Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi editan pribadi (sumber gambar asli: Wikimedia Commons / Warwick Goble) 

 

Kedua anak itu pun tumbuh bersama dengan cinta kasih yang begitu besar hingga mereka tak pernah mau dipisahkan. Ikatan kasih sayang mereka begitu kuat, sampai-sampai sang ratu merasa cemburu, sebab putranya sendiri tampak menunjukkan kasih yang lebih besar kepada anak seorang dayang ketimbang kepada dirinya. Dan ia tak kunjung menemukan cara untuk menghapuskan duri kecil yang menancap di matanya itu.

 

Pada suatu hari, sang pangeran hendak pergi berburu bersama sahabatnya. Ia menyalakan api di perapian kamarnya dan mulai melelehkan timah untuk membuat peluru. Karena ia kekurangan sesuatu, ia pun keluar untuk mencarinya sendiri.

 

Sementara itu, sang ratu datang melihat apa yang tengah dilakukan putranya. Dan ketika ia mendapati Canneloro, anak sang dayang seorang diri di sana, terlintaslah niat dalam hatinya untuk melenyapkannya dari dunia ini. Ia pun melemparkan cetakan peluru yang membara ke wajahnya.

 

Canneloro sempat menunduk, namun besi panas itu tetap mengenai alisnya, meninggalkan luka parah dan menganga. Sang ratu sudah bersiap mengirimkan hantaman kedua, ketika Fonzo, putranya, masuk ke dalam ruangan. Berpura-pura bahwa ia datang untuk melihat keadaan putranya, sang ratu memberi Fonzo beberapa belaian hambar lalu pergi meninggalkan mereka.

 

Canneloro segera menarik topinya hingga menutupi keningnya, agar Fonzo tak melihat apa yang terjadi. Ia berusaha berdiri tegak, meski hatinya terasa seperti sedang digoreng oleh nyala api. Dan setelah ia selesai menggulung peluru-peluru timah itu bagai seekor kecoak yang tak kenal lelah, ia memohon izin kepada pangeran untuk meninggalkan negeri itu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun