan ke kaki Zezolla, ia pun meluncur sendiri, tanpa pertolongan sedikit pun, menempel pada kaki indah sang "telur berlukis Cinta", bagaikan besi yang tertarik ke magnet.

 

Melihat itu, raja bergegas merengkuhnya dalam pelukan, dan setelah mendudukkannya di bawah kanopi kerajaan, ia menaruh mahkota di kepalanya dan memerintahkan semua perempuan yang hadir untuk membungkuk hormat, sebab Zezolla kini menjadi ratu mereka.

 

Menyaksikan hal itu, saudara-saudara tirinya nyaris mati karena iri, dan tak kuasa menahan pilu, mereka menyelinap pulang ke rumah ibu mereka, mengakui dengan terpaksa bahwa siapa pun yang melawan takdir bintang-bintang adalah orang gila.

Pedagang

Hiburan Ketujuh dari Hari Pertama

 

Sulit dibayangkan betapa dalamnya keberuntungan Zezolla menyentuh hati mereka, hingga ke sumsum tulang, dan sebagaimana mereka memuji kemurahan yang langit anugerahkan kepada gadis itu, demikian pula mereka menilai hukuman bagi anak-anak tiri sang ibu terlalu ringan, sebab tidak ada hukuman yang terlalu berat bagi kesombongan, dan tidak ada kehancuran yang tidak pantas bagi iri hati.

 

Namun sementara gumam yang mengikuti kisah itu masih terdengar, Pangeran Tadeo mengangkat jari telunjuk tangan kanannya ke bibir, memberi isyarat untuk diam. Seketika itu juga kata-kata mereka membeku di mulut, seolah-olah mereka melihat seekor serigala, atau seperti anak-anak sekolah yang sedang asyik berbisik lalu tiba-tiba mendapati gurunya masuk.

 

Dan setelah ia memberi tanda kepada Ciulla untuk melonggarkan lengannya, ia pun mulai berkata dengan cara demikian:

"Sering kali malapetaka justru menjadi cangkul dan sekop yang membukakan jalan bagi keberuntungan yang tak terbayangkan. Namun masih saja ada orang yang mengutuk hujan yang membasahi kepala mereka, tak tahu bahwa hujan itu membawa kelimpahan yang sanggup mengusir lapar, sebagaimana dapat dilihat dalam kisah seorang pemuda yang akan kuceritakan.

 

Konon hiduplah seorang pedagang yang amat kaya bernama Antoniello, yang memiliki dua anak lelaki, Cienzo dan Meo, begitu mirip rupa sehingga orang tak dapat membedakan satu dari yang lain. Maka terjadilah, ketika Cienzo, si sulung, sedang melempar batu di Arenaccia bersama putra raja Napoli, tanpa sengaja ia memecahkan kepala sang pangeran.

 

Karena perbuatan itu, Antoniello, marah besar, berkata kepadanya, "Bagus sekali, anak manis, kau benar-benar sudah membuat masalah besar! Tulis saja ke rumah tentang itu! Pamerkan saja, dasar karung, atau akan kuremas isi perutmu! Angkat tinggi-tinggi di tiang, ayo! Kau hancurkan sesuatu yang berharga enam koin! Kau retakkan kepala anak raja? Apa kau tak punya penggaris, hah, anak kambing jantan? Bagaimana nasibmu sekarang? Aku takkan menaruh harga tiga sen pun atas kepalamu; kau sudah membuat kekacauan, dan sekalipun kau masuk kembali ke perut ibumu, aku takkan bisa menyelamatkanmu dari cengkeraman raja, sebab, sebagaimana kau tahu, tulang kering mereka panjang, mampu meraih ke mana saja mereka suka, dan ia akan melakukan hal-hal yang busuk."

 

Cienzo, setelah ayahnya berbicara panjang lebar, menjawab, "Ayahanda, aku selalu mendengar orang berkata bahwa lebih baik memiliki polisi di rumah daripada seorang tabib. Bukankah akan lebih buruk bila dialah yang menghantam kepalaku? Aku dipancing, kami hanya anak-anak, akhirnya kami berkelahi, ini adalah kesalahanku yang pertama; sang raja adalah orang bijaksana. Pada akhirnya, apa yang dapat ia lakukan terhadapku seratus tahun dari sekarang? Jika mereka enggan memberiku seorang ibu, mereka bisa memberiku seorang putri; jika mereka tidak mau memberikannya matang, biarlah diberi mentah. Sama saja di seluruh dunia: bila kau takut, lebih baik kau menjadi polisi."

 

"Apa yang bisa ia lakukan terhadapmu?" balas Antoniello. "Ia bisa mengusirmu dari dunia ini, menyuruhmu pergi untuk berganti udara; ia bisa memperlakukanmu seperti seorang guru sekolah, dengan tongkat sepanjang dua puluh empat hasta yang akan membuatmu menggaruk-garuk ikan sampai mereka bisa bicara; ia bisa mengirimmu pergi, dengan kerah setinggi tiga hasta yang dilapisi sabun dan kanji, untuk mencari kesenangan bersama sang Janda, di mana alih-alih menyentuh tangan pengantinmu, kau akan menyentuh kaki algojo.

 

Maka jangan berdiri di situ, membiarkan kulitmu membayar sewa pada kain dan tukang cukur sekaligus. Mulailah berjalan saat ini juga, dan semoga tak ada satu pun dari urusanmu, baik yang lama maupun yang baru, yang diketahui orang kecuali jika kau ingin tertangkap kaki. Lebih baik menjadi burung di hutan daripada yang terkurung di sangkar. Ini uang; pergilah ambil salah satu dari dua kuda ajaib yang kusimpan di kandangku, dan seekor anjing betina, yang juga bertuah. Dan jangan menunggu lebih lama lagi: lebih baik menghentakkan kakimu daripada ada orang yang mengikuti setiap langkahmu; lebih baik menaruh kakimu di atas tengkukmu sendiri daripada membuat tengkukmu tergantung di antara kakimu; lebih baik, akhirnya, berjalan seribu langkah daripada berakhir dengan tiga hasta tali melilit lehermu. Jika kau tidak berkemas, bahkan Baldus maupun Bartolus pun takkan mampu menolongmu."

 

Setelah meminta restu ayahnya, Cienzo menaiki kuda, membawa anjing kecil itu di bawah lengannya, lalu mulai berderap keluar kota. Tetapi begitu ia melewati Porta Capuana, ia menoleh ke belakang dan mulai berkata, "Inilah aku pergi, Napoli indahku, kutinggalkan dirimu! Siapa tahu apakah aku akan bisa melihatmu lagi, bata-bata gula dan tembok-tembok kue manis, tempat batu-batumu adalah manna bagi perut, balok-balok kayumu adalah tebu, pintu dan jendelamu kue lapis?

 

Aduh! Berpisah darimu, Pennino nan jelita, bagaikan berjalan di belakang panji kematian! Berpisah darimu, Piazza Larga, jiwaku terjepit sempit! Meninggalkanmu, Piazza dell'Olmo, seakan hatiku terbelah dua! Terpisah darimu, Lancieri, bagaikan tertusuk tombak Katalan! Di manakah akan kutemukan Porto lain, pelabuhan manis dari segala kekayaan dunia?

 

Meninggalkanmu, Forcella, jiwaku tercabik dari tulang rawan hatiku! Di mana ada Gelsi lain, tempat ulat-ulat sutra cinta menenun kepompong kesenangan tanpa henti? Di mana ada Pertuso lain, persinggahan segala orang budiman? Di mana ada Loggia lain, tempat kelimpahan bersemayam dan kenikmatan dimurnikan?

 

Aduh! Lavinaro-ku, tak sanggup aku meninggalkanmu tanpa aliran air mata jatuh dari mataku! Tak sanggup aku meninggalkanmu, O Mercato, tanpa seonggok duka sebagai barang dagangan! Indahnya Chiaia, aku tak dapat berpisah darimu tanpa seribu luka menyiksa hatiku!

 

Selamat tinggal, wortel dan sawi; selamat tinggal, gorengan dan kue-kue; selamat tinggal, brokoli dan ikan tuna asin; selamat tinggal, babat dan jeroan; selamat tinggal, sup dan rebusan! Selamat tinggal, bunga kota, kemegahan Italia, telur lukis Eropa, cermin dunia! Selamat tinggal, Napoli, tiada taranya, tempat kebajikan menetapkan batasnya dan anugerah membatasi garisnya! Aku tinggalkan engkau, menjadi duda dari sup-sup sayuranmu; diusir dari desa tercinta ini, wahai batang-batang kolku, aku harus meninggalkanmu!"

 

Dan sementara ia berkata demikian, ia menumpahkan musim dingin air mata dalam sekejap hari penuh desah, lalu berjalan begitu jauh hingga pada malam pertama ia tiba di sebuah hutan dekat Cascano---hutan yang, dijaga kuda beban di luarnya oleh Sang Surya, menikmati kesenangan dalam kesenyapan dan bayangan---dan di kaki sebuah menara berdiri sebuah rumah tua.

 

Ia mengetuk pintu menara itu, tetapi karena malam telah larut, sang pemilik curiga pada perampok dan enggan membukanya, sehingga malanglah Cienzo, yang terpaksa bermalam di rumah reyot itu. Setelah menambatkan kudanya di padang rumput, ia merebahkan diri di atas jerami yang ditemuinya, dengan si anjing kecil di sisinya.

 

Namun baru saja ia memejamkan mata, ia terbangun oleh gonggongan si anjing, lalu terdengar olehnya suara gesekan seseorang yang sedang bergerak di dalam ruangan.

 

Cienzo, yang berhati gagah dan tak gentar, segera meraih polong carob-nya dan mulai menebas ke kanan dan ke kiri dalam gelap. Tetapi ketika ia sadar bahwa ia tidak mengenai siapa pun, hanya mengiris angin kosong, ia kembali berbaring.

 

Namun tak lama berselang, ia merasa kakinya ditarik perlahan-lahan. Maka ia pun meraih gergaji tuanya dan bangkit kembali, seraya berkata, "Hai, kini kau sungguh menggangguku! Apa gunanya permainan mengintai ini? Tunjukkan dirimu, bila kau punya nyali, dan mari kita salurkan kehendak kita, sebab kau telah menemukan kaki yang tepat untuk sepatumu!"

 

Selesai ia berkata demikian, terdengar tawa terbahak-bahak, lalu suara dalam bergema, "Turunlah ke sini, dan akan kukatakan siapa aku."

 

Tanpa kehilangan keberanian, Cienzo menjawab, "Tunggu, aku akan datang sebentar lagi,"

 

dan ia meraba-raba hingga menemukan tangga yang menuju ke ruang bawah tanah. Saat ia menuruni tangga itu, tampak olehnya sebuah lentera kecil menyala, dan di sekelilingnya ada tiga makhluk yang menyerupai hantu menakutkan.

 

Mereka sedang meratap pilu, seraya menangis, "Harta indahku, kini aku akan kehilangannya!"

 

Melihat hal itu, Cienzo pun ikut meratap, hanya untuk membuka percakapan. Dan setelah mereka menangis cukup lama---hingga sang Bulan membelah adonan gorengan langit dengan kapak kecil sinarnya---ketiga peratap itu berkata kepadanya, "Sekarang pergilah ambil harta itu; ia ditakdirkan hanya untukmu, dan semoga kau tahu cara menjaganya."

 

Selesai berkata demikian, mereka lenyap bagai asap, sebagaimana Sang Tak Pernah Tampak.

 

Cienzo melihat matahari melalui sebuah lubang dan ingin kembali naik ke atas, tetapi ia tak dapat menemukan tangga. Maka mulailah ia berteriak begitu keras, hingga terdengar oleh pemilik menara, yang kebetulan sedang keluar untuk membuang hajat di rumah reyot itu.

 

Orang itu bertanya apa yang sedang ia lakukan, dan setelah mendengar apa yang telah terjadi, ia segera mengambil sebuah tangga. Ketika ia sampai di dasar menara, ia menemukan sebuah harta karun yang amat besar. Ia ingin memberikan sebagian kepada Cienzo, namun anak itu tak menginginkan apa pun, dan hanya dengan membawa anjing betinanya, ia naik ke kudanya dan berangkat.

 

Kemudian ia tiba di sebuah hutan sunyi dan sepi, yang begitu gelap hingga wajahmu akan berkerut melihatnya. Di tepi sebuah sungai---yang, demi menyenangkan bayangan kekasihnya, berputar-putar di padang rumput dan meloncat-loncat di atas batu karang---ia menjumpai seorang peri, dikepung oleh segerombolan penjahat yang hendak merenggut kehormatannya.

 

Cienzo, yang melihat niat busuk para bajingan itu, segera mencabut pedangnya dan menebas mereka habis-habisan. Ketika sang peri melihat apa yang telah dilakukan demi dirinya, ia melimpahinya dengan pujian dan mengundangnya ke sebuah istana tak jauh dari sana, di mana ia bermaksud membalas jasa atas pertolongan itu.

 

Namun Cienzo berkata kepadanya, "Jangan disebut-sebut; seribu terima kasih! Engkau dapat membalas budi lain kali, sebab sekarang aku sedang terburu-buru mengurus urusan penting." Maka ia pun berpamitan, dan setelah berjalan cukup jauh, ia sampai di istana seorang raja yang diselubungi duka cita, sehingga hati siapa pun yang memandangnya akan ikut kelam.

 

Ketika Cienzo bertanya apa sebab dukacita itu, ia diberitahu bahwa seekor naga berkepala tujuh telah muncul di negeri itu---naga paling mengerikan yang pernah terlihat di dunia. Ia memiliki jengger seekor ayam jantan, kepala seekor kucing, mata berapi, mulut anjing Korsika, sayap kelelawar, cakar beruang, dan ekor ular.

 

"Sekarang naga itu melahap satu jiwa setiap hari, dan karena bencana ini masih berlangsung, hari ini Menechella, putri sang raja, kebetulan mendapatkan undian maut. Dan itulah sebabnya istana kerajaan dipenuhi jerit tangis, sebab makhluk tercantik di negeri ini akan segera dilahap bulat-bulat oleh binatang yang mengerikan itu."

 

Mendengar ini, Cienzo menepi, dan tak lama kemudian ia melihat Menechella datang dengan iring-iringan duka, ditemani para dayang dan seluruh perempuan negeri itu, yang menepuk-nepuk tangan, merobek-robek rambut, dan meratapi nasib buruk sang gadis malang dengan kata-kata ini,  "Siapa yang bisa mengira gadis malang ini harus menyerahkan harta hidupnya kepada tubuh binatang jahat itu?
 Siapa yang bisa mengira burung kenari yang jelita ini harus terkurung dalam perut seekor naga?
 Siapa yang bisa mengira ulat sutra nan indah ini harus meninggalkan benih kehidupannya dalam kepompong hitam?"

 

Ketika mereka tengah berkata demikian, naga itu keluar dari sebuah gua kecil. Oh, ibu bunda, alangkah mengerikannya wajah itu! Katakan saja, matahari pun bersembunyi di balik awan karena ketakutan, dan langit menjadi gelap; hati semua orang kaku bagai mumi, dan tubuh mereka gemetar begitu hebat hingga tak sanggup menerima enema dari sehelai bulu babi sekalipun.

 

Melihat hal itu, Cienzo meraih pedangnya dan---hap!---memenggal salah satu kepala naga hingga jatuh ke tanah. Namun sang naga menggosok lehernya dengan sejenis ramuan yang tumbuh tak jauh dari sana, dan kepalanya pun kembali melekat, laksana ekor cicak yang tumbuh kembali.

 

Menyaksikan kejadian itu, Cienzo berkata, "Bila tak tekun, tiada kemenangan," lalu ia menggertakkan gigi dan menghantamkan sebilah tebasan yang begitu dahsyat hingga ketujuh kepala naga itu terpisah sekaligus, bergulir dari lehernya seperti kacang polong jatuh dari sendok. Setelah merobek lidah-lidang naga itu dan menyimpannya, ia melemparkan kepala-kepala tersebut sejauh satu kilometer dari tubuhnya, agar tak mungkin disatukan lagi.

 

Kemudian ia memetik segenggam ramuan yang telah menyatukan leher dengan kepala naga itu, lalu menyuruh Menechella pulang ke rumah ayahandanya, sementara ia sendiri pergi beristirahat di sebuah penginapan.

 

Sukar dibayangkan betapa besar sukacita sang raja ketika melihat putrinya kembali. Dan setelah mendengar bagaimana ia dibebaskan, segera ia mengeluarkan sebuah maklumat, bahwa siapa pun yang telah membunuh sang naga hendaknya datang untuk mengambil putrinya sebagai istri.

 

Mendengar hal itu, seorang petani licik mengumpulkan kepala-kepala naga, lalu pergi menghadap raja dan berkata, "Berkat diriku inilah Menechella selamat! Tangan kecil inilah yang membebaskan negeri dari kehancuran! Inilah kepala-kepalanya, saksi atas keberanianku! Dan setiap janji adalah sebuah hutang!"

 

Mendengar hal itu, sang raja menanggalkan mahkotanya dan meletakkannya di atas kepala si petani, yang kini tampak bagai kepala perampok di atas sebatang tiang.

 

Kabar peristiwa ini segera tersebar ke seluruh negeri hingga sampai ke telinga Cienzo. Maka ia berkata dalam hati, "Sungguh tolol aku ini; aku telah memegang Dewi Fortuna dari rambutnya, namun membiarkannya tergelincir dari genggaman! Seorang lelaki hendak memberiku setengah harta karun, dan kuperlakukan tawaran itu sebagaimana orang Jerman menanggapi air dingin! Seorang wanita lain hendak menganugerahkan jasa di istananya, dan kuanggap tak lebih penting daripada keledai mendengar musik! Dan kini, ketika aku dipanggil untuk duduk di takhta, aku malah berperilaku bak perempuan mabuk di depan pemintal, membiarkan si kaki-berbulu menyalipku, dan penjudi curang merampas keuntungan indah ini dari tanganku!"

 

Sambil berkata demikian, ia meraih sebuah tempat tinta, mengambil pena, merapikan sehelai kertas, lalu mulai menulis, "Untuk permata tercantik di antara para wanita, Menechella, putri raja Negeri-Hilang-Akal. Setelah dengan rahmat Sang Surya dalam rasi Leo menyelamatkan nyawamu, kini kudengar ada seorang lelaki yang membual atas jerih payahku, mengaku sebagai dirinya jasa yang telah kuberikan padamu. Karena engkau hadir dalam peristiwa itu, engkau dapat meyakinkan sang raja tentang kebenaran, dan mencegah orang lain meraih pensiun prajurit, sementara akulah yang memutar sendokku. Dan inilah bukti sejati dari kelembutan budi seorang ratu, juga ganjaran pantas bagi tangan yang kuat seperti Skanderbeg. Akhir kata, kucium tangan mungilmu yang halus. Dari Penginapan Kamar Kencing, hari ini, Minggu."

 

Setelah menulis surat itu dan menyegelnya dengan lumatan roti, ia meletakkannya di mulut si anjing kecil dan berkata, "Pergilah, berlarilah secepat mungkin dan bawakan ini kepada putri raja, dan jangan berikan pada siapa pun kecuali langsung ke tangan wajah peraknya itu."

 

Anjing kecil itu pun berlari, hampir seakan terbang, menuju istana. Saat menaiki tangga, ia mendapati raja masih sibuk dengan upacara bersama sang mempelai. Begitu melihat anjing kecil itu membawa surat di mulutnya, si mempelai memerintahkan agar surat itu diambil darinya. Namun sang anjing enggan memberikannya pada siapa pun, dan melompat ke pangkuan Menechella, ia meletakkan surat itu di tangannya.

 

Menechella berdiri dari kursinya, dan dengan membungkuk kepada raja, ia menyerahkan surat itu padanya untuk dibaca. Setelah selesai membacanya, raja memerintahkan agar anjing kecil itu diikuti, supaya mereka tahu kemana ia pergi, dan agar tuannya dibawa menghadap. Maka dua orang bangsawan mengikuti sang anjing hingga tiba di penginapan, dan di sanalah mereka menemukan Cienzo. Mereka menyampaikan pesan raja kepadanya, lalu membawanya ke istana.

 

Di hadapan sang raja, ia ditanyai mengapa ia membual telah membunuh naga, jika lelaki yang duduk di sisi raja dengan mahkota di kepalanya telah membawa kepala-kepalanya.

 

Dan Cienzo menjawab, "Petani itu lebih pantas mengenakan topi kehormatan yang dibuat dari dekrit hukuman kerajaan ketimbang mahkota, karena ia begitu tak tahu malu berusaha menjual kunang-kunang sebagai lentera. Dan untuk membuktikan bahwa akulah yang melakukan perbuatan itu, bukan kambing berjanggut ini, bawalah kepala-kepala naga ke hadapan kita, dan kalian akan lihat bahwa tak satu pun dari mereka dapat dijadikan bukti, sebab tidak memiliki lidah, yang telah kubawa ke pengadilan ini untuk meyakinkan kalian."

 

Sambil berkata demikian, ia mengeluarkan lidah-lidah itu; petani itu berdiri terpaku, tak tahu apa yang menimpanya, terlebih lagi ketika Menechella menambahkan, "Dialah orangnya! Ah, kau anjing petani, kau menipuku!"

 

Mendengar itu, sang raja menanggalkan mahkota dari kepala si bajingan tua kotor itu, dan meletakkannya di atas kepala Cienzo. Dan ketika ia hendak mengirim si petani ke penjara, Cienzo memohon agar ia diampuni, demi membalas kebodohan orang itu dengan kemurahannya sendiri.

 

Dan setelah meja-meja dijajarkan, mereka bersantap dengan hidangan layak para bangsawan. Sesudahnya, pasangan itu pergi ke ranjang indah beraroma cucian segar, di mana Cienzo, sambil mengangkat trofi kemenangannya atas naga, masuk dengan gagah ke dalam Ibu Kota Cinta.

 

Namun, keesokan paginya---ketika dengan kedua tangannya Sang Surya menghunus pedang lebarnya dari tengah-tengah bintang, sambil berteriak, "Minggir kalian, bajingan!"---saat ia sedang berpakaian di depan sebuah jendela, Cienzo melihat seorang gadis jelita di rumah seberang, dan ia berpaling kepada Menechella seraya berkata, "Perempuan secantik apakah yang tinggal di seberang jalan itu?"

 

"Apa urusannya denganmu?" jawab istrinya. "Apakah matamu kini terpikat padanya? Kau sedang murung, barangkali? Atau sudah bosan dengan hidangan lezat? Apakah daging yang kau dapatkan di rumah sendiri tak cukup bagimu?"

 

Menundukkan kepalanya seperti seekor kucing yang baru saja berbuat kerusakan, Cienzo tak berkata apa-apa. Namun berpura-pura hendak keluar untuk suatu urusan, ia meninggalkan istana dan menyelinap masuk ke rumah sang gadis muda itu.

 

Dan sungguh, ia memang jelita tiada tara: laksana dadih lembut, laksana gula halus; setiap kali ia memutar kancing matanya yang mungil, hati pun tertusuk panah cinta; setiap kali ia membuka baskom bibirnya, jiwa-jiwa tercuci bersih; setiap kali ia menggerakkan telapak kakinya, pundak mereka yang bergantung pada tali harapan terasa semakin terhimpit.

 

Namun, di samping keelokan memikat itu, ia juga memiliki kekuatan ajaib: kapan pun ia kehendaki, ia bisa menyihir, mengikat, membelenggu, mengait, merantai, dan membungkus para lelaki dengan helai rambutnya. Demikianlah yang dilakukannya pada Cienzo, yang seketika ia menjejakkan kaki di rumah itu, terikatlah ia laksana seekor kuda muda.

 

Sementara itu, Meo, sang adik bungsu, tak mendapat kabar apa pun tentang Cienzo dan tergerak hatinya untuk pergi mencari sang kakak. Setelah meminta izin kepada ayahnya, ia pun diberi seekor kuda lain serta seekor anjing kecil lain, yang juga bertuah, lalu berangkatlah ia menunggang kuda dengan langkah mantap.

 

Malam itu, ketika ia tiba di menara tempat Cienzo pernah singgah, sang pemilik rumah, yang menyangkanya sebagai kakaknya, menyambutnya dengan segala keramahan di dunia dan hendak memberinya uang. Namun Meo menolak menerimanya. Melihat betapa riuhnya penyambutan itu, ia menyadari bahwa kakaknya pernah berada di sana, sehingga timbul harapan dalam dirinya untuk bisa menemukan Cienzo.

 

Begitu Bulan, musuh para penyair, membalikkan punggungnya kepada Sang Surya, Meo melanjutkan perjalanan. Ketika ia sampai di tempat sang peri, peri itu mengira ia adalah Cienzo, dan menyapanya dengan limpahan kehangatan, seraya berkata berulang kali, "Selamat datang, pemuda gagahku, engkau yang telah menyelamatkan nyawaku."

 

Menerima segala keramahan itu, Meo menjawab, "Maafkan aku karena tak dapat tinggal lebih lama, sebab aku sedang terburu-buru. Namun, kelak kita akan bertemu kembali sepulangku nanti."

 

Dan dengan sukacita di hatinya karena terus menemukan jejak kakaknya, Meo menempuh jalan hingga akhirnya tiba di istana sang raja, tepat pada pagi hari ketika Cienzo telah terperangkap oleh rambut sang gadis jelita.

 

Ketika Meo masuk ke dalam istana, para pelayan menyambutnya dengan penuh kehormatan, dan sang pengantin perempuan menyongsongnya dengan pelukan mesra. Menechella berkata kepadanya, "Selamat datanglah, suamiku! Engkau pergi di pagi hari, kembali di sore hari! Saat semua burung tengah menyantap makanannya, sang burung hantu kembali ke sarangnya! Mengapa begitu lama engkau pergi, wahai Cienzo? Bagaimana mungkin engkau tega menjauh dari Menechella? Engkau memang telah menyelamatkanku dari mulut naga, tetapi kini engkau menjerumuskanku ke dalam kerongkongan kecurigaan, bila mata itu tak selalu ada di sini menjadi cermin bagi diriku!"

 

Meo, yang cerdik, segera memahami bahwa dia ini adalah istri kakaknya. Maka sambil menoleh padanya, ia meminta maaf karena datang terlambat. Setelah memeluknya, mereka pun pergi untuk menyantap hidangan.

 

Namun, ketika Bulan, bagaikan induk ayam, memanggil bintang-bintang untuk mematuk embun, mereka pun masuk ke peraduan. Tetapi Meo, yang menjunjung tinggi kehormatan kakaknya, membagi selimut menjadi dua, sehingga masing-masing mendapat satu bagian, agar tak ada kemungkinan sedikit pun dirinya menyentuh sang ipar.

 

Ketika melihat cara baru itu, Menechella pun merengut. Dengan wajah sekaku seorang mertua, ia berkata, "Sayangku, sejak kapan ini berlaku? Permainan macam apa yang kita lakukan? Gurauan macam apa ini? Apakah kita ini ladang para petani yang bersengketa, hingga engkau membuat batasan ini? Apakah kita ini dua pasukan musuh, hingga engkau membuat parit ini? Ataukah kita ini kuda-kuda liar, hingga engkau mendirikan pagar untuk memisahkan kita?"

 

Namun Meo, yang pandai berhitung sampai tiga belas, menjawab, "Jangan salahkan aku, kasihku, melainkan salahkan dokternya, yang memerintahkan aku untuk membersihkan tubuhku dan menyuruhku berpantang; selain itu, aku begitu lelah berburu, hingga kurasa aku kehilangan ekorku."

 

Menechella, yang tak pandai mengaburkan air bening, menelan kebohongan besar itu, lalu tertidur.

 

Namun---ketika Sang Matahari mulai menguping pada Malam, yang hanya diberi sekepul waktu senja untuk berkemas dan angkat kaki---Meo, saat sedang mengenakan pakaiannya di jendela yang sama tempat kakaknya dahulu berdiri, melihat gadis jelita yang telah menjerat Cienzo. Karena amat menyukai parasnya, ia berkata pada Menechella, "Siapakah perempuan genit yang berdiri di jendela itu?"

 

Mendengar itu, Menechella, murka dan tersinggung, menjawab, "Jadi kau hendak melanjutkannya lagi? Kalau begitu, semuanya jelas sudah! Kemarin pun engkau menggoda celanaku dengan ikan kerapu ini, dan aku khawatir lidahmu selalu menuju ke tempat gigi yang sakit! Namun seharusnya engkau tahu menjaga kehormatanku, sebab aku adalah putri seorang raja, dan setiap kotoran pun memiliki baunya sendiri!

 

Tak heranlah kiranya, bila tadi malam engkau bertingkah seperti rajawali agung, berdiri bahu membahu! Tak heranlah pula bila engkau berpangku pada hasil panenmu sendiri! Kini aku paham: engkau berpantang di ranjangku agar dapat berpesta di rumah orang lain! Tetapi jika itu kulihat terjadi, aku akan bertindak gila dan menyalakan percikan api!"

 

Meo, yang telah makan roti dari banyak oven, menenangkannya dengan lembut. Dengan kata-kata manis, ia berkata dan bersumpah bahwa ia tidak akan menukar rumahnya sendiri dengan pelacur tercantik sekalipun di dunia, dan bahwa Menechella tetaplah yang paling mulia di dalam hatinya.

 

Sepenuhnya terhibur oleh kata-kata itu, Menechella lalu masuk ke sebuah kamar kecil, di mana para dayang merapikan dahinya dengan kaca, mengepang rambutnya, mewarnai bulu matanya, memerah pipinya, dan menghiasinya hingga ia tampak semakin indah bagi lelaki yang disangkanya suami sendiri.

 

Sementara itu, Meo mulai mencurigai, dari kata-kata Menechella, bahwa Cienzo mungkin terperangkap di rumah gadis jelita itu. Maka ia mengambil si anjing kecil, meninggalkan istana, dan masuk ke rumah sang perempuan.

 

Begitu ia tiba, gadis itu berkata, "Rambutku, ikatlah dia!"

 

Namun Meo, yang tangkas dalam urusan, segera menjawab, "Anjing kecilku, lahaplah dia!"

 

Dan si anjing pun menerkam sang perempuan dan menelannya bulat-bulat, bagaikan kuning telur.

 

Ketika Meo masuk ke dalam, ia mendapati kakaknya, yang tampak seolah terpesona dan terikat sihir. Namun begitu ia menempelkan dua helai bulu anjing kecil itu pada tubuhnya, seketika Cienzo seakan terbangun dari tidur panjang.

 

Meo lalu menceritakan segala yang telah terjadi dalam perjalanannya, hingga akhirnya tiba di istana, dan bagaimana dirinya telah disangka sebagai Cienzo, bahkan tidur sekamar dengan Menechella. Ia hendak melanjutkan ceritanya, tentang bagaimana ia membagi selimut agar tidak menyentuh istri kakaknya, ketika Cienzo yang digoda oleh iblis meraih pedang Spanyolnya dan menebas kepala Meo, seakan hanya memotong sebutir mentimun.

 

Mendengar suara itu, sang raja bersama putrinya berlari ke jendela. Dan ketika mereka melihat Cienzo telah membunuh seorang lelaki yang serupa dengannya, mereka bertanya alasannya.

 

Cienzo menjawab, "Tanyakan pada dirimu sendiri, engkau yang tidur dengan saudaraku karena mengira dialah aku; itulah sebabnya kutebas dia!"

 

"Ah, betapa banyak manusia terbunuh tanpa alasan!" seru Menechella. "Sungguh baik perbuatanmu! Kau tak pantas memiliki saudara semulia itu! Sebab ketika ia mendapati dirinya satu ranjang denganku, ia membagi selimut dengan penuh kesopanan, dan kami berbaring masing-masing di tempat kami sendiri!"

 

Mendengar itu, Cienzo menyesali kesalahan besar yang lahir dari putra keangkuhan dan ayah kebodohan, dan ia menggaruk setengah wajahnya sendiri karena marah dan malu. Tetapi ia kemudian teringat pada ramuan ajaib yang ditunjukkan kepadanya oleh naga. Maka diusapnyalah leher saudaranya dengan ramuan itu, dan kepala Meo segera melekat kembali, hingga ia hidup dan utuh seperti sedia kala.

 

Lalu Cienzo memeluknya dengan sukacita yang besar, memohon ampun atas tindakannya yang terburu-buru dan keliru dalam hendak menyingkirkan saudaranya dari dunia. Setelah itu keduanya pergi bersama menuju istana.

 

Di sana mereka memanggil Antoniello beserta seluruh keluarganya. Antoniello pun menjadi kesayangan sang raja, yang pada akhirnya melihat dalam diri putranya kebenaran dari pepatah lama:

"Kapal yang bengkok pun akhirnya menemukan pelabuhan yang lurus."

Si Muka Kambing

Hiburan Kedelapan pada Hari Pertama

 

Ketika Ciulla telah selesai menuturkan kisah manisnya, Paola yang gilirannya tiba untuk masuk dalam tarian, mulai berkata:

"Segala keburukan yang dilakukan manusia selalu berwarna oleh suatu alasan: entah oleh penghinaan yang memicu, atau oleh kebutuhan yang menekan, atau oleh cinta yang membutakan, atau oleh amarah yang menghancurkan. Hanya ketidakbersyukuranlah yang tak memiliki alasan, baik palsu maupun benar, untuk dijadikan sandaran.

 

Sungguh, sifat buruk ini begitu mengerikan hingga ia mengeringkan sumber belas kasih, memadamkan api cinta, menutup jalan bagi segala anugerah, dan di dalam hati orang yang tak dihargai kebaikannya, ia menumbuhkan rasa muak dan penyesalan.

 

Sebagaimana akan kalian lihat dalam kisah yang hendak kuceritakan sekarang.

 

Seorang petani memiliki dua belas orang putri, dan nyaris tak ada waktu bagi yang sulung untuk menggendong adiknya, sebab setiap tahun sang nyonya rumah yang baik hati, Ceccuzza, ibu mereka, selalu melahirkan lagi seorang bocah perempuan mungil, bagai kentut kecil yang baru lahir.

 

Setiap pagi si suami malang berangkat menggali tanah demi sepotong rotii agar keluarganya dapat hidup terhormat, dan sulit dikatakan mana yang lebih banyak, keringat yang menetes membasahi tanah, atau ludah yang ia gosokkan ke telapak tangannya. Namun, dengan sedikit tenaga itu jugalah ia berhasil menjaga semua katak kecil dan landak kecil itu agar tidak mati kelaparan.

 

Pada suatu hari, ketika ia tengah menggali di kaki sebuah gunung---gunung yang menjadi mata-mata bagi gunung-gunung lain, yang menjulang hingga ke atas awan demi menyaksikan apa yang terjadi di angkasa---ia menemukan sebuah gua yang begitu dalam dan gelap hingga Sang Matahari pun enggan masuk ke dalamnya. Dari sana merayap keluar seekor kadal hijau sebesar buaya.

 

Si petani malang begitu ketakutan hingga tak sanggup mengusirnya, dan ketika hewan buruk rupa itu membuka mulutnya, ia yakin bahwa ajalnya telah tiba. Namun, kadal itu mendekatinya dan berkata, "Jangan takut, orang baik; aku datang bukan untuk mencelakaimu. Aku datang hanya demi kebaikanmu."

 

Tatkala Masaniello---demikian nama si buruh---mendengar perkataan itu, ia segera berlutut di hadapan hewan itu dan berkata, "Nyonya entah-siapa-namanya, aku berada di bawah kuasamu. Berlakulah bagai orang berbudi, dan kasihanilah orang malang ini, yang memiliki dua belas anak perempuan cengeng untuk ditanggung hidupnya."

 

"Itulah sebabnya," jawab si kadal, "aku tergerak menolongmu. Maka bawalah kepadaku besok pagi putri bungsumu, sebab aku ingin membesarkannya sendiri, dan aku akan menjaganya seharga nyawaku."

 

Ketika mendengar permintaan itu, sang ayah malang menjadi lebih bingung daripada seorang pencuri yang tertangkap dengan barang curian di tangannya. Sebab kenyataan bahwa seekor kadal meminta salah satu putrinya, dan yang paling kecil pula, membuatnya menyimpulkan bahwa jubah ini tak mungkin tanpa bulu kasar, dan bahwa kadal itu menginginkannya sebagai pil pencahar untuk melampiaskan kelaparan.

 

Dan ia berkata dalam hati, "Jika kuberikan anakku pada hewan itu, berarti kuberikan juga jiwaku; jika kutolak memberikannya, ia akan merenggut tubuhku. Jika kubiarkan ia mengambilnya, maka hilanglah cahaya mataku; jika kutentang, ia akan menghisap darahku. Jika kusepakati, maka terambil sebagian dari diriku sendiri; jika kutolak, ia akan mengambil seluruhnya. Apa yang harus kuputuskan? Pilihan mana yang harus kuambil? Upaya apa yang bisa kutemukan? Oh, hari celaka! Musibah apa yang telah turun bagai hujan dari langit menimpa diriku!"

 

Ketika ia masih meratap demikian, sang kadal berkata, "Segeralah tentukan keputusanmu untuk melakukan apa yang kuminta, atau kau akan meninggalkan raga kasarmu di sini juga, sebab itulah yang kuinginkan, dan begitulah jadinya!"

 

Mendengar titah ini, Masaniello, yang tak tahu harus berpaling pada siapa, pulang ke rumah dalam kesedihan, wajahnya begitu pucat hingga tampak seperti orang terserang sakit kuning.

 

Dan Ceccuzza, ketika melihat suaminya begitu muram, lesu, tercekat, dan kacau pikiran, berkata kepadanya, "Apa yang menimpamu, suamiku? Apakah kau bertengkar dengan seseorang? Apakah ada yang menagih hutang? Ataukah keledai kita mati?"

 

"Bukan itu semua," jawab Masaniello. "Seekor kadal bertanduklah yang mengacaukan jiwaku, sebab ia mengancam akan melakukan hal-hal mengerikan jika aku tidak membawakan putri bungsu kita kepadanya, dan kepalaku berputar bagai penggulung wol, hingga aku tak tahu apa yang harus kulakukan! Di satu sisi aku ditekan oleh cinta, di sisi lain oleh beban rumah tangga! Aku mencintai Renzolla dengan segenap hatiku, aku pun mencintai hidupku sendiri dengan segenap hati: jika aku tidak menyerahkan buah pinggangku ini kepada kadal itu, ia akan mengambil seluruh tubuhku yang malang. Maka berilah aku nasihat, istriku tersayang, atau aku binasa."

 

Ketika mendengar hal ini, sang istri berkata kepadanya, "Siapa tahu, suamiku tercinta, bahwa kadal ini bukanlah musibah, melainkan berkah bagi rumah tangga kita? Siapa tahu, justru dari kadal inilah berakhir segala penderitaan kita? Kau tahu, sering kali kitalah yang justru menebas kaki kita sendiri, dan ketika seharusnya kita memiliki mata seekor rajawali untuk mengenali kebaikan yang datang, justru mata kita kabur dan tangan kita kaku untuk meraihnya. Jadi pergilah, bawalah anak itu kepada kadal, sebab hatiku berkata padaku bahwa keberuntungan menanti anak malang itu."

 

Kata-kata itu meyakinkan Masaniello, dan keesokan paginya---begitu Matahari, dengan kuas sinarnya, memutihkan langit yang hitam oleh bayangan Malam---ia menggandeng tangan putri kecilnya dan membawanya ke gua.

 

Sang kadal sudah berjaga menanti kedatangan si petani, dan begitu melihatnya, ia keluar dari sarangnya. Setelah menerima sang gadis, ia menyerahkan kepada ayahnya sebuah karung besar berisi uang logam kecil dan berkata:, "Pulanglah, nikahkanlah putri-putrimu yang lain dengan uang tembaga ini, dan hiduplah dengan bahagia, sebab Renzolla telah menemukan seorang ayah dan seorang ibu. Oh, betapa beruntungnya ia, telah berjumpa dengan keberuntungan besar ini!"

 

Masaniello pun dipenuhi kegembiraan; ia mengucapkan banyak terima kasih kepada sang kadal, lalu pulang meloncat-loncat kegirangan menemui istrinya. Ia menceritakan apa yang telah terjadi, dan menunjukkan kepadanya karung tembaga itu, yang segera mereka gunakan untuk menikahkan semua putri lainnya. Bahkan masih tersisa cukup bumbu untuk membuat mereka menelan pahit getir hidup dengan rasa nikmat.

 

Setelah sang kadal memiliki Renzolla, ia membuat sebuah istana megah muncul, dan di sanalah ia memelihara sang gadis, membesarkannya dengan segala kemewahan dan anugerah yang layak bagi seorang ratu.

 

Tak usah ditanya lagi, susu semut pun tak pernah kurang, ia makan seperti seorang bangsawan, berpakaian seperti seorang pangeran, dan dilayani oleh seratus gadis muda yang terampil dan penuh perhatian. Dengan semua perlakuan yang begitu agung, hanya dalam empat kali kedipan jari ia tumbuh tinggi menjulang laksana pohon ek.

 

Suatu hari, ketika sang raja sedang berburu di hutan itu, malam tiba sebelum ia sempat menemukan jalan keluar. Dalam kebingungannya, ia melihat cahaya lilin berkilau dari arah istana dan segera mengutus seorang pelayan untuk menanyakan kepada tuan rumah apakah ia boleh menumpang beristirahat.

 

Ketika sang pelayan tiba di sana, seekor kadal menyambutnya dengan wujud seorang wanita muda yang memesona. Mendengar pesan yang dibawa pelayan, ia berkata bahwa raja akan diterima seribu kali lipat dengan segala kehormatan, dan bahwa takkan kekurangan roti maupun pisau.

 

Begitu menerima jawaban itu, raja pun datang dan diperlakukan layaknya seorang tuan agung. Seratus abdi muda menyongsongnya dengan obor menyala, hingga seakan-akan itu adalah upacara pemakaman yang mewah bagi seorang kaya raya. Seratus abdi lainnya membawa hidangan ke meja, tampak bagaikan para pesuruh apotek yang mengantar santapan lezat bagi orang sakit.

 

Namun di atas segalanya, Renzolla sendiri menuangkan minum untuk sang raja dengan begitu anggun, sehingga dari cawan itu ia meneguk lebih banyak cinta daripada anggur.

Ketika santapan usai dan meja-meja telah dibersihkan, sang raja pun masuk ke kamar peraduan. Renzolla sendiri yang melepaskan kaus kaki dari kakinya, dan juga hati dari dadanya dengan begitu memesona, hingga raja merasakan racun cinta meresap perlahan ke dalam jiwanya, naik dari tulang-tulang kecil di kakinya yang tersentuh lembut oleh tangan jelita itu.

 

Maka, demi mencari penawar dari kematian yang dirasakannya, ia memutuskan untuk memperoleh penangkal dari keindahan tersebut. Ia pun memanggil peri yang menaungi Renzolla, lalu memohon agar gadis itu diberikan kepadanya sebagai istri.

 

Peri, yang tidak menghendaki apa pun selain kebaikan bagi Renzolla, bukan saja memberikannya secara cuma-cuma, tetapi juga melengkapinya dengan mas kawin berupa tujuh juta keping emas.

 

Sang raja dipenuhi kegembiraan atas keberuntungan itu dan berangkat bersama Renzolla. Namun, gadis itu, murung dan tak tahu berterima kasih atas segala yang telah dilakukan sang peri, pergi bersama suaminya tanpa menuturkan sepatah kata pun untuk menghargainya.

 

Ketika sang penyihir melihat betapa besar ketidakbersyukuran itu, ia menjatuhkan kutukan kepada Renzolla, wajahnya akan berubah menyerupai wajah seekor kambing.

 

Belum selesai kata-kata itu diucapkan, muncullah moncong panjang dari wajah sang gadis, lengkap dengan janggut sejengkal; rahangnya meruncing, kulitnya menebal, wajahnya diselimuti bulu, dan anyaman kepangan rambut di kepalanya menjelma menjadi tanduk-tanduk runcing.

 

Tatkala raja malang itu melihatnya, ia terkejut dan tak dapat memahami apa yang telah terjadi, mengapa keindahan berlapis ganda itu tiba-tiba berubah sedemikian rupa. Sambil menghela napas panjang dan menumpahkan air mata seolah hidangan penuh kesedihan, ia berkata, "Ke manakah rambut yang dahulu mengikat hatiku? Ke manakah mata yang menembus jiwaku? Ke manakah bibir yang menjadi jerat bagi rohku, perangkap bagi semangatku, dan jerat bagi hatiku? Apakah ini? Haruskah aku menjadi suami seekor kambing, dan meraih gelar si jantan domba? Haruskah aku dipermalukan sedemikian rupa, hingga membayar iuran di Foggia? Oh tidak, aku tak ingin hatiku mati merana karena wajah kambing, kambing yang akan membawa peperangan dengan cara berak buah zaitun!"

 

Demikianlah, berbicara sambil menggerutu, sang raja tiba di istananya. Di sana ia menaruh Renzolla bersama seorang pelayan di dapur, lalu memberi mereka masing-masing empat gulung rami untuk dipintal, dengan batas waktu satu minggu agar pekerjaan itu selesai.

 

Pelayan itu mematuhi titah rajanya. Ia mulai menyisir rami, membuat sumbu, menggulungnya pada alat pemintal, memutar gelendong, melilitkan benang, dan bekerja keras bagai perempuan jalang yang letih, sehingga menjelang malam Sabtu tugas itu telah rampung seluruhnya.

 

Tetapi Renzolla, masih merasa dirinya sama seperti dahulu kala ketika tinggal di rumah sang peri, karena ia belum pernah bercermin dan melihat wajahnya yang telah berubah, melemparkan gulungan rami itu ke luar jendela, seraya berkata, "Raja sungguh buang-buang waktu bila mengira aku akan mau disibukkan dengan pekerjaan remeh ini! Jika ia ingin baju, biarlah ia membelinya sendiri! Dan jangan sampai ia membayangkan bahwa aku ditemukan dari selokan! Biarlah ia ingat bahwa aku membawa tujuh juta keping emas ke dalam rumahnya, dan bahwa aku adalah istrinya, bukan pelayannya; tampaknya bagiku ia bertingkah seperti keledai karena memperlakukanku dengan cara begini."

 

Namun demikian, ketika Sabtu pagi tiba dan Renzolla melihat bahwa pelayan itu telah memintal seluruh bagian raminya, ia pun dilanda rasa takut luar biasa bahwa dirinya akan mendapat cambukan keras. Maka ia bergegas menuju istana sang peri dan mengadukan nasib malangnya.

 

Sang peri memeluknya dengan kasih yang besar, lalu memberinya sebuah karung penuh rami yang sudah dipintal, agar ia dapat menunjukkannya kepada sang raja sebagai bukti bahwa ia seorang istri yang rajin dan pandai mengurus rumah tangga.

 

Renzolla mengambil karung itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan tersebut, lalu kembali ke istana raja. Sang peri, karena sakit hati akan keburukan budi si gadis yang tak tahu berterima kasih itu, melemparkan batu-batu kecil ke arahnya ketika ia pergi.

 

Setelah sang raja menerima hasil pintalan itu, ia memberikan kepada mereka masing-masing seekor anjing kecil, satu untuk Renzolla dan satu untuk si pelayan, dan memerintahkan agar mereka merawat serta membesarkannya dengan baik.

Pelayan itu membesarkan anjingnya dengan suapan roti lembut, memperlakukannya laksana seorang anak. Tetapi Renzolla berkata, "Apakah kakekku mewariskan urusan merepotkan ini kepadaku? Apakah bangsa Turki sudah menyerang negeri ini, hingga aku harus menyisir bulu anjing dan membawanya keluar untuk buang kotoran?!"

 

Dan sambil berkata demikian, ia melemparkan anjing itu keluar jendela, jauh berbeda dari melatihnya untuk melompati lingkaran.

 

Beberapa bulan kemudian sang raja meminta agar anjing-anjing itu dibawa ke hadapannya. Renzolla, yang saat itu sedang memintal benang halus ketakutannya, berlari lagi menuju istana sang peri. Di depan pintu ia mendapati seorang lelaki tua renta, sang penjaga pintu. Lelaki tua itu bertanya kepadanya, "Siapa engkau, dan apa yang kau cari di sini?"

 

Mendengar pertanyaan aneh ini, Renzolla menjawab dengan kasar, "Apakah engkau tidak tahu siapa aku, janggut-kambing?"

 

"Kau hendak menikamku dengan pisau?" balas si tua. "Pencuri justru mengejar polisi! 'Menjauhlah dariku, kau akan mengotorku,' kata si pandai tembaga. Menunduklah kalau tak ingin terkena pukulan! Aku, janggut-kambing? Kau sendiri janggut-kambing dan setengah! Karena kau memang pantas mendapat julukan itu---bahkan lebih buruk lagi---atas kesombonganmu! Tunggu saja, gadis angkuh dan congkak, aku akan membukakan matamu! Kau akan melihat ke mana kesombongan dan kecongkakanmu telah menyeretmu."

 

Sambil berkata demikian, ia masuk ke sebuah kamar kecil, mengambil sebuah cermin, lalu menaruhnya di hadapan Renzolla.

 

Begitu ia melihat wajahnya yang mengerikan dan berbulu itu, Renzolla hampir mati karena putus asa. Bahkan siksaan Rinaldo ketika ia memandang dirinya dalam perisai gaib dan mendapati tubuhnya telah berubah rupa, tidaklah sebanding dengan duka yang kini melanda hati Renzolla. Ia menatap dirinya sendiri, begitu asing hingga ia tak sanggup mengenali sosok yang dipantulkan.

 

Lelaki tua itu berkata kepadanya, "Harus kau ingat, Renzolla, bahwa engkau hanyalah putri seorang petani. Sang peri telah memperlakukanmu dengan amat baik, hingga menjadikanmu seorang ratu. Namun engkau berlaku tolol, kasar, dan tak tahu berterima kasih, memberi balasan sedikit sekali untuk begitu banyak kebaikan. Engkau meninggalkannya di ruang tengah tanpa sekalipun menunjukkan tanda kasih. Maka terimalah balasannya! Inilah yang kau peroleh, lihatlah wajahmu sekarang! Lihatlah nasibmu, yang lahir dari sikapmu yang tidak tahu berterima kasih. Kutukan sang peri telah mengubah bukan hanya wajahmu, melainkan juga kedudukanmu

.

Tetapi jika engkau bersedia melakukan apa yang dikatakan janggut putih ini, pergilah masuk dan temuilah sang peri. Rebahkan dirimu di kakinya, cabuti rambutmu, cakar wajahmu, pukuli dadamu, dan mohonkan ampunan atas kelakuan burukmu terhadapnya. Sebab ia berhati amat lembut, dan ia pasti akan tersentuh belas kasihan melihat malapetaka yang menimpamu."

 

Renzolla sadar bahwa lelaki tua itu menyentuh nadinya dan memukul tepat pada kepalanya, maka ia menuruti segala nasihatnya.

 

Sang peri, setelah memeluk dan mencium Renzolla dengan penuh kasih, mengembalikan wajahnya kepada rupa semula. Lalu ia memberinya sebuah gaun berhiaskan emas yang berat, menempatkannya di atas sebuah kereta megah yang diiringi barisan para pelayan, dan mengantarkannya kembali kepada sang raja.

 

Ketika raja melihatnya lagi, begitu cantik dan berpakaian mewah, ia mencintainya bagaikan jiwanya sendiri. Ia memukul-mukul dadanya, menyesali semua penderitaan yang pernah ia timpakan kepadanya, dan memohon maaf karena telah memperlakukannya seperti sampah akibat wajah kambing terkutuk itu.

 

Dan sejak hari itu Renzolla hidup berbahagia: mencintai suaminya, menghormati sang peri, serta menunjukkan rasa terima kasih kepada lelaki tua itu. Sebab ia telah belajar dari pengalaman pahitnya sendiri, bahwa sopan santun dan rasa syukur selalu membawa manfaat.

Rusa Ajaib

Hiburan Kesembilan pada Hari Pertama

Mulut mereka semua ternganga mendengarkan kisah gemilang Paola, dan mereka pun bersepakat bahwa orang sederhana bagaikan sebuah bola: semakin keras kau hempaskan ke tanah, semakin tinggi ia memantul kembali; atau bagaikan seekor kambing jantan: semakin jauh ia mundur, semakin kuat ia menanduk dengan tanduknya.

 

Namun ketika Tadeo memberi isyarat kepada Ciommetella agar menghormati gilirannya, ia pun menggerakkan lidahnya demikian adanya:

"Besarnya kekuatan persahabatan sungguh tiada terbantahkan, karena ia memungkinkan kita menunggangi segala letih dan bahaya demi mengabdi pada sahabat. Harta benda duniawi hanya dianggap sehelai jerami, kehormatan bagai seekor serangga kecil, dan hidup sendiri hanyalah sebutir remah belaka bila dapat kita serahkan demi menolong seorang kawan. Fabel-fabel penuh dengan bukti akan hal itu, kisah-kisah sarat dengannya, dan hari ini aku hendak memberi kalian sebuah contoh yang dulu kerap diceritakan nenekku Semmonella (semoga arwahnya beristirahat dalam damai). Maka, jika kalian sudi menutup mulut, membiarkan telinga menjuntai rendah, dan memberi sedikit perhatian, dengarkanlah.

 

Pernah hiduplah seorang raja di Long Pergola bernama Iannone, yang amat besar hasratnya memiliki anak. Ia senantiasa berdoa kepada para dewa agar rahim istrinya diberkati keturunan. Dalam harapan agar doa-doanya segera dikabulkan, ia begitu murah hati kepada setiap pengembara, sampai-sampai rela memberikan bola matanya sendiri. Namun akhirnya, ketika ia melihat waktu terus berjalan dan tak juga muncul tunas kehidupan, ia menutup rapat pintu istananya dan melempari siapa pun yang berani mendekat.

 

Kebetulan lewatlah seorang bijak berjanggot lebat di negeri itu. Ia tidak tahu bahwa sang raja telah berubah haluan, atau mungkin justru tahu dan hendak mencari penawarnya. Maka ia datang menghadap Iannone dan memohon diterima di rumahnya. Dengan wajah muram dan alis berkerut, sang raja berkata kepadanya, "Jika ini satu-satunya lilin yang kau punya, lebih baik tidur dalam gelap! Waktu Berta memintal sudah lewat! Anak kucing sudah membuka mata! Kini tiada lagi ibu!"

 

Dan ketika si tua bertanya sebab dari perubahan hati itu, raja menjawab, "Karena kerinduanku memiliki anak, aku hamburkan, aku sebar, dan aku buang hartaku pada setiap orang yang datang dan pergi. Namun akhirnya, ketika kulihat tak juga dapat cukur bersih, aku tarik tangan dan lempar sauh."

 

"Jika hanya itu masalahnya,' sahut lelaki tua itu, 'tenangkanlah hatimu. Aku akan segera membuatnya hamil untukmu --- atau biarlah kupotong telingaku sendiri."

 

"Jika kau berhasil," kata raja, "maka dengan kata-kataku ini, akan kuberi kau setengah dari kerajaanku."

 

Maka lelaki tua itu menjawab, "Dengarkanlah baik-baik: jika kau ingin cangkokan yang berhasil, dapatkan hati seekor naga laut, dan suruh seorang perawan muda memasaknya. Pada saat ia mencium aroma yang keluar dari periuk itu, seketika perutnya akan membesar; dan ketika hati itu matang, berikanlah kepada sang ratu untuk disantap. Engkau akan melihat, ia pun segera mengandung, seolah-olah telah sampai pada bulan kesembilan."

 

"Bagaimana mungkin bisa demikian?" tanya sang raja. "Terus terang, sulit bagiku menelannya."

 

"Tak usah heran,' jawab lelaki tua itu, 'sebab jika kau membaca kisah-kisah kuno, akan kau dapati bahwa hanya dengan menyentuh setangkai bunga di Padang Olenia, perut Juno membuncit dan ia pun melahirkan."

 

"Kalau begitu," simpul sang raja, "carilah hati naga itu saat ini juga. Bagaimanapun, aku tak punya apa-apa lagi untuk direlakan."

 

Maka raja mengutus seratus nelayan ke laut. Mereka menyiapkan harpun, pukat, kail, jala, perangkap, tali, dan gulungan, lalu berlayar, menjelajah jauh dan luas, hingga akhirnya mereka berhasil menangkap seekor naga. Segera mereka merobek dadanya, mengeluarkan hatinya, dan membawanya kepada sang raja, yang kemudian menyerahkannya kepada seorang dayang cantik untuk dimasak.

 

Dayang itu mengunci diri di dalam sebuah ruangan, dan begitu ia menaruh hati naga itu di atas api, uap yang mengepul dari rebusan mulai menyebar. Tak lama berselang, bukan hanya sang juru masak jelita itu sendiri yang mengandung, tetapi seluruh perabot dalam kamar pun ikut membesar. Dalam beberapa hari saja, mereka semua "melahirkan."

 

Ranjang besar melahirkan ranjang kecil, peti besar melahirkan peti mungil, kursi-kursi besar melahirkan kursi kecil, meja besar melahirkan meja kecil, dan bahkan pispot pun melahirkan sebuah pispot mungil yang berhias begitu indah, hingga orang akan tergoda untuk memakannya.

 

Belum lagi hati itu tersaji di hadapan sang ratu, ia sudah merasakan perutnya sendiri mulai membesar. Dan hanya empat hari kemudian, baik ia maupun sang dayang sama-sama melahirkan bayi lelaki yang sehat dan gagah, yang wajahnya begitu serupa sehingga tak seorang pun mampu membedakan keduanya.

 

Kedua anak itu pun tumbuh bersama dengan cinta kasih yang begitu besar hingga mereka tak pernah mau dipisahkan. Ikatan kasih sayang mereka begitu kuat, sampai-sampai sang ratu merasa cemburu, sebab putranya sendiri tampak menunjukkan kasih yang lebih besar kepada anak seorang dayang ketimbang kepada dirinya. Dan ia tak kunjung menemukan cara untuk menghapuskan duri kecil yang menancap di matanya itu.

 

Pada suatu hari, sang pangeran hendak pergi berburu bersama sahabatnya. Ia menyalakan api di perapian kamarnya dan mulai melelehkan timah untuk membuat peluru. Karena ia kekurangan sesuatu, ia pun keluar untuk mencarinya sendiri.

 

Sementara itu, sang ratu datang melihat apa yang tengah dilakukan putranya. Dan ketika ia mendapati Canneloro, anak sang dayang seorang diri di sana, terlintaslah niat dalam hatinya untuk melenyapkannya dari dunia ini. Ia pun melemparkan cetakan peluru yang membara ke wajahnya.

 

Canneloro sempat menunduk, namun besi panas itu tetap mengenai alisnya, meninggalkan luka parah dan menganga. Sang ratu sudah bersiap mengirimkan hantaman kedua, ketika Fonzo, putranya, masuk ke dalam ruangan. Berpura-pura bahwa ia datang untuk melihat keadaan putranya, sang ratu memberi Fonzo beberapa belaian hambar lalu pergi meninggalkan mereka.

 

Canneloro segera menarik topinya hingga menutupi keningnya, agar Fonzo tak melihat apa yang terjadi. Ia berusaha berdiri tegak, meski hatinya terasa seperti sedang digoreng oleh nyala api. Dan setelah ia selesai menggulung peluru-peluru timah itu bagai seekor kecoak yang tak kenal lelah, ia memohon izin kepada pangeran untuk meninggalkan negeri itu.

 

Tercengang oleh keputusan mendadak ini, Fonzo bertanya kepadanya apa alasannya. Namun Canneloro menjawab, "Janganlah, sahabatku Fonzo, mencoba mencari tahu lebih jauh. Cukuplah kau ketahui bahwa aku dipaksa untuk pergi. Hanya langit yang tahu, bahwa saat aku meninggalkanmu wahai jantung hatiku. jiwaku seakan ditarik-tarik keluar dari dadaku, ragaku tercerai dari rohku, dan darahku berlari kencang bagaikan anak-anak yang bermain kejar-kejaran di dalam nadiku. Tapi karena tak ada jalan lain, jagalah dirimu, dan kenanglah aku."

 

Setelah mereka berpelukan, Canneloro pergi ke kamarnya dalam keadaan berputus asa. Di sana ia mengenakan baju zirah dan menyandang sebilah pedang. pedang yang lahir dari keajaiban saat hati naga dimasak dahulu. Lengkap dengan persenjataan, ia mengambil seekor kuda dari kandang, dan ketika hendak meletakkan kakinya di sanggurdi, Fonzo masuk sambil menangis.

 

Ia memohon, bila memang Canneloro bersikeras meninggalkannya, setidaknya tinggalkanlah sebuah tanda kasih, agar Fonzo dapat mengurangi nestapa karena berpisah dengannya.

 

Mendengar itu, Canneloro mencabut belatinya, menikamkannya ke tanah, dan seketika memancarlah sebuah mata air yang jernih. Ia berkata kepada sang pangeran. "Inilah kenang-kenangan terbaik yang bisa kutinggalkan padamu. Dari aliran sumber mata air ini engkau akan tahu keadaan hidupku. Bila airnya jernih, ketahuilah bahwa aku pun berada dalam keadaan tenang dan selamat. Bila keruh, bayangkanlah bahwa aku sedang dalam kesulitan. Dan bila suatu hari kau mendapati sumber ini kering (semoga langit tak menghendakinya), ketahuilah bahwa minyak pelita hidupku telah habis, dan aku sudah berada di hadapan takdir."

 

Setelah itu, ia menghunus pedangnya, menghentakkannya ke tanah, dan muncullah sebatang semak murad. Ia berkata lagi, "Bila kau melihatnya hijau, ketahuilah aku masih segar bagai bawang hijau. Bila layu, berarti nasibku pun merosot. Dan bila ia kering sepenuhnya, engkau boleh mengenangku dengan doa untuk arwahmu yang terkasih, Canneloro."

 

Usai mengucapkan kata-kata itu, mereka kembali berpelukan erat. Lalu Canneloro berangkat, berjalan jauh melintasi negeri, mengarungi banyak peristiwa yang panjang bila harus diceritakan satu per satu: perkelahian dengan kusir kereta, tipu daya para penjaga penginapan, pengkhianatan para penjaga bea cukai, bahaya jalan-jalan penuh perampok, dan diare yang timbul karena ketakutan akan para pencuri.

 

Akhirnya ia tiba di negeri Long Pergola, tepat ketika sebuah turnamen megah tengah berlangsung di mana putri raja dijanjikan bagi sang juara.

 

Canneloro pun menampakkan dirinya dan bertarung dengan gagah berani, hingga menjadi lawan yang sangat merepotkan bagi semua kesatria dari berbagai negeri yang datang demi mengukir nama. Dengan keberanian dan kehebatannya, ia akhirnya memenangkan sayembara, dan sebagai hadiahnya ia dianugerahi Putri Fenizia, putri sang raja, untuk menjadi istrinya.

 

Maka diadakanlah pesta besar-besaran yang dipenuhi sukacita.

 

Setelah hidup beberapa bulan dalam kedamaian nan penuh berkat, tiba-tiba timbul dalam diri Canneloro hasrat melankolis untuk berburu. Ketika ia menyampaikan keinginannya itu kepada raja, sang raja memperingatkannya demikian, "Berhati-hatilah dengan kakimu, menantuku, dan jangan sampai Setan membutakan matamu! Jagalah kewaspadaanmu, bukalah lebar pintu akalmu, sebab di hutan itu bersemayam seorang ogre yang lebih buruk dari iblis. Setiap hari ia berganti rupa: kadang tampak sebagai serigala, kadang singa, kadang rusa, kadang keledai, dan kini satu wujud, kini yang lain lagi. Dengan seribu tipu muslihat ia menyeret jiwa-jiwa malang yang ditemuinya ke dalam sebuah gua, tempat ia melahap mereka. Jadi, anakku, jangan taruhkan nyawamu, sebab engkau bisa kehilangan segala yang kau miliki!"

 

Namun Canneloro, yang telah meninggalkan segala rasa takut di dalam rahim ibunya, tak mengindahkan nasihat mertuanya. Begitu sang Matahari menyapu bersih jelaga Sang Malam dengan sapu jerami sinarnya, ia pun berangkat berburu.

 

Dan ketika ia tiba di hutan --- tempat di bawah kanopi pepohonan bayangan berkumpul, bersekongkol melawan sang Matahari, --- ogre yang telah melihat kedatangannya segera berubah rupa menjadi seekor rusa betina yang elok.

 

Begitu melihatnya, Canneloro langsung mengejarnya. Rusa itu berlari lincah, menggodanya, dan menyeretnya dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya menjerumuskannya ke tengah hutan. Di sanalah rusa itu menurunkan hujan dan salju yang begitu lebat, seakan-akan langit runtuh menimpa bumi.

 

Dalam kebingungan dan kedinginan yang menggigit, Canneloro akhirnya menemukan dirinya berdiri di depan gua sang ogre. Ia masuk ke dalam untuk berlindung dan menyelamatkan dirinya. Karena tubuhnya kaku membeku, ia mengumpulkan kayu-kayu yang ditemukannya, lalu, mengeluarkan batu api dari sakunya, ia menyalakan api besar.

 

Ketika ia berdiri menghangatkan diri dan mengeringkan pakaiannya, muncullah rusa betina itu di mulut gua, dan ia berkata, :Oh, Tuan Kesatria, izinkanlah aku memanaskan tubuhku sedikit, sebab aku sudah hampir beku."

 

Canneloro, yang berhati lembut dan penuh kesantunan, menjawab, "Mendekatlah, dan selamat datang kau padaku."

 

"Aku akan masuk," balas rusa itu, "tetapi aku takut engkau akan membunuhku."

 

"Janganlah takut," ujar Canneloro. "Masuklah, aku bersumpah."

 

"Jika benar engkau menginginkanku masuk," lanjut rusa itu, "ikatlah dahulu anjing-anjingmu agar tidak menggangguku, dan tambatkan kudamu supaya tidak menendangku."

 

Maka Canneloro pun menuruti: ia mengikat anjing-anjingnya dan menambatkan kudanya.

 

"Ya, kini aku hampir merasa lega," kata rusa itu lagi. "Namun, bila pedangmu tak juga kau singkirkan, aku tidak akan masuk, demi arwah kakekku!"

 

Dan Canneloro, yang dengan polosnya senang bercengkerama dengan rusa itu, menyingkirkan pedangnya, seperti seorang petani yang hendak pergi ke kota dengan takut pada para penjaga.

 

Begitu ogre itu melihat bahwa Canneloro tak lagi bersenjata, ia pun menampakkan wujud aslinya, menangkapnya, lalu menurunkannya ke dalam sebuah lubang di bagian belakang gua. Setelah itu ia menutup lubang itu dengan sebuah batu besar, berniat menyantapnya kelak.

 

Namun, ketika Fonzo  yang setiap pagi dan petang selalu mengunjungi semak murad dan mata air untuk mencari kabar tentang Canneloro, mendapati bahwa murad itu mulai layu dan airnya keruh, ia segera membayangkan bahwa sahabatnya tengah berada dalam kesulitan.

 

Ingin segera menolong, ia naik ke atas kudanya tanpa meminta izin pada ayah maupun ibunya. Berbekal senjata lengkap dan ditemani dua ekor anjing bertuah, ia berangkat mengembara menempuh jalan dunia.

 

Ia menempuh perjalanan jauh, berkelana ke berbagai arah, hingga akhirnya tibalah ia di Long Pergola.

 

Di sana, ia mendapati seluruh kerajaan itu diselimuti kain hitam, meratap atas kematian Canneloro yang mereka anggap sudah pasti. Dan ketika Fonzo masuk ke istana, semua orang, karena wajahnya begitu mirip dengan Canneloro  berlari menemuinya, yakin bahwa ia adalah sang menantu yang kembali dari kematian, lalu segera pergi kepada Putri Fenizia untuk menuntut janji hadiah mereka.

 

Putri itu pun, dengan hati meluap kegembiraan, bergegas menuruni tangga istana dan memeluk Fonzo erat-erat, seraya berseru, "Wahai suamiku, belahan jiwaku! Ke manakah engkau menghilang selama hari-hari ini?"

 

Mendengar ucapan itu, Fonzo segera menduga bahwa memang benar sahabatnya telah singgah di negeri itu, dan kemudian meninggalkannya. Maka ia memutuskan untuk menanyai sang putri dengan cermat, agar dari kata-katanya ia dapat menyingkap keberadaan Canneloro.

 

Dan setelah ia mendengar bahwa Canneloro telah menjerumuskan dirinya dalam bahaya besar saat perburuan yang terkutuk itu, terlebih karena mungkin saja ia telah jatuh ke tangan ogre, makhluk yang terkenal amat kejam terhadap manusia,  Fonzo pun langsung memahami bahwa sahabatnya memang telah ditawan oleh makhluk itu.

 

Namun ia berpura-pura tidak tahu menahu, dan ketika malam tiba ia pun pergi beristirahat di ranjangnya.

 

Berpura-pura seolah ia telah mengucapkan sebuah sumpah kepada Dewi Diana untuk tidak menyentuh istrinya malam itu, Fonzo pun membaringkan diri di ranjang, menaruh pedangnya yang masih terhunus di antara dirinya dan Fenizia, laksana pagar yang memisahkan keduanya.

 

Pagi pun tiba. Ia tak sabar menanti Matahari muncul, yang dengan pil emasnya membuat langit menyingkirkan bayangan malam. Sebab, begitu keluar dari ranjang, ia berniat segera pergi berburu.

 

Tidak juga permohonan Fenizia, tidak pula titah sang raja, mampu menghalangi tekadnya.

 

Maka, setelah menaiki kudanya, ia menuju hutan ditemani kedua anjing bertuahnya. Dan di sanalah, apa yang pernah menimpa Canneloro kini terulang pada dirinya.

 

Ia masuk ke dalam gua dan mendapati senjata, anjing-anjing, serta kuda milik Canneloro terikat di sana. Seketika itu juga ia yakin, bahwa sahabatnya memang telah terjebak di tempat itu.

 

Ketika rusa betina yang jelita itu memintanya untuk mengikat senjata, anjing, dan kudanya, Fonzo tidak terkecoh. Ia melepaskan kedua anjingnya, dan mereka segera menerkam sang rusa hingga tercabik-cabik.

 

Sementara ia masih mencari jejak lain tentang sahabatnya, terdengarlah suara rintihan dari dasar lubang yang tertutup batu besar. Fonzo segera mengangkat batu itu, lalu menolong Canneloro keluar, bersama semua orang lain yang ditawan si ogre, terkubur hidup-hidup untuk digemukkan sebelum dimakan.

 

Betapa besar kegembiraan mereka! Fonzo dan Canneloro berpelukan dengan linangan air mata, lalu kembali ke istana.

 

Namun ketika Putri Fenizia melihat dua pria yang wajahnya sama persis, ia tak mampu lagi membedakan yang mana suaminya. Barulah ketika Canneloro membuka topinya dan tampaklah bekas luka di alisnya, sang putri mengenalinya, dan dengan hati yang penuh kasih ia memeluknya erat-erat.

 

Setelah sebulan lamanya mereka hidup dalam kesenangan dan hiburan di negeri itu, Fonzo mulai merasakan kerinduan untuk pulang, ingin melihat kembali sarangnya sendiri.

 

Maka Canneloro, melalui sahabatnya itu, menulis surat kepada ibunya, memintanya datang agar turut merasakan kebahagiaan dalam kejayaannya. Sang ibu pun datang, penuh suka cita, dan sejak saat itu Canneloro tak lagi menginginkan apa pun yang berhubungan dengan anjing maupun berburu.

 

Sebab ia selalu teringat akan pepatah lama yang berkata:

Celakalah ia yang belajar kebijaksanaan dengan membayar mahal dari penderitaannya sendiri.

 

Perempuan Tua yang Dikuliti

Hiburan Kesepuluh dari Hari Pertama

Tak seorang pun yang tidak menyukai kisah Ciommetella, dan mereka pun merasakan kesenangan berlapis ganda: melihat Canneloro terbebas, serta ogre, yang telah membantai para pemburu malang itu mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Dan ketika giliran diberikan kepada Iacova untuk menutup surat hiburan berikutnya dengan lambang miliknya, ia pun mulai berbicara demikian:

"Wahai, betapa celakanya kebiasaan buruk yang tertanam dalam diri kami, para perempuan: keinginan untuk selalu tampak cantik! Demi menghias bingkai kening dengan emas, kami justru merusak lukisan wajah sendiri; demi memutihkan kulit tua yang telah keriput, kami merusakkan tulang gigi kami; dan demi menampilkan anggota tubuh dalam cahaya yang indah, kami justru menggelapkan penglihatan mata. Hingga akhirnya, bahkan sebelum waktunya tiba untuk membayar upeti kepada Sang Waktu, kami telah lebih dulu menuai mata berair, wajah berkerut, dan gigi busuk.

 

Dan bila seorang gadis muda yang menyerah pada kesia-siaan seperti itu pantas mendapat teguran, maka jauh lebih patut dihukum adalah seorang perempuan tua, yang karena ingin bersaing dengan gadis-gadis muda, malah menjadikan dirinya bahan tertawaan orang lain dan kehancuran dirinya sendiri.

 

Tentang hal inilah aku akan berkisah kepada kalian, bila saja kalian sudi meminjamkan sedikit telinga kalian padaku.

 

Dua perempuan tua hidup menyendiri di sebuah taman yang menghadap ke kediaman Raja Benteng Perkasa. Mereka adalah ringkasan segala kemalangan, catatan segala cacat, daftar segala keburukan: rambut mereka kusut dan berdiri tak beraturan; dahi mereka penuh garis dan benjolan; bulu mata mereka kusam dan kaku; kelopak mata mereka bengkak dan berat; mata mereka surut dan tampak seakan penuh biji; wajah mereka menguning dan berkerut; mulut mereka meneteskan air liur dan miring ke samping.

 

Singkatnya, mereka memiliki janggut seperti kambing jantan, dada berbulu, bahu bundar dan buncit, lengan layu, kaki pincang serta timpang, dan telapak kaki yang melengkung bengkok. Dan agar bahkan Sang Matahari pun tidak sempat menyaksikan rupa mereka yang mengerikan, mereka bersembunyi di beberapa ruang bawah tanah, tepat di bawah jendela sang raja.

Raja dibuat sengsara sedemikian rupa hingga ia bahkan tidak bisa kentut tanpa membuat perempuan-perempuan tua itu meringis sambil mengernyitkan hidung. Mereka terus menggerutu dan mengaduh seperti cumi-cumi yang menggeliat hanya karena perkara sepele. Pertama, mereka mengeluh bahwa bunga melati yang jatuh dari atas telah menimbulkan benjol di kepala salah seorang dari mereka. Lalu, mereka menuduh bahwa sehelai surat yang tercabik telah menyebabkan bahu salah satu dari mereka terkilir. Kemudian, mereka juga bersumpah bahwa segenggam debu telah membuat salah seorang di antara mereka memar di pahanya.

 

Mendengar semua kepekaan yang teramat berlebihan ini, raja pun menyimpulkan bahwa di bawah dirinya tinggal inti kelembutan, potongan terbaik dari daging paling lezat, bunga dari segala kelembutan. Oleh sebab itu ia diliputi kerinduan sampai ke tulang-tulang kecil di kakinya, dan keinginan yang menembus hingga sumsum tulangnya untuk melihat keajaiban ini dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang perkara itu.

 

Maka mulailah sang raja mengirimkan desah rindu, berdeham padahal tak ada yang perlu dikeluarkan, dan akhirnya berbicara dengan lebih berani, berseru,

"Di manakah engkau bersembunyi, wahai permata, cahaya, keindahan dunia?
 Keluarlah, keluarlah, wahai Matahari, hangatkanlah kaisarmu!
 Bukalah tabir pesona itu, tampakkanlah lampu dari toko Cinta itu, julurkanlah kepala mungil nan anggun itu, wahai lumbung yang dipenuhi harta kecantikan!
 Janganlah begitu kikir untuk membiarkan dirimu terlihat!

 

Bukalah pintu bagi sang elang malang ini!
 Berikanlah aku anugerah jika engkau ingin memberikannya!
 Ijinkan aku melihat alat yang darinya mengalun suara merdu itu!
 Tunjukkanlah bel kecil tempat denting indah itu terlahir!
 Biarkan aku menangkap sekilas pandang akan burung elok itu!
 Jangan membuatku seperti domba dari Ponto yang merumput hanya pada pahitnya absintus, dengan menolak membiarkan aku melihat dan memuja keindahan segala keindahan itu!"

 

Namun semua ucapan sang raja tak lebih dari nyanyian Gloria tanpa jemaat, sebab kedua perempuan tua itu telah menutup telinga mereka rapat-rapat. Tetapi justru sikap itu menambah kayu pada api raja: ia merasakan dirinya dipanaskan bagaikan besi dalam tungku nafsu, dijepit oleh penjepit kebimbangan, dan dihantam oleh palu derita asmara, semua itu hanya untuk menempa kunci yang dapat membuka peti perhiasan yang membuatnya sekarat karena rindu.

Dan ia tidak berhenti di situ; ia terus memohon, terus melancarkan serangan, tanpa henti mencari jalan untuk menaklukkan hati yang tersembunyi itu.

 

Kedua perempuan tua itu, yang mulai berlagak dan sombong karena janji-janji serta bujukan sang raja, bersepakat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan menangkap burung yang hendak masuk perangkap dengan sendirinya. Maka pada suatu hari, ketika raja tengah meracau di atas jendela mereka, keduanya berkata melalui lubang kunci dengan suara kecil lirih, bahwa kebaikan terbesar yang dapat mereka lakukan untuknya ialah memperlihatkan, dalam delapan hari, hanya satu jari dari tangan mereka.

 

Raja, yang sebagai prajurit kawakan tahu bahwa benteng ditaklukkan sejengkal demi sejengkal, tidak menolak persyaratan itu. Ia berharap dapat menaklukkan jari demi jari benteng yang sedang ia kepung, sebab ia pun paham benar akan pepatah lama: 'Ambil dulu, baru minta.'

 

Maka ia menerima keputusan itu, bahwa pada hari kedelapan ia akan melihat keajaiban dunia kedelapan. Sejak itu, kedua perempuan tua itu sibuk mengisap-isap jari mereka seperti apoteker yang meneguk sirup yang tumpah, dengan rencana bahwa pada hari yang ditentukan nanti, siapa pun yang jari tangannya tampak paling haluslah yang akan menunjukkannya kepada sang raja.

 

Dan sementara itu, sang raja gelisah menanti tibanya jam yang telah ditentukan untuk meredakan hasratnya: ia menghitung hari-hari, ia menandai malam-malam, ia menimbang jam-jam, ia mengukur detik-detik, ia mencatat tiap kedipan waktu yang diberikan kepadanya dalam penantian akan kenikmatan yang dinantikan.

 

Sekarang ia merayu Matahari agar mengambil jalan pintas melintasi padang langit, supaya lebih cepat tiba di kandang api dan memberi minum pada kudanya yang lelah setelah perjalanan panjang, sebelum waktu yang semestinya. Sekarang pula ia memohon pada Malam agar segera menurunkan bayang-bayang, agar ia bisa melihat cahaya yang meski belum tampak, telah membuatnya terbakar dalam tungku api Cinta.

 

Dan ketika kesabarannya habis, ia pun murka kepada Waktu, yang demi menggodanya berjalan dengan tongkat dan beralas kaki timah, agar terlambat tiba pada jam pembayaran hutang kepada sang pujaan hati dan menunda kesepakatan yang telah mereka buat bersama.

 

 

Tetapi sebagaimana kehendak Matahari ketika berada di rasi Leo, tibalah waktunya, dan raja pun pergi sendiri ke taman itu. Ia mengetuk pintu sambil berseru, "Keluarlah, keluarlah, di mana pun kau bersembunyi!"

 

Maka salah satu dari dua perempuan tua itu---yang paling sarat dengan usia, sebab batu ujian telah menunjukkan jarinya lebih halus daripada milik saudarinya---menjulurkan jarinya melalui lubang kunci dan menunjukkannya kepada sang raja.

 

Namun, itu bukan sekadar jari, melainkan sebilah tongkat tajam yang menembus jantung raja. Atau lebih tepatnya, bukan tongkat, melainkan gada yang memukul kepalanya. Tapi, apa yang aku katakan, tongkat dan gada? Itu adalah sebatang api yang disulutkan pada pelatuk hasratnya, sebuah sumbu yang dinyalakan dari gudang mesiu keinginannya. Tetapi, apa yang aku katakan, tongkat, gada, api, dan sumbu? Itu adalah duri yang menusuk ekor pikirannya---bahkan, sebuah obat pencahar berupa buah ara kecut yang membuatnya mengeluarkan gas asmara dalam kepulan desahan.

 

Dan ketika ia menggenggam tangan itu serta menciumi jari tersebut, yang telah berubah dari sebuah amplas tukang sepatu menjadi penggilap emas tukang perhiasan, ia pun mulai berkata, "O, arsip kemanisan, o, daftar kebahagiaan, o, catatan segala hak istimewa Cinta, yang karenanya aku kini telah menjadi gudang derita, lumbung kesedihan, dan bea cukai siksaan! Adakah mungkin engkau hendak bersikap begitu keras dan membatu hingga rintihanku tak dapat melunakkanmu? Kuseru engkau, wahai hatiku yang jelita, jika kau telah menunjukkan ekormu melalui lubang ini, kini tunjukkanlah juga moncongmu, dan marilah kita membuat jeli kebahagiaan! Jika kau telah memperlihatkan cangkangmu, o samudra kecantikan, kini perlihatkanlah daging manismu; bukalah mata elangmu dan biarlah ia menyantap hatiku ini! Siapakah yang menyekap harta wajah indah itu dalam jamban? Siapakah yang mengasingkan barang mulia itu dalam gubuk? Siapakah yang mengurung kekuatan Cinta dalam kandang babi? Keluarlah dari liang itu, larilah dari kandang itu, tinggalkan lubang itu! 'Melompatlah, siput kecil, dan ulurkan tanganmu pada Cola'; habiskan aku sesuai nilainya!

 

Ketahuilah, aku seorang raja, bukan mentimun murahan; kau tahu bahwa aku bisa melakukan dan membatalkan sesuka hatiku. Namun bocah buta penipu itu, anak seorang pincang dan seorang pelacur yang leluasa menguasai tongkat kerajaan, telah menakdirkan aku menjadi hamba bagimu, dan kini aku harus memohon kemurahan hati atas sesuatu yang sebenarnya bisa kuambil sesuka hati dan kapan pun aku mau. Dan lagi, aku tahu, sebagaimana pernah dikatakan seseorang, bahwa belaian, bukan keangkuhan, yang melunakkan Venus."

 

Perempuan tua itu tahu di mana iblis tua menyimpan ekornya, sebab ia adalah seekor rubah ulung, seekor kucing tua besar, seorang yang cerdik, licin, dan penuh tipu daya. Ia merenung bahwa justru ketika seorang penguasa meminta sesuatu, pada hakikatnya itu adalah sebuah perintah; bahwa keras kepala seorang hamba hanya akan menggerakkan empedu murka dalam usus sang majikan, yang akhirnya meledak dalam disentri kehancuran. Maka ia pun memutuskan untuk bertindak sebagaimana mestinya, dan dengan suara kecil seekor kucing terkuliti ia berkata, "Tuanku, karena Anda berkenan merendahkan diri di bawah seorang yang jauh di bawah Anda, sudi turun dari tongkat kerajaan ke alat pemintal, dari balairung istana ke kandang, dari jubah gemerlap ke kain rombeng, dari kebesaran ke kemelaratan, dari teras ke ruang bawah tanah, dan dari seekor kuda gagah ke seekor keledai, maka aku tak bisa, tak patut, dan tak ingin menentang kehendak raja yang agung. Dan karena Anda menginginkan persekutuan ini antara pangeran dan pelayan, mosaik dari gading dan poplar, tatahan berlian dan kaca, maka inilah aku, siap dan sedia melakukan kehendak Anda. Hanya satu anugerah yang kumohon, sebagai tanda pertama kasih yang Anda beri kepadaku: biarkanlah aku diterima di ranjang Anda pada malam hari tanpa lampu, sebab hatiku takkan sanggup menanggung beban bila tubuhku yang telanjang terlihat."

 

Raja, bergemuruh dengan kegirangan, bersumpah dengan satu tangan di atas tangan yang lain bahwa ia akan melakukannya dengan senang hati. Dan setelah ia mengirimkan sebuah ciuman manis kepada mulut busuk itu, ia pun beranjak pergi, nyaris tak sabar menanti Sang Surya berhenti membajak dan ladang langit ditaburi bintang, agar ia pun dapat menabur benih di ladang tempat ia berniat menuai karung-karung kegembiraan dan tumpukan kenikmatan.

 

Tatkala Malam tiba---dan, mendapati dirinya dikelilingi begitu banyak perampok toko dan pencuri jubah, ia menyemburkan tinta hitam seperti seekor cumi-cumi---perempuan tua itu menghaluskan semua keriput di tubuhnya dan mengumpulkannya ke belakang pundak dalam sebuah simpul, yang ia ikat erat dengan seutas tali.

 

Seorang pelayan kemudian menuntunnya dalam kegelapan menuju kamar tidur sang raja, dan di sana, setelah ia menanggalkan kain rombengnya, ia pun melemparkan dirinya ke atas ranjang. Raja lebih dari siap untuk menyalakan sumbu pada meriamnya, dan segera setelah ia mendengar perempuan itu datang dan berbaring, ia membalur dirinya dari ujung kepala hingga kaki dengan kasturi dan kesturi musang, lalu menyemprotkan air wangi ke sekujur tubuhnya, dan melompat ke ranjang laksana seekor anjing pemburu Korsika.

 

Dan sungguh beruntung bagi perempuan tua itu bahwa sang raja mengenakan begitu banyak harum-haruman, sehingga ia tak mampu mencium bau busuk yang keluar dari mulutnya, bau anyir dari bagian-bagian kecil tubuhnya, dan bau busuk dari benda buruk rupa itu.

 

Namun belum lagi ia benar-benar berbaring, ketika tangannya meraba, ia merasakan sesuatu di belakang leher perempuan itu dan menemukan usus kering serta kantung-kantung kempis yang disimpan si malang itu di belakang tokonya. Tetap menahan diri, raja memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun saat itu juga, sebab ia ingin lebih jelas dalam memahami perkara itu. Maka berpura-pura tak tahu, ia pun berlabuh di Mandracchio padahal disangkanya telah tiba di pantai Posillipo; ia berlayar dengan perahu tambangan padahal disangkanya tengah mengemudikan jalur pada sebuah galai Florentin.

 

Namun baru saja perempuan tua itu terlelap dalam tidur pertama, raja mengambil sebuah kantong kulit kijang berisi batu api dari meja tulisnya yang terbuat dari kayu hitam berhiaskan perak, lalu menyalakan sebuah pelita minyak kecil. Setelah menyelidiki ke bawah selimut dan mendapati seekor harpia di tempat seorang nimfa, seekor Erinia di tempat seorang Anugerah, dan seekor Gorgon di tempat seorang putri Siprus, ia murka sedemikian rupa hingga ingin memutus tali tambatan yang telah merapatkan kapal itu

 

Mendengus penuh amarah, ia memanggil semua pelayannya, yang ketika mendengar panggilan perang itu segera mengenakan baju mereka dan bergegas naik ke atas.

 

Mengibaskan dirinya seperti gurita,, sang raja berkata kepada mereka, "Lihatlah kelicikan halus yang dimainkan setan tua ini terhadapku! Aku percaya bahwa aku akan melahap seekor anak sapi gemuk, dan ternyata kudapati sebuah ari-ari kerbau; aku sangka telah menangkap seekor merpati nan indah, dan kini hanya ada burung hantu di tanganku; aku bayangkan menggenggam sepotong lezat layak santapan raja, dan kini kutemukan benda busuk ini dalam cakarku: patut dicicip, lalu diludahkan! Namun demikian, bila seseorang membeli kucing dalam karung, beginilah dan bahkan lebih buruk lagi, yang terjadi! Tapi dialah yang menyusun penghinaan ini, maka dialah pula yang akan menanggung hukumannya! Segera, bawa dia, persis sebagaimana adanya, dan lemparkan keluar jendela!"

 

Tatkala perempuan tua itu mendengar perintah ini, ia mulai membela diri dengan tendangan dan gigitan, seraya berkata bahwa ia naik banding atas putusan tersebut, sebab raja sendirilah yang memutarnya laksana engkol hingga ia sampai ke ranjangnya; dan selain itu, ia sanggup memanggil seratus tabib untuk membelanya, serta lebih dari segalanya bertumpu pada pepatah yang berbunyi, "Ayam tua menghasilkan kaldu yang lezat," dan pepatah lain, "Jangan tinggalkan jalan lama demi yang baru."

 

Namun semua itu sia-sia belaka, sebab mereka segera mengangkatnya bulat-bulat dan melemparkannya turun ke taman. Beruntunglah ia, karena lehernya tidak patah, sebab rambutnya tersangkut pada cabang sebatang pohon ara, sehingga ia tergantung di sana.

 

Keesokan paginya sebelum Sang Matahari mengambil alih wilayah yang telah diserahkan kepadanya oleh Malam, datanglah beberapa peri yang kebetulan melewati taman itu. Karena suatu sebab atau lainnya, mereka tidak pernah berbicara ataupun tertawa. Namun ketika mereka melihat, bergelantung pada pohon, bayangan buruk rupa yang telah membuat kegelapan lari terbirit-birit sebelum waktunya, mereka dilanda tawa yang begitu hebat hingga hampir saja mereka terkena hernia.

 

Dan ketika lidah mereka telah bergerak, mereka tak lagi mampu menutup mulut atas pemandangan mengagumkan itu dalam waktu yang lama. Begitu besar kesenangan dan hiburan yang mereka rasakan, sehingga sebagai balasan, masing-masing dari mereka menjatuhkan sebuah anugerah baginya: satu demi satu, mereka mendoakan agar ia menjadi muda, cantik, kaya, bangsawan, berbudi, dicintai, dan diberkati oleh keberuntungan baik.

 

Ketika para peri telah pergi, perempuan tua itu mendapati dirinya berada di tanah, duduk di atas sebuah kursi beludru mewah berhias pinggiran emas, di bawah pohon yang sama, yang kini telah berubah menjadi kanopi dari beludru hijau berlapis emas. Wajahnya kini menjadi wajah seorang gadis lima belas tahun, begitu elok hingga dibandingkan dengannya, semua kecantikan lain tampak bagai sandal rumah usang di sisi sepatu kecil yang anggun dan pas sempurna; di samping pesona agung ini, semua pesona lain seakan hanya pantas diserahkan kepada Ferrivecchi atau Lavinaro; dan di mana ia memainkan kata-kata manis dan rayuan dengan tangan yang unggul, semua yang lain hanyalah bank yang bangkrut.

 

Dan lebih dari itu, ia tampil begitu rapi, anggun, dan megah, sehingga tampak seperti seorang ratu agung: emasnya menyilaukan, perhiasannya berkilauan, bunga-bunganya memikat; dan di sekelilingnya berdiri begitu banyak pelayan serta dayang, sehingga suasananya tampak seperti hari pengampunan besar.

 

Sementara itu sang raja, yang hanya berbalut selimut di pundaknya dan mengenakan sepasang sandal rumah tua di kakinya, berjalan ke jendela untuk melihat apa yang terjadi pada perempuan tua itu. Ketika ia melihat sesuatu yang tak pernah terlintas dalam bayangannya, ia tertegun dengan mulut ternganga, dan memandang gadis elok itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, seolah ia sedang terpesona.

 

Sekarang ia mengagumi rambutnya, sebagian terurai di bahu, sebagian lagi terikat dengan pita emas yang bahkan membuat Sang Matahari iri; lalu ia menatap bulu matanya, busur silang yang membidik hati; lalu ia memandang matanya, lentera buta dari ronda Cinta; kemudian ia merenungi mulutnya, pemeras anggur asmara tempat Para Pesona menekan kebahagiaan dan memperoleh manisan Greco serta anggur gurih Mangiaguerra.

 

Ia bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti balok goyah, hampir kehilangan akal sehatnya ketika melihat perhiasan dan permata yang menggantung di lehernya serta pakaian agung yang ia kenakan. Berkata kepada dirinya sendiri, ia berseru, "Apakah aku sedang tidur atau terjaga? Apakah aku masih berakal sehat atau sudah gila? Apakah aku diriku sendiri, atau bukan diriku? Gerakan macam apa yang membuat bola indah ini menimpa seorang raja, hingga aku dijatuhkan ke jurang kebinasaan? Celakalah aku, binasalah aku bila aku tidak menarik diri dari ini! Bagaimana matahari ini bisa terbit? Bagaimana bunga ini bisa mekar? Bagaimana burung ini bisa menetas, hingga ia dapat menarik hasratku bagaikan kail? Perahu macam apa yang membawanya ke negeri ini? Awan macam apa yang menurunkannya? Arus keindahan macam apa yang menyeretku lurus ke lautan nestapa?"

 

Sambil mengucapkan kata-kata itu ia melayang menuruni tangga dan berlari menuju taman, di mana ia datang menghadap perempuan tua yang telah berubah rupa, dan hampir menyentuh tanah dengan wajahnya, ia berkata kepadanya, "Wahai merpati kecil wajah manis, wahai boneka mungil Para Pesona, merpati agung dari kereta Venus, pedati kemenangan Sang Cinta! Bila engkau berhasrat merendam hatimu di Sungai Sarno, bila biji-biji tebu tak menyumbat telingamu dan tahi burung pipit tak menimpa matamu, maka pasti engkau dapat melihat dan mendengar derita serta siksa yang, secara langsung maupun pantulan, telah dicurahkan keelokanmu ke dalam dadaku.

 

Dan bila engkau tak dapat menduga, dari wajah kelabu ini, racun yang mendidih di dadaku; bila engkau tak dapat membayangkan, dari nyala api helaan napas ini, tungku menyala yang membakar nadi-nadiku; maka setidaknya, bila engkau berhati welas dan bijaksana, engkau dapat menebak, dari emas rambutmu, tali apa yang mengikatku; dari hitam matamu, bara apa yang memanggangku; dari lengkung merah bibirmu, anak panah apa yang menembusku.

 

Maka jangan tutup pintu belas kasih, jangan angkat jembatan kemurahan, jangan hentikan saluran penghiburan! Jika wajah jelitamu ini tak sudi memberiku pengampunan, berikanlah sekurang-kurangnya jaminan kata-kata manis, izin janji atau dua, serta tanda harapan indah. Jika tidak, aku akan membawa sandal rumahku jauh dari sini, dan engkau takkan lagi melihat bentuknya."

 

Kata-kata itu bersama ribuan lagi yang keluar dari lubuk hati sang raja, sungguh-sungguh menggetarkan hati perempuan tua yang telah dipermak nasib, sehingga akhirnya ia menerima sang raja sebagai suaminya. Maka ia bangkit dari kursinya dan menggandeng tangannya, dan bersama-sama mereka menuju istana kerajaan, di mana sekejap mata saja telah tersiapkan jamuan besar.

 

Karena semua perempuan bangsawan negeri itu diundang, sang pengantin tua yang kini jelita menghendaki agar kakaknya pun hadir di antara mereka. Tetapi untuk menemukan dan menyeretnya ke pesta bukanlah perkara mudah, sebab si kakak, dilanda ketakutan besar, telah melarikan diri dan bersembunyi rapat hingga tak tersisa jejak. Namun kehendak Tuhanlah akhirnya yang membuat ia datang juga, dan begitu ia duduk di sisi adiknya, yang hampir-hampir tak sanggup ia kenali, mulailah keriangan berlangsung.

 

Namun perempuan tua malang itu digerogoti oleh kelaparan lain, kelaparan yang lebih kejam daripada perutnya: rasa iri hati yang menyala ketika melihat gemerlap jubah adiknya. Dan setiap beberapa saat ia menarik lengan adiknya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan, saudariku, apa yang kau lakukan? Beruntung benar engkau, engkau yang mendapat rantai emas itu!"

 

Namun sang adik menjawab, "Sekarang makanlah dulu, kita bicarakan nanti."

 

Sang raja terus-menerus bertanya apa yang terjadi, dan untuk menutupi keadaan, mempelai perempuan menjawab bahwa kakaknya menginginkan sedikit saus hijau. Maka raja segera memerintahkan agar bawang putih tumbuk, mustard, saus lada, dan seribu bumbu pembangkit selera lainnya segera dihidangkan.

 

Tetapi bagi si perempuan tua, saus anggur itu terasa bagai empedu sapi, sehingga ia kembali merengek dan mengusik adiknya dengan kata-kata yang sama, "Apa yang kau lakukan, saudariku, apa yang kau lakukan? Katakan padaku, atau akan kubuat engkau jadi buah ara di bawah jubahku."

 

Dan saudarinya menjawab, "Diamlah, sebab kita punya lebih banyak waktu daripada uang; makanlah dulu, dan kalau tidak nanti makanan itu akan tersangkut di kerongkonganmu, lalu nanti kita akan bicara."

 

Raja yang ingin tahu kembali bertanya apa yang dimaksudnya, dan mempelai yang kini pening kepalanya seakan dihantam martil, menjawab bahwa kakaknya menginginkan sesuatu yang manis. Maka datanglah badai kue-kue, serbuan wafer dan donat kecil, banjir puding susu, dan hujan deras manisan madu.

 

Namun perempuan tua itu, yang resah bagai cumi-cumi dan perutnya melilit tak karuan, kembali memainkan nada yang sama hingga pengantin perempuan tak lagi sanggup menahannya. Demi menyingkirkan gangguan itu, akhirnya ia menjawab lirih, "Aku menguliti diriku, saudariku."

 

Mendengar itu, si kakak yang iri segera bergumam di bawah napasnya, "Baiklah, kata-katamu tidak jatuh pada telinga yang tuli! Aku pun ingin mencoba peruntungan, sebab tiap roh punya perutnya sendiri, dan jika aku berhasil menggenggam nasib, engkau takkan jadi satu-satunya yang bersuka cita. Aku pun ingin bagianku, sampai ke batang adasnya."

 

Sementara ia berbicara demikian, meja jamuan pun telah dibereskan. Berpura-pura hendak memenuhi suatu hajat, ia bergegas pergi ke sebuah kedai tukang cukur. Di sana ia menjumpai sang empunya, lalu membawanya masuk ke ruang belakang, dan berkata. "Ini ada lima puluh dukat untukmu; kulitilah aku dari kepala hingga kaki."

 

Tukang cukur itu, mengira ia sudah gila, menjawab, "Sudahlah, saudariku; engkau bicara yang aneh-aneh, jelas sekali kau perlu ditemani seseorang."

 

 

Namun perempuan tua itu menjawab dengan wajah sekeras marmer, "Engkaulah yang gila, bila tak mampu mengenali nasib baikmu sendiri. Sebab jika aku menang dalam suatu permainan, selain lima puluh dukat ini akan kuberi kau kesempatan menaruh baskommu di bawah janggut Sang Fortuna. Maka cepat, kumpulkan alatmu dan jangan buang waktu; keberuntungan besar menantimu."

 

Setelah lama berdebat, bertengkar, dan menolak, akhirnya si tukang cukur pun terperangkap oleh bujukannya, berlagak seperti orang yang "mengikat keledai di mana pun tuannya mau". Maka setelah mendudukkannya di bangku, ia mulai menebas kulit hitam itu, yang meneteskan darah di sana-sini. Dan setiap kali, dengan tenang seakan sedang mencukur janggut, ia berkata, "Aduh, barang siapa ingin tampak cantik, haruslah ia menderita."

 

Dan sementara ia terus mengantarkan perempuan itu pada kebinasaannya, si malang itu pun mengulang-ulang semboyan yang sama, sehingga keduanya membuat semacam kontrapuntal di atas kecapi tubuhnya, sampai sang tukang cukur mencapai roset pusarnya. Di sanalah darahnya mengering, bersama dengan lenyapnya tenaga, dan dari bawah ia melepaskan tembakan terakhir, membuktikan dengan dirinya sendiri kebenaran bait Sannazaro:

"Iri hati, wahai anakku, menghancurkan dirinya sendiri."

 

Kisah ini berakhir tepat pada saat Sang Matahari diberi tenggat satu jam untuk segera meninggalkan ruang-ruang udara, bagaikan seorang murid yang menjengkelkan. Maka pangeran pun memanggil Fabiello dan Iacovuccio, yang seorang adalah pelayan linen, dan yang seorang lagi bendahara rumah tangga, agar datang menyuguhkan hidangan penutup bagi hari penuh cerita itu.

 

Dan muncullah mereka, cepatnya laksana polisi: yang seorang mengenakan celana dari kain wol hitam dengan tali pengikat martingale dan jaket berbentuk lonceng dengan kancing sebesar bola antelop, serta topi datar yang menjuntai menutupi telinganya; yang seorang lagi memakai baret bundar seperti papan pemotong, jaket gembung di perut, dan celana dari kain putih Taranta.

 

Keluar dari balik latar semak murad seakan-akan dari sebuah panggung pertunjukan, mereka berbicara dengan cara demikian:

Wadah Ujian

Eclogue
Fabiello, Iacovuccio

FABIELLO: Ke mana kau melangkah begitu cepat? Ke mana kau hendak pergi dengan tergesa-gesa, Iacovuccio?

IACOVUCCIO: Untuk membawa pulang benda kecil ini.

FAB.: Apakah itu sesuatu yang indah?

IAC.: Tentu saja. Benar-benar kelas pertama.

FAB.: Kalau begitu?

IAC.: Ini sebuah wadah peleburan.

FAB.: Untuk apa engkau menggunakannya?

IAC.: Andai saja kau tahu.

FAB.: Hei, hati-hati. Menjauhlah dariku!

IAC.: Mengapa?

FAB.: Siapa tahu, mungkin kau sudah dibutakan oleh iblis! Kau mengerti maksudku?

IAC.: Kudengar kata-katamu, tapi kau meleset sejauh seratus kilometer.

FAB.: Jadi apa yang kuketahui?

IAC.: Yang tak tahu sebaiknya diam, dan rapatkan mulutnya.

FAB.: Aku tahu pasti kau bukanlah seorang pandai emas, dan kau juga bukan penyuling: tarik kesimpulanmu sendiri!

IAC.: Mari kita bergeser ke samping, Fabiello. Aku ingin membuatmu kagum dan terperanjat.

FAB.: Kita bisa pergi ke mana pun yang kau mau.

IAC.: Mari kita berdiri di bawah serambi itu. Aku akan membuatmu terlonjak dari pakaianmu!

FAB.: Cepatlah, lanjutkan, saudaraku, kau membuatku terengah-engah.

IAC.: Tenanglah, saudaraku! Sungguh tergesa-gesa dirimu! Katakan padaku, apakah ibumu menciptakanmu dalam buru-buru juga? Lihatlah baik-baik alat ini.

FAB.: Aku bisa melihat itu sebuah wadah tempat perak dimurnikan.

IAC.: Tepat sekali. Kau menebaknya dengan benar seketika!

FAB.: Tutupi segera. Siapa tahu, ada polisi lewat dan kita akan diseret ke penjara!

IAC.: Betapa pengecutnya kau! Tapi gemetralah dengan damai. Ini bukanlah salah satu alat di mana orang menguleni adonan dengan segala tipu muslihat hingga tiga keping koin kecil berubah menjadi tiga poton Begitu dilempar ke dalam wadah ujian kayu!

FAB.: Katakanlah, lalu untuk apa kau menggunakannya?

IAC.: Untuk memurnikan hal-hal dunia ini, dan untuk membedakan antara bawang putih dan buah ara.

FAB.: Kau punya banyak kain rami untuk digarap! Kau akan lekas menua; sebentar saja rambutmu akan memutih!

IAC.: Lihatlah, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang tak rela membayar dengan satu mata dan satu gigi untuk memiliki alat seperti ini, yang sekali dicoba langsung memperlihatkan setiap noda dalam diri seseorang, nilai setiap keahlian, dan setiap harta! Karena di dalam wadah ini kau dapat melihat apakah sebuah mi kosong belaka ataukah ia berisi nalar, apakah sesuatu itu tercemar atau murni.

FAB.: Apa maksudmu kini?

IAC.: Dengarkan aku hingga tuntas; tenanglah, maka aku akan menjelaskan dengan lebih baik. Apa pun yang dalam rupa luar dan pada pandangan pertama tampak berharga hanyalah ilusi mata, sekadar cara untuk membutakan orang, semata penampilan. Kau tak bisa sekadar menggores permukaan atau mencakar kulit; kau harus menembus lubang dan masuk ke dalamnya, sebab di dunia ini barangsiapa yang tidak memancing dalam-dalam adalah tolol sejati! Gunakan wadah peleburan ini, dan kau akan mampu menguji apakah suatu urusan benar atau palsu, apakah itu bawang yang bertunas ataukah sepotong kue isi.

FAB.: Itu sungguh hal yang menakjubkan, demi hidupnya Lanfusa!

IAC.: Dengarkan aku, lalu kagumlah. Mari kita lanjutkan. Tarik napas dalam-dalam, sebab kau akan mendengar keajaiban! Dengarlah sebuah teladan. Kau merana karena iri hati, kau membengkak dan terkena burut hanya karena seorang tuan, seorang pangeran, atau seorang ksatria bepergian dengan kereta; kau melihatnya dilayani dan ditemani oleh begitu banyak orang kecil, begitu banyak pengikut rendahan. Ada yang meringis kepadanya di sini, ada yang membungkuk di sana, yang satu membuka topinya, yang lain berkata, "Budakmu, tuanku!" Ia mengubah sutra dan emas menjadi kain usang; ketika ia makan, mereka mengipasnya; bahkan ia memiliki bejana perak untuk menampung kotorannya!

Tetapi janganlah engkau mengandung dari segala keagungan dan tampilan ini; jangan mendesah dan meneteskan liur karenanya. Masukkan semuanya ke dalam wadah peleburan ini, dan kau akan melihat betapa banyak borok bernanah yang tersembunyi di balik pelana beludru; kau akan tahu betapa banyak ular yang bersembunyi di antara bunga dan rerumputan; bila kau singkap kursi hiasnya, dengan rumbai, sulaman, kain emas, dan sutra, kau akan dapat memastikan apakah isinya wangi harum atau bau busuk!

Ia memiliki bejana emas, tetapi meludah darah ke dalamnya; ia mendapat potongan makanan terbaik, tetapi tersangkut di tenggorokannya; dan bila kau menimbang dengan baik, memperhatikan lebih cermat, apa yang tampak sebagai pemberian nasib ternyata sesungguhnya adalah hukuman dari langit. Semua gagak yang ia beri makan roti akan mencungkil matanya; semua anjing yang ia pelihara menyalak kepadanya; ia menggaji para musuhnya sendiri, yang mengelilinginya, mengisapnya hidup-hidup, dan menipunya.

Di sini ada yang menempel padanya dengan mimik muka dan dongeng palsu; di sana ada yang meniupnya besar-besar dengan peniup api; yang satu tampak murah hati hingga ke duburnya, seekor serigala berbulu domba dengan wajah manis dan limpa busuk, yang membujuknya berbuat salah dan berlaku jahat; yang lain merancang tipu daya. Ada pula yang berkata, "Biarkan aku menceritakan semuanya padamu," lalu membuat kepalanya jungkir balik; yang ini mengkhianatinya dan memberinya disentri, sehingga ia tak pernah tidur nyenyak, tak pernah makan dengan nikmat, tak pernah tertawa dari lubuk hatinya.

Jika ia makan, kebisingan membuatnya gila; jika ia tidur, mimpinya mengerikan; kesombongannya menyiksanya, laksana burung Tityus; kesia-siaannya ibarat air dan buah yang mengelilinginya kala ia sekarat karena lapar; akal budinya, tanpa akal, ibarat roda Ixion yang tak memberinya damai; tipu daya dan khayalan ibarat batu-batu yang Sisyphus dorong ke puncak gunung, hanya untuk jatuh kembali---bum!---ke dasar!

Ia duduk di kursi emas bertatah gading dan permata; di bawah kakinya ada bantal-bantal brokat dan tafeta, serta permadani Turki. Tetapi di atas kepalanya tergantung sebilah pedang tajam, ditahan hanya oleh sehelai rambut, sehingga ia senantiasa menderita diare, memintal benang ketakutan, membeku oleh teror, terus-menerus dilanda cacing, mencret, gentar, serta dicekam rasa ngeri. Dan, pada akhirnya, segala keagungan dan kebesaran ini hanyalah bayangan dan sampah belaka, dan segumpal tanah di lubang sempit menutupi penjahat maupun raja dengan cara yang sama.

FAB.: Engkau benar, demi jiwa seseorang yang kau tahu! Sungguh, aku bersumpah, keadaannya bahkan lebih buruk daripada yang kau katakan, sebab makin tinggi derajat seorang tuan, makin besar pula malapetakanya. Dan singkatnya, orang dari Trecchiena yang berkeliling menjual kenari itu berkata dengan bijak ketika ia berkata, "Tak semua yang berkilau itu emas!"

IAC.: Dengarkan yang satu ini lagi, maka engkau akan menjadi pohon teratai! Inilah seorang lelaki yang memuji perang dan menempatkannya di atas segalanya; dan ketika tiba saatnya panji-panji dikibarkan, tabuhan genderang terdengar, ia pun bergegas mendaftar, ditarik lehernya hanya oleh empat keping kecil yang dilempar di atas bangku. Ia mendapat uang baru, ia membeli pakaian baru di Giudecca, ia mengenakan topi carob dan tampak seperti keledai pengangkut beban, dengan bulu hias dan pelana berselendang.

Bila seorang kawan bertanya padanya, "Ke mana kita pergi?" ia menjawab dengan riang, seakan berjalan di udara, "Ke medan perang, ke medan perang!" Ia bergaul di kedai arak, ia berlagak jaya di Jalan Murbei, ia pergi ke barak, ia menjual jatah tempat tinggalnya, ia menimbulkan keributan dan kegaduhan, dan bahkan Gradasso pun takkan mampu membuatnya mundur!

Kasihan dia, bila dilebur dalam wadah ujian ini! Segala kegembiraan, kesombongan, dan lagaknya berubah menjadi duka nestapa dan siksaan. Dingin membuatnya beku, panas mengakhiri hidupnya, lapar menggerogotinya, letih menyembelihnya, bahaya selalu di sisinya, sedang upah jauh dari tangannya. Luka datang kontan, gaji datang berhutang; derita panjang, manisnya singkat; hidup tidak pasti, mati sudah pasti.

Akhirnya, ia entah luluh lantak oleh siksaan dan melarikan diri, dan dengan tiga lompatan dapat memastikan apakah talinya sekadar sumbu atau jerat gantung; atau ia hancur lebur, pincang, tak punya yang tersisa selain santunan sepasang tongkat penopang, atau pengobatan kudis, atau---yang lebih ringan deritanya---sekadar uang pensiun di rumah sakit.

FAB.: Segala kebusukan telah kau ungkap, tak ada lagi yang tersisa untuk dikatakan; benar, dan lebih dari benar, sebab seorang prajurit malang menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengemis atau penuh dengan lubang!

IAC.: Dan apa katamu tentang seorang lelaki yang penuh dengan keangkuhan, berjalan dengan ujung kakinya, berlagak seperti merak, membusungkan dada dan membanggakan diri bahwa ia berasal dari darah dan keturunan Achilles atau Alexander? Sepanjang hari ia menggambar pohon silsilah, menarik dahan ek dari batang pohon kastanye; sepanjang hari ia menulis kisah-kisah dan silsilah khayal tentang para ayah yang tak pernah punya anak, dan ia bersikeras bahwa seorang lelaki yang menjual seperempat tong minyak adalah seperempat bagian bangsawan.

Ia menyusun hak istimewa di atas lembaran perkamen dan mengasapinya agar tampak tua, lalu memberi makan asap keangkuhan; ia membeli batu nisan dan menempelkan epitaf yang terbuat dari seribu sajak kanak-kanak. Ia membayar kaum Zazzera untuk menghiasi ekor bajunya, ia menghamburkan uang pada kaum Campanile untuk menyetel loncengnya, dan ia mengorbankan mata serta giginya kepada kaum di Pietri untuk meletakkan fondasi bagi beberapa rumah reyot.

Namun ketika ia dimasukkan ke dalam wadah ujian ini, meskipun ia meregangkan tubuhnya sepanjang mungkin, meskipun ia berharap yang terbaik dan berucap sengau penuh kesombongan, tetap saja tampaklah kapalan di tangannya yang berasal dari cangkul!

FAB.: Engkau menyentuh tepat pada lukanya, tak ada lagi yang perlu dikatakan; sungguh kau telah memukul kepala paku! Aku teringat, omong-omong (dan simpanlah kata-kata ini), seorang bijak pernah berkata: "Tak ada yang lebih buruk daripada seorang petani yang naik pangkat."

IAC.: Nah, lihatlah: seorang pria yang penuh kesombongan sia-sia, pengumbar wangi, dipenuhi rasa congkak, yang berani menghiasi leher kudanya dengan karangan bunga dari keju, lalu pergi dengan gaya yang megah dan berlebih. Ia meniupkan balon-balon kosong dan memuntahkan kata-kata tak berarti, melontarkan kata-kata bulat besar lalu berjalan dengan angkuh, memelintir mulutnya, mengisap bibirnya ketika berbicara, dan mengatur langkah-langkah kakinya seakan-akan setiap gerakannya adalah pertunjukan. Tebaklah, siapa yang ia bayangkan dirinya?

Ia membanggakan diri dan berkata, "Hei, cepat bawakan kuda cokelatku, atau yang belang! Panggil dua puluh orangku! Lihat apakah keponakanku sang count ingin ikut jalan-jalan sebentar! Kapan pengelola kita akan membawakan keretaku? Katakan pada penjahit utama bahwa sebelum senja aku ingin celana berhias emas! Sampaikan jawaban pada wanita itu, yang tersiksa karena cintanya padaku, dan katakan padanya bahwa mungkin, ya mungkin saja, aku akan membalas cintanya!"

Namun, begitu ia diuji dalam wadah ini, tak tersisa satu keping uang pun; semuanya hanyalah api jerami, dan semakin ia berlagak, semakin ia menguap kelaparan: ia selalu bicara tentang uang besar, padahal tak punya sepeser pun; ia berpura-pura hebat, padahal tak ada sesuap makanan untuk mulutnya; kerah bajunya terlipat-lipat indah, tapi kantongnya tak berisi setitik pun kerutan; perutnya tampak besar dan bagus, tapi tanpa satu keping uang sama sekali.

Singkatnya, setiap jenggotnya ternyata hanyalah cambang, setiap tiang hanyalah tusuk gigi, setiap pai hanyalah kastanye rebus, dan setiap meriam akhirnya hanya menembakkan angin kosong.

FAB.: Semoga lidahmu diberkati! Betapa baik kau membedahnya, betapa tepat kau menguraikannya! Singkat kata, pepatah lama berkata: "Seorang yang sia-sia ibarat kantung angin."

IAC.:
 Siapa yang mengikuti kehidupan istana, ia terperangkap dalam sihir penyihir buruk rupa itu: tubuhnya menggembung oleh angin, hidupnya bertumpu pada asap panggangan, dengan kantung harapan yang penuh namun kosong; ia menunggu gelembung sabun dan abu yang pecah di udara sebelum sempat sampai kepadanya. Dengan mulut ternganga ia terpukau oleh gemerlap yang memesona, dan hanya demi selembar kain lap usang serta hak menyelupkan sepotong roti keras basi ke dalam kuah di dapur para pelayan, ia rela menjual kebebasannya yang begitu mahal harganya!

Jika engkau menuangkan cairan penguji di atas emas palsu ini, akan tampaklah labirin tipu daya dan pengkhianatan; engkau akan menemukan, saudaraku, jurang penipuan dan kepura-puraan; engkau akan melihat sebuah kota besar penuh lidah yang tajam dan kejam. Sekejap ia ditinggikan di atas telapak tangan, lalu seketika dilempar jatuh ke dasar gentong; sesaat ia berada dalam kasih tuannya, lalu sejenak kemudian membuat tuannya muak; kini ia miskin, lalu kaya; kini gemuk dan gagah, lalu kurus dan kerdil. Ia menawarkan jasa, bekerja, berkorban, berkeringat bagai anjing; alih-alih berjalan ia berlari-lari kecil, bahkan membawa air di atas telinganya.

Namun sia-sialah semua jerih payah, kerja, dan benihnya, sebab segalanya dikerjakan untuk angin, segalanya dilempar ke laut. Engkau boleh berusaha sekuat tenaga, namun hasilnya tetap nihil; engkau boleh menyusun rencana dan angan-angan berdasarkan harapan, jasa, dan pengorbananmu, tetapi setiap hembusan angin kecil yang bertiup ke arah berlawanan meruntuhkan semua usahamu. Pada akhirnya, yang kau dapati di hadapanmu hanyalah seorang badut, seorang mata-mata, seorang Ganimede, seekor hewan liar berkulit keras, atau seorang yang membangun rumah dengan dua pintu, atau seorang manusia berkepala dua.

FAB.:
 Saudaraku, engkau memberiku kehidupan baru! Percayalah, dalam waktu singkat ini, dalam satu duduk ini saja, aku telah belajar lebih banyak daripada bertahun-tahun aku menuntut di sekolah! Pernah sebuah dewan para doktor memutuskan, "Siapa yang mengabdi di istana, akan mati di tumpukan jerami."

IAC.:
 Engkau telah mendengar apa itu seorang abdi istana; sekarang dengarkanlah tentang mereka yang mengabdi pada tingkat yang lebih rendah. Ambillah seorang pelayan: tampan, sopan, bersih, dan tentu saja terdidik dengan baik. Ia menunduk seribu kali, merapikan rumahmu, menimba air, memasak, menyikat pakaianmu, merawat bagal, mencuci piring, dan bila kau menyuruhnya ke alun-alun ia kembali sebelum ludah sempat mengering. Ia tak sanggup berdiri dengan tangan terkulai, tak kenal diam; ia membilas gelas dan mengosongkan periuk kotoranmu.

Tetapi bila engkau ingin bukti dan mengujinya dengan ujian sejati, akan tampaklah bahwa segala hal baru memang tampak indah, namun keledai pun tak dapat terus berlari. Tiga hari berlalu, lalu tersingkaplah tabiatnya yang sesungguhnya: ia penipu, pemalas sepanjang hayat, germo kelas wahid, penipu licik, rakus, penjudi. Bila ia membelanjakan uang, ia menggelapkan sebagian; bila ia memberi makan bagal, ia memberinya hingga butir anggur terakhir. Ia merusak pembantumu, menggeledah saku-sakumu, dan akhirnya, untuk menutup semuanya, dalam satu sapuan bersih ia bahkan menggasak pengki milikmu, lalu menendang kakinya kegirangan! Engkau lihatlah apa jadinya bila babi diikat di samping tanaman mentimun!

FAB.:
 Kata-kata itu sungguh berisi, penuh sari! Oh, betapa malang dan celakanya orang yang bertemu dengan pelayan licik semacam itu!

IAC.:
 Kini kita jumpai seorang pendekar palsu: dialah pemimpin gerombolan preman, kepala tukang gertak, ketua perkumpulan pengacau, raja segala tukang lagak, dan kepala biara para pemberani palsu. Ia menganggap kebanggaan terletak pada menakut-nakuti orang, menatap tajam untuk membuat orang gentar. Ia melangkah bagai serdadu tombak, dengan jubah tersampir di bahu, topi menutupi mata, kerah terangkat, kumis melintir, mata juling, tangan di pinggang. Ia membual, mengentak kaki, segenggam debu pun membuatnya murka, dan ia siap menantang berkelahi bahkan dengan seekor lalat.

Ia selalu ditemani gerombolan, dan tiada yang keluar dari mulutnya selain "menusuk dan menikam." Salah satu kawannya menikam, yang lain melubangi, membantai, merobek isi perut, mencoret nama orang dari daftar kehidupan, menebas habis napas mereka. Yang satu mematahkan tulang, yang lain memberi bogem, meremukkan pertahanan, memukul, menghancurkan, merobek, memenggal kepala, mencincang. Ada yang mengoyak perut atau hati, ada pula yang menghujani pukulan, meninggalkan lebam biru, membuat tubuh berlekuk, menusuk, melibas. Bila engkau mendengar ia membual, bumi pun hendak runtuh!

Seorang mencatat di buku, yang lain melenyapkan manusia dari dunia, menguras habis harta mereka, mengasinkan yang satu, menguburkan yang lain, membuat daging cincang dari yang lain lagi; mengobrak-abrik, menumbangkan beratus-ratus. Segalanya gaduh, ribut, retak tengkorak, patah kaki.

Namun pedangnya, betapapun ia pamerkan kekuatan dan keberanian, tetaplah perawan dari darah dan janda dari kehormatan! Begitu dilempar ke dalam wadah ujian, tampaklah tembaga di balik kilauan: keberaniannya di bibir hanyalah getar di hatinya; belati di matanya adalah langkah kakinya yang mundur; guntur dalam ucapannya adalah kotoran tipis ketakutan; tikaman dalam tidurnya adalah pukulan saat terjaga; keringanan baginya hanyalah alasan untuk menyembunyikan pedang yang, layaknya seorang perempuan terhormat, malu menampakkan dirinya telanjang.

Bila tampangnya getir, sebenarnya ia selalu mual oleh rasa takut; bila ia menggigit singa, yang keluar hanyalah tahi kelinci; bila ia menantang, ia dijahit rapat dan dibungkus; bila ia mengancam, yang ia terima adalah cambukan---satu demi satu. Bila ia berjudi dengan dadu kepahlawanan, ia selalu berjumpa dengan lawan yang seimbang. Dalam kata ia gagah, dalam kenyataan ia singkat. Ia meraih pedang lalu berlayar pergi; ia mencari keributan lalu bergegas melarikan diri.

Ia lebih mudah lari daripada berani, selalu bertemu dengan mereka yang menjatuhkannya lalu menuntut penjelasan; mereka yang merapikan jaketnya di pundak, mereka yang mengguncangnya, membalasnya setimpal, mengikis bulunya, mencambuknya, memukulnya hingga telinga berdenging, gigi gemeretak, tubuh porak-poranda, amandel tercabut, mulut berbusa darah. Atau mereka yang mengambil sebuah bola, menyisirnya, mendandaninya, meratakan tubuhnya, menggelitik dengan gada, menghadiahkan hook, melepaskan pukulan atas, pukulan patah rahang, tamparan balik, hantaman, kepalan, benturan kepala, tebasan memutar, gebukan, tendangan, hantaman bertubi-tubi yang cukup untuk menutup warung, atau menekannya di urat leher dan mencekiknya.

Cukup sudah: ia tertusuk ujung, terluka oleh bilah; ia berkata seperti lelaki, tetapi lari seperti rusa; ia menabur ludah dan menuai terung; dan ketika engkau mengira ia hendak menyeruduk bagai kambing jantan, menumbangkan seluruh pasukan, memutar sendok-sendoknya---tiba-tiba fajar merekah, dan hari pun indah. Ia tampak bagai kuda pulang ke kandang; ia menyelinap pergi, menimbang sauh, angkat kaki; ia lenyap, pamit, pergi memetik bunga violet. Ia kabur, menyusup, tenggelam dalam bayangan, melepaskan tembakan pamit; ia menendang ke belakang dan melesat, berlari sekencang-kencangnya; ia meraih pelana dan berseru, "Tolong aku, wahai tumit, kini kuandalkan kalian!" Mata kakinya menyentuh bahunya, kakinya kaki kelinci; ia mengayunkan pedang besar dengan kedua kakinya goyah; bagai pemalas besar ia tertatih lalu kabur; ia menerima bogem, lalu berakhir di penjara!

FAB.:
 Gambaran yang tepat sekali tentang ayam jantan tukang gertak itu! Oh, sungguh nyata adanya! Dan jangan lupa, demi kataku, bahwa takkan kau dapati lebih dari satu di antara mereka yang mampu memutus rantai hanya dengan lidahnya---dan sekalipun begitu, ia pun tak berguna sebagai anjing pemburu puyuh!

IAC.:
 Sekejap seorang penjilat memujimu dan mengangkatmu setinggi bulan; ia mengikutimu ke mana pun engkau melangkah, ia menawari kail dan umpan, ia meniupkan angin di layar hajarmu, dan tak pernah sekali pun ia membantahmu. Bila engkau bagai ogre atau seorang Aesop, ia akan bersumpah bahwa engkau Narcissus; bila wajahmu memiliki bekas luka, ia akan mengatakan itu tahi lalat yang menawan. Bila engkau pemalas, ia akan berkata engkau Hercules atau Samson; bila engkau dari keluarga hina, ia akan bersikeras itu garis keturunan seorang bangsawan. Singkatnya, ia mengelusmu, membelai dan menyanjungmu.

Namun waspadalah, jangan sampai engkau terlalu terpikat pada kata-kata manis para pengumbar omong kosong rakus itu, jangan sekali pun engkau menggantungkan harapan padanya! Jangan percaya sedetik pun, jangan anggap ia bernilai sepeser pun, jangan biarkan dirimu terperdaya. Ujilah mereka dalam wadah ujian ini, maka engkau akan dapat meraba dengan tanganmu sendiri dua wajah mereka: satu di depan dan satu di belakang, dengan kata di lidah dan maksud berbeda di hati.

Mereka semua suka menjilat muka dan berpura-pura: menipumu, menjeratmu, memperdayamu, mencurimu, menyesatkanmu, mengelabumu, mengibaskan selendang palsu padamu, memperdayakanmu, membutakanmu, bahkan membakarmu! Bila mereka membujukmu, ketahuilah badai sedang mengintai; mereka menggigit lewat tawa kecil mereka, mereka mengotormu dengan pujian, mereka membuat kepalamu membengkak sementara kantungmu kempis. Seluruh tujuan mereka hanyalah menguras dan mengisap, dan dengan anjing-anjing pemburu berupa pujian, dongeng, serta rayuan, mereka memburu isi dompetmu. Mereka bahkan akan menjual gelembung untuk lentera demi beberapa keping perak, yang segera mereka hamburkan di rumah pelacur atau kedai minum.

FAB.:
 Terkutuklah benih mereka! Manusia bertopeng, yang hidup hanya untuk menipu mata kita: di luar bagai Narcissus, di dalam iblis sendiri!

IAC.:
 Sekarang dengarkanlah tentang seorang perempuan yang menerima siapa pun yang datang dan pergi. Tampak bagimu seorang boneka mungil, jelita dan mewah, seekor merpati, cermin, permata, telur berlukis, Fata Morgana, bulan purnama yang bulat sempurna; indah bagaikan lukisan, seolah dapat kau teguk dalam segelas air, sepotong manis pantas bagi seorang bangsawan, gadis kecil pencuri hati. Ia mengikatmu dengan rambutnya, ia menundukkanmu dengan sorot matanya, ia menewaskanmu dengan suaranya.

Namun bila ia dilempar ke dalam wadah ujian, oh, api apakah yang akan kaulihat! Begitu banyak jerat dan perangkap, tipu daya dan perniagaan, kusut dan jaring! Ia menyiapkan seribu getah burung, ia menebar seribu jala, ia mencipta seribu muslihat, seribu siasat dan akal bulus, galian ranjau dan kontra-ranjau, simpul dan jebakan yang tiada habisnya. Ia menarik bagai kail, mengeluarkan darah bagai tukang cukur, menipu seperti gipsi, dan seribu kali kau kira ia anggur berkilau padahal ia daging busuk!

Bila ia berbicara, ia bersekongkol; bila ia berjalan, ia menenun; bila ia tertawa, ia memintal intrik; bila ia menyentuhmu, noda pun melekat. Dan meskipun ia tak mengirimkanmu ke rumah sakit, engkau tetap diperlakukan bak burung atau binatang, sebab belati terkutuknya akan meninggalkanmu entah tanpa bulu, entah tanpa rambut!

FAB.:
 Seandainya kau tuliskan semua ucapanmu ini di atas kertas, engkau bisa menjual kisah ini seharga enam koin setiap lembar, sebab ia memberi teladan luhur agar kaum pria waspada dan tak menyerahkan diri mereka pada perempuan jalang semacam itu, karena mereka adalah uang palsu, yang merusak daging dan saus sekaligus!

IAC.:
 Jika kebetulan kau melihat seseorang di jendela yang tampak bagai peri, dengan rambut pirang laksana anyaman keju caciocavallo, dahi bagai cermin, mata yang berbicara kepadamu, dan singkatnya, sepasang bibir bagai irisan ham, seorang gadis jelita, tinggi semampai laksana panji berkibar: seketika matamu menatapnya, engkau jatuh pingsan, menderita, binasa!

Orang tolol, tak berguna! Pastikan engkau mengujinya dalam wadah, sebab kau akan temukan bahwa keelokan berlebihannya hanyalah jamban yang dicat, dinding yang diputihkan, topeng dari Ferrara; sebab seorang pengantin sejati selalu menayangkan permadani. Rambut kepangnya palsu, bulu matanya dicelup jelaga dapur, wajahnya merah oleh lebih dari satu periuk minium, ditambah air kapur dan pernis; ia berdandan, berias, berhias lagi, mencat dirinya, mengoleskan segala macam ramuan!

Ia penuh dengan bedak dan krim, kain perca dan botol kecil, bubuk dan guci mungil, hingga seluruh perlengkapannya tampak seperti obat luka! Betapa banyak, betapa sangat banyak aib yang ditutupi oleh rok dan lapisannya! Dan lagi, bila ia menanggalkan sepatu bertumpuk sol dan ganjalannya, kau akan melihat raksasa berubah menjadi kurcaci!

FAB.:
 Demi kata-kataku, engkau makin jelas setiap saat! Aku hampir menjadi mumi; aku terpesona, aku terheran! Setiap perkataanmu, saudaraku, bernilai berjuta scudo! Engkau boleh menimpa semua ucapanmu itu dengan godam, dan takkan bergeser sehelai pun dari pepatah kuno yang berbunyi: "Seorang perempuan itu bagaikan buah kastanya: indah di luar, busuk di dalam."

IAC.:
 Sekarang mari kita beralih kepada sang pedagang: ia menukar uang, menukar barang, mengasuransikan kapal dagang dan mencari pelanggan, ia berjual beli, berkomplot, dan menipu, menyuap para pemungut pajak, membeli dalam jumlah besar lalu meraup laba. Ia membangun kapal dan mendirikan rumah; ia memenuhi selokan hingga meluap, menghiasi rumahnya bagaikan pengantin, bermegah layaknya seorang bangsawan, berdesir dengan sutra, membagi-bagikannya ke kiri dan kanan, memelihara pelayan lelaki dan perempuan bebas; dan semua orang memandangnya dengan iri.

Namun celakalah jiwanya bila ia dilempar ke dalam wadah! Sebab kekayaannya tergantung di udara, keberuntungannya berdiri di atas asap, sebuah nasib bagai kaca rapuh, terpapar ribuan angin dan terserah pada gelombang laut! Indah kelihatannya, namun matamu tertipu; dan tepat ketika kau melihat dia terhujani koin berkilauan bagaikan hiasan pelana kuda, ia kehilangan seluruh permainannya hanya karena satu kesalahan kecil.

FAB.:
 Aku dapat menghitung mereka ribuan jumlahnya. Mereka telah menghancurkan rumah-rumah seluruhnya, harta mereka lenyap di udara tipis---tampak kini, hilang sekejap---dan apa yang mereka lakukan di dunia ini, tanpa sedikit pun peduli, tanpa rasa bagi ahli waris ketiga atau keempat, hanyalah meninggalkan periuk sup penuh dan sebuah wasiat kosong!

IAC.:
 Di sini kita dapati sang pecinta: ia percaya bahwa jam-jam yang dihabiskannya, yang ia buang dalam pelayanan kepada Cinta, adalah jam-jam bahagia. Api dan rantai terasa manis baginya; panah yang menusuk hatinya demi kecantikan agung terasa berharga baginya. Ia mengaku bahwa ia mendambakan maut dan nyaris tak sanggup hidup; ia menyebut penderitaan sebagai sukacita, kegilaan dan siksaan sebagai hiburan, patah hati dan sakit asmara sebagai kenikmatan.

Ia tidak makan santapan yang berguna baginya, tidak tidur nyenyak yang berarti apa pun: tidur setengah matang dan makanan tanpa rasa. Meski tak menerima upah, ia berjaga di depan pintu sang kekasih; meski bukan arsitek, ia membuat sketsa dan membangun istana di udara; meski bukan algojo, ia menyiksa hidupnya sendiri tanpa akhir.

Namun meskipun demikian, ia tetap bergembira dan tubuhnya berisi, dan semakin dalam anak panah itu menusuk dan menggoresnya, semakin ia bertambah lemak; semakin api itu memanggangnya, semakin ia berpesta dan bersenda gurau, dan ia menganggap sebagai nasib paling bahagia bila ia terikat erat oleh tali!

Namun bila kau masukkan dia ke dalam wadah ujian, engkau akan sadar ada dasar kegilaan, sejenis penyakit kurus, keadaan yang senantiasa gamang antara takut dan harap, senantiasa terkatung di antara ragu dan curiga, keadaan tiada akhir bak kucing Tuan Basile, yang sebentar menangis dan sebentar tertawa! Ia berjalan dengan susah payah seolah tersesat; ia berbicara dengan bergumam dan gagap; ia mengembalakan otaknya di padang rumput pada setiap jam; dan setiap saat ia memiliki hati bagai lap kain, wajah bagai kain baru dicuci, dada yang membara, dan jiwa yang membeku.

Dan meski akhirnya ia berhasil mencairkan es dan menghancurkan batu dari hati yang dicintainya, dia yang terasa paling dekat justru ketika ia paling jauh, ia baru saja mencicipi manisnya, langsung menyesal!

FAB.:
 Oh, betapa malanglah dia yang terjerat sakit kepala ini! Celakalah dia yang terperangkap dalam jeratnya! Sebab Si Buta itu (Cinta) mengirimkan kesenangan sejumput, dan siksaan segenggam penuh.

IAC.:
 Dan penyair malang itu menghamburkan bait-bait oktav dan soneta panjang, dan menghabiskan kertas serta tinta; ia mengeringkan otaknya dan menghabiskan siku dan waktunya, hanya karena orang-orang di dunia ini menganggapnya seorang nabi. Ia berjalan seperti orang kerasukan, tegang dan linglung, memikirkan kiasan yang ia uleni dalam benaknya; ia bercakap sendiri di jalan, menemukan ribuan kiasan baru: "murid-murid menjulang, bunga dan daun yang terendam cairan, gelombang berkabung yang melengking, batu mulia berpijar penuh harapan cabul," "oh, betapa congkak yang berlebihan!"

Namun bila ia diuji dalam wadah, segalanya lenyap dalam asap: "Oh, betapa indah sebuah komposisi!"---dan di situlah ia tinggal. "Betapa menawan madrigal!"---dan semua itu hanya nafas terbuang. Dan ketika ia diuji lebih dalam, semakin banyak bait ia lahirkan, semakin kecil nilainya. Ia memuji mereka yang menghina dirinya, meninggikan mereka yang menyusahkannya, menyimpan kenangan abadi bagi mereka yang telah melupakannya, dan memberikan jerih payahnya kepada mereka yang tak pernah memberinya remah sekalipun. Begitulah ia menghabiskan hidupnya: bernyanyi untuk kemuliaan dan menangis karena sengsara.

FAB.:
 Benar, masa San Martino sudah lewat, ketika para penyair diagungkan! Di zaman kelam ini, para Maecenas hancur berkeping-keping; dan di Napoli, seperti di tempat lain---dan itu membuatku meraung pedih---daun salam datang setelah sayuran di pasar!

IAC.:
 Ah, sang astrolog juga mendapat begitu banyak pertanyaan, dari segala arah.
 Seorang ingin tahu apakah ia akan mendapat bayi laki-laki, yang lain apakah ini waktu yang tepat, yang lain lagi apakah ia akan memenangkan perkara di pengadilan, dan seorang lagi apakah nasib sedang melawan dirinya.
 Ada yang ingin tahu apakah kekasihnya sedang memikirkannya; yang lain bertanya apakah akan ada guntur, atau gerhana.
 Dan si astrolog pun mengisahkan dongeng-dongengnya, begitu banyak hingga sebatang tongkat pun tak cukup untuk menghalaunya, menebak setengah benar dari satu hal, namun salah pada seratus lainnya.

Namun di dalam wadah ini engkau dapat melihat apakah ia bubuk ataukah tepung: ia menggambar kuadran, tetapi ia sendiri panjang dan lebar; ia membuat bagan rumah, padahal ia tak punya rumah, apalagi api unggun. Ia menunjukkan tabel-tabelnya dan membuka kisah-kisah buruk; ia memanjat bintang-bintang, lalu mendapati dirinya dengan pantat di tanah; akhirnya, dalam pakaian compang-camping, dengan pita dan kain yang robek, celananya pun jatuh, dan saat itulah terlihat astrologi yang paling sejati: sebab ia memperlihatkan kepadamu astrolab dan bola-bolanya!

FAB.:
 Kau membuatku tertawa, saudaraku, meski aku sedang tidak ingin tertawa! Tapi mereka yang percaya pada orang-orang itu membuatku tertawa lebih keras lagi, hingga pinggangku terasa sakit. Sebab mereka berani meramalkan nasib orang lain, padahal tak sanggup meramalkan apa yang sebentar lagi akan menimpa kepala mereka sendiri: sementara mereka menatap bintang-bintang, mereka justru jatuh ke dalam selokan!

IAC.:
 Ada pula orang lain yang menganggap dirinya orang besar. Ia merapikan kerutan pada kaus kakinya, menimbang kata-katanya, meludah dengan penuh gaya, dan merasa dirinya yang terbaik di dunia. Bila menyangkut puisi, ia melompat dengan sekali hentakan dan melewati Petrarca; bila filsafat, ia mengalahkan Aristoteles dengan lima belas poin dan sebuah pelanggaran; dalam aritmetika, Cantone tak ada apa-apanya; dalam seni perang, Cornazzano gosong; dalam arsitektur, Euclid boleh pulang! Bila musik, ia menemukan cela pada Venosa; bila hukum, ia menjatuhkan Farinaccio ke jurang kehancuran; bila bahasa, ia tak peduli pada Boccaccio! Ia merangkai putusan dan menusuk pendapat, meski nilainya tak lebih dari pecundang dalam permainan ketapel. Namun bila diuji, akhirnya terbukti bahwa ia hanyalah tolol di atas tumpukan buku.

FAB.:
 Oh, alangkah kejamnya sikap terlalu berlagak! Seorang murid bijak pernah berkata, "Siapa yang mengira dirinya paling tahu, dialah yang paling bodoh."

IAC.:
 Lalu bagaimana dengan alkimia dan sang alkemis? Ia sudah menganggap dirinya puas dan bahagia, menjanjikan hal-hal yang lebih dahsyat dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Ia bercerita tentang penemuan-penemuan hebat yang katanya ia dapatkan saat menyuling dengan alembiknya, yang ia harap akan membuatnya kaya.
 Namun begitu ia dimasukkan ke dalam wadah ujian, ia hancur luluh, dan tampaklah jelas apakah seni itu murni atau tercemar, dan betapa butanya ia: dia yang, berminyak dan penuh asap, menaruh tiang harapannya di atas kendi-kendi kaca, dan semua rencana serta pikirannya di antara kepulan asap. Dia yang, ketika mengipasi api dengan bellow-nya, di saat yang sama memberi makan harapan orang-orang dengan kata-katanya, untuk sesuatu yang takkan pernah datang. Ia berburu rahasia dan disebut gila; dalam mencari zat utama, ia kehilangan bentuk dirinya sendiri; ia menyangka bisa melipatgandakan emas, namun justru mengurangi yang ada; ia membayangkan mampu menyembuhkan logam-logam yang sakit, tapi malah berakhir di rumah sakit sendiri. Dan alih-alih membuat raksa membeku, agar bisa dipakai dan bernilai, ia justru mengentalkan hidupnya sendiri; dan ketika ia berpikir telah mengubah setiap logam menjadi emas paling murni, ia justru berubah dari seorang manusia menjadi seekor kuda.

FAB.:
 Tanpa ragu, sungguh gila menekuni usaha ini! Aku telah melihat seratus rumah hancur, karam ke dasar! Tak pernah ada hasilnya, dan dengan harapan besar yang putus asa, ia selamanya berkeliaran, berasap dan kelaparan.

IAC.:
 Tapi katakanlah padaku: apa lagi yang kau harapkan dengan tiga koin?

FAB.:
 Ini aku, dengan mulut ternganga, siap mendengarkanmu.

IAC.:
 Dan aku akan terus bicara sampai ke roset itu.

FAB.:
 Teruskanlah kalau begitu, sekarang kau sedang bersemangat.

IAC.:
 Akan kulakukan, kalau saja jiwaku tidak gelisah, sebab waktu makan malam telah lewat! Jadi mari kita angkat kaki dari sini, dan datanglah, bila kau mau, ke tokoku, agar kita bisa menggerakkan gigi kita, sebab "tak pernah kekurangan kerak di rumah si miskin."

Kata-kata dalam ekloga ini diiringi dengan gerakan-gerakan anggun dan liukan bibir yang begitu indah, sehingga kau bisa saja mencabut gigi semua orang yang mendengarnya. Dan karena jangkrik telah menyerukan kepada manusia untuk beristirahat, sang pangeran pun membubarkan para wanita dengan syarat agar mereka datang lagi keesokan paginya untuk melanjutkan usaha mereka, dan ia sendiri bersama budaknya masuk ke dalam kamarnya.

Tamat Hari Pertama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun