Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Antara Tiga Bukit

18 September 2025   10:45 Diperbarui: 18 September 2025   13:33 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen: Antara Tiga Bukit (Sumber: Unsplash)

Pendaki memutuskan mendekat ke bukit di depan, yang dari tadi berbisik masa lalu. Setiap langkah terasa berat, tanah lembap meresap sampai ke kaus kaki. Bau akar basah, lumut, dan sedikit anyir seperti darah segar muncul dari celah-celah tanah. Ia mendaki perlahan, menunggu tubuh menyesuaikan.

Namun baru setengah jalan, bukit itu bergetar. Tanah bergeser. Batu-batu longsor kecil menuruni jalur. Siluet bukit berubah wujud—ia tak lagi melihat bukit yang sama. Tiba-tiba ia sadar, kaki sudah menapak jalur bukit sebelah kanan, yang dari tadi berteriak masa depan.

Pendaki tertegun. Bagaimana mungkin? Ia baru saja mendaki satu bukit, tapi tiba-tiba dipindahkan ke bukit lain tanpa sadar. Nafasnya memburu.

Ia berhenti, mencoba menoleh ke belakang. Lembah masih ada, jauh di bawah, diselimuti kabut. Tapi bukit yang tadi ia daki seakan menghilang.

Jeritan kembali datang. Lebih dekat, lebih tajam. "Kau akan jadi nama di papan kayu... kau akan jadi batu nisan... kau akan jadi yang dilupakan." Kata-kata itu menusuk, seperti pisau kecil di balik telinga.

Pendaki memejamkan mata. Ia ingin berbalik turun.

Tapi langkahnya justru membawanya ke bukit belakang. Entah bagaimana caranya. Kabut berputar, jalur berpindah, dan ia mendapati dirinya berdiri di bawah tebing bukit yang dari tadi tertawa.

Tawa itu pecah. Panjang. Menggema di rongga kepala.

Pendaki menutup telinga, tapi tidak ada gunanya. Tawa itu seperti berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Dari paru-paru, dari perut, dari dagingnya yang basah oleh keringat dingin. Ia gemetar.

Kabut bergerak lagi. Pendaki sadar: ia bukan sedang memilih bukit. Justru bukit-bukit itu yang sedang memilihnya.

Ia mencoba berlari menuruni jalur. Nafas memburu, kaki menghantam batu. Kabut menebal, tanah makin licin. Ia jatuh, bangkit lagi, terus berlari tanpa arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun