"Dalam kabut yang menelan tiga bukit, seorang pendaki terombang-ambing antara bisikan, jeritan, dan tawa—hingga kenyataan pahit terungkap."
Kabut jatuh seperti tirai yang terlalu berat untuk ditahan pagi. Pendaki membuka mata dengan rasa asing yang menempel di tubuhnya. Bau tanah basah menyusup ke hidung, bercampur dengan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ia tidak ingat bagaimana sampai di sana. Hanya tergeletak, dengan napas pendek-pendek, di sebuah lembah yang tidak dikenalnya.
Ia bangkit perlahan. Kaki masih gemetar. Sekitar hanya putih kabut, menutup pandangan sejauh apa pun. Lembah itu sunyi. Terlalu sunyi, sampai suara detak jantungnya terdengar seperti ketukan palu di ruang kosong.
Lalu samar muncul tiga bayangan besar di kejauhan. Bukit. Satu di depan, satu di sebelah kanan, satu di arah belakang. Seperti tiga penjaga yang berbaris di hadapan pendaki. Bentuknya tak jelas, hanya siluet gelap yang berdiri di balik kabut.
Pendaki menatap lama. Ada perasaan aneh, seperti bukit-bukit itu sedang menatap balik.
Angin pelan membawa suara pertama. Bisikan halus dari arah bukit depan. Bisikan itu berlapis-lapis, seperti orang ramai berbicara dalam satu telinga. "Pulanglah... jangan lupa sandalmu putus... kucingmu mati di belakang rumah..." Suara-suara itu adalah masa lalu, kecil dan remeh, tapi terasa menusuk.
Pendaki menutup telinga, tapi bisikan itu menembus kulit, langsung ke kepala.
Belum reda, suara kedua datang dari arah bukit sebelah kanan. Kali ini bukan bisikan, melainkan jeritan panjang. "Engkau akan menjadi arca... kau presiden tapi tanpa wajah... kau patung di jalan yang dilupakan..." Masa depan yang mustahil, menjerit dengan nada sumbang.
Pendaki mundur. Dadanya sesak.
Dan dari bukit belakang, terdengar tawa. Tawa panjang, pecah, berulang, seperti orang asing menonton sandiwara yang tak pernah dimengerti. Tawa itu tak mengolok, tak juga ramah. Ia hanya ada, memenuhi lembah dengan gema yang aneh.
Pendaki menunduk. Lembah ini bukan tempat biasa.
Ia mencoba menimbang. Haruskah ia memilih satu bukit untuk didaki? Atau tetap diam di dasar lembah, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang?
Kabut bergerak pelan, seperti menutup jalan yang sempat terbuka. Pendaki merasa terperangkap. Setiap ia melangkah, tanah lembap mengisap sepatu boots-nya. Bau lumut makin kuat, bercampur dengan rasa logam di lidah.
Di atas, suara burung sesekali menembus kabut. Tapi suaranya aneh, seperti burung yang tidak punya nama.
Pendaki berhenti.
Ada yang berbisik, kali ini bukan dari bukit mana pun. Bisikan itu dekat, nyaris menempel di belakang telinganya. Suara lembut, tapi jelas.
"Pendaki..."
Ia terdiam.
Siapa yang memanggil? Kabut makin menebal, dan lembah terasa menyempit.
Kabut tidak hilang. Ia justru makin menebal, seperti kapas basah yang dilempar ke wajah. Pendaki menggigil, meski tubuhnya sudah terbiasa dengan dingin gunung. Rasa dingin kali ini lain, dingin yang menyelinap lewat pori-pori, menyalakan ketakutan di balik kulit.
Ia menatap kembali tiga bukit. Atau... mungkin hanya satu? Bentuknya berubah-ubah. Sesaat ada tiga, sesaat hanya dua, lalu sekejap hilang jadi satu yang besar dan menutup seluruh lembah. Pandangan bermain-main, membuat mata letih.
Pendaki memutuskan mendekat ke bukit di depan, yang dari tadi berbisik masa lalu. Setiap langkah terasa berat, tanah lembap meresap sampai ke kaus kaki. Bau akar basah, lumut, dan sedikit anyir seperti darah segar muncul dari celah-celah tanah. Ia mendaki perlahan, menunggu tubuh menyesuaikan.
Namun baru setengah jalan, bukit itu bergetar. Tanah bergeser. Batu-batu longsor kecil menuruni jalur. Siluet bukit berubah wujud—ia tak lagi melihat bukit yang sama. Tiba-tiba ia sadar, kaki sudah menapak jalur bukit sebelah kanan, yang dari tadi berteriak masa depan.
Pendaki tertegun. Bagaimana mungkin? Ia baru saja mendaki satu bukit, tapi tiba-tiba dipindahkan ke bukit lain tanpa sadar. Nafasnya memburu.
Ia berhenti, mencoba menoleh ke belakang. Lembah masih ada, jauh di bawah, diselimuti kabut. Tapi bukit yang tadi ia daki seakan menghilang.
Jeritan kembali datang. Lebih dekat, lebih tajam. "Kau akan jadi nama di papan kayu... kau akan jadi batu nisan... kau akan jadi yang dilupakan." Kata-kata itu menusuk, seperti pisau kecil di balik telinga.
Pendaki memejamkan mata. Ia ingin berbalik turun.
Tapi langkahnya justru membawanya ke bukit belakang. Entah bagaimana caranya. Kabut berputar, jalur berpindah, dan ia mendapati dirinya berdiri di bawah tebing bukit yang dari tadi tertawa.
Tawa itu pecah. Panjang. Menggema di rongga kepala.
Pendaki menutup telinga, tapi tidak ada gunanya. Tawa itu seperti berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Dari paru-paru, dari perut, dari dagingnya yang basah oleh keringat dingin. Ia gemetar.
Kabut bergerak lagi. Pendaki sadar: ia bukan sedang memilih bukit. Justru bukit-bukit itu yang sedang memilihnya.
Ia mencoba berlari menuruni jalur. Nafas memburu, kaki menghantam batu. Kabut menebal, tanah makin licin. Ia jatuh, bangkit lagi, terus berlari tanpa arah.
Dan di depan, seseorang muncul.
Bukan orang lain. Dirinya sendiri.
Sosok itu turun dari arah berbeda, wajahnya pucat, tubuhnya sama persis. Mereka bertemu di tengah jalur yang seharusnya tak pernah bersinggungan.
Pendaki terdiam.
Sosok di hadapannya membuka mulut. Tapi tidak ada kata yang keluar. Hanya bisikan bukit pertama, jeritan bukit kedua, dan tawa bukit ketiga—semua sekaligus, keluar dari mulutnya sendiri.
Pendaki mundur. Sosok itu ikut mundur. Ia maju, sosok itu ikut maju. Seperti cermin, tapi lebih jahat.
Lalu kabut menutup segalanya.
Pendaki tak tahu lagi ia berada di bukit mana. Kiri, tengah, kanan—semuanya bercampur jadi satu. Lembah menghilang, jalur tak jelas, langit menunduk rendah.
Ia hanya tahu satu hal. Bukit-bukit itu mempermainkannya.
Kabut menelan semua. Tak ada lagi depan, kanan, atau belakang. Hanya putih padat, basah, menempel di kulit seperti keringat dingin yang tak mau hilang. Pendaki mencoba berteriak, tapi suara yang keluar bukan miliknya. Itu tawa. Tawa panjang, serak, menyakitkan, seperti suara orang asing yang sudah lama tinggal di tenggorokannya.
Ia jatuh berlutut. Tanah lembap menempel di lutut celana. Uap tanah naik, bercampur dengan aroma besi yang pahit. Di dalam kepalanya, suara-suara bukit terus berputar. Bisikan kecil tentang masa lalu yang sepele, jeritan masa depan yang mustahil, dan tawa tanpa ujung. Semuanya menekan, menyesakkan.
Pendaki menutup mata. Ia berharap semuanya berhenti. Tapi yang muncul justru gambaran aneh, sandal jepit putus, kucing mati di belakang rumah, wajahnya sendiri di batu nisan. Semua melompat-lompat, berbaur tanpa urutan.
Lalu, sejenak, hening.
Ia membuka mata. Kabut terbelah tipis. Ia melihat tubuhnya sendiri. Terbaring. Di tanah berbatu. Kepala miring, darah tipis mengalir dari pelipis. Tubuh itu diam, hanya dada naik-turun pelan.
Pendaki terperangah. Apakah ia sedang melihat dirinya dari luar? Atau itu sekadar bayangan?
Ia mencoba mendekat, tapi tanah bergeser. Bukit berubah wujud lagi. Jalur yang tadi ia pijak runtuh jadi lembah. Lembah naik jadi bukit. Ia kehilangan pijakan.
Sekejap, tubuhnya melayang. Ia jatuh. Tubuh terbanting. Batu keras menghantam kepala. Sakitnya terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Gelap.
Saat ia membuka mata lagi, dunia lain menunggu. Bukan kabut, bukan tiga bukit. Hanya gelap yang dingin, dengan bunyi pelan, tetesan air. Jauh, bergema, seperti dari dalam gua.
Pendaki mencoba bangun. Tubuhnya berat. Tangannya terikat pada tanah yang basah. Di kejauhan, samar-samar terdengar langkah orang. Atau mungkin hanya gema kakinya sendiri.
Lalu suara itu kembali. Suara yang sejak awal memanggil. Suara yang menyebutnya "pendaki." Tapi kali ini lebih dekat, lebih lembut, hampir seperti panggilan agar ia bangun.
Gelap perlahan pecah. Kabut hilang. Ia membuka mata—dan yang terlihat hanyalah langit gunung yang suram, awan rendah, dan wajah batu yang dingin di sebelahnya.
Ia masih terbaring di lereng.
Kepalanya sakit, nyeri menusuk. Darah kering di pelipis. Nafas terengah. Ia sadar. Tiga bukit hanyalah halusinasi. Hasil dari benturan, dari tubuh yang kehilangan kesadaran.
Semua bisikan, jeritan, dan tawa itu lahir dari kepalanya sendiri.
Pendaki menatap ke langit. Ada burung melintas. Sayapnya meninggalkan suara tipis, nyata. Untuk pertama kali, ia tahu ia kembali pada dunia yang tidak bergema aneh.
Namun rasa itu tetap menempel. Seolah tiga bukit masih ada, menunggu, mengintai di balik kabut.
Ia memejamkan mata sebentar. Dan dalam gelap matanya sendiri, bisikan samar itu kembali. Lirih.
"Pendaki..."
Ia tersentak, membuka mata lebar-lebar.
Hanya langit. Hanya batu. Hanya dingin. Tapi ia tahu, sebagian dari dirinya masih tertinggal—antara tiga bukit.
Baca cerpen lain:
- Banaspati
- Kabut Menggugat Sumpah
- Matahari Pertama
- Kolektor Kenangan
- Di Bawah Atap Lobo
- Rondo Kuning
- Merariq
- Pulang Sebelum Kenyang
- Bayangan di Dasar Sumur
- Carok
- Alter Ego
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI