Pendaki memutuskan mendekat ke bukit di depan, yang dari tadi berbisik masa lalu. Setiap langkah terasa berat, tanah lembap meresap sampai ke kaus kaki. Bau akar basah, lumut, dan sedikit anyir seperti darah segar muncul dari celah-celah tanah. Ia mendaki perlahan, menunggu tubuh menyesuaikan.
Namun baru setengah jalan, bukit itu bergetar. Tanah bergeser. Batu-batu longsor kecil menuruni jalur. Siluet bukit berubah wujud—ia tak lagi melihat bukit yang sama. Tiba-tiba ia sadar, kaki sudah menapak jalur bukit sebelah kanan, yang dari tadi berteriak masa depan.
Pendaki tertegun. Bagaimana mungkin? Ia baru saja mendaki satu bukit, tapi tiba-tiba dipindahkan ke bukit lain tanpa sadar. Nafasnya memburu.
Ia berhenti, mencoba menoleh ke belakang. Lembah masih ada, jauh di bawah, diselimuti kabut. Tapi bukit yang tadi ia daki seakan menghilang.
Jeritan kembali datang. Lebih dekat, lebih tajam. "Kau akan jadi nama di papan kayu... kau akan jadi batu nisan... kau akan jadi yang dilupakan." Kata-kata itu menusuk, seperti pisau kecil di balik telinga.
Pendaki memejamkan mata. Ia ingin berbalik turun.
Tapi langkahnya justru membawanya ke bukit belakang. Entah bagaimana caranya. Kabut berputar, jalur berpindah, dan ia mendapati dirinya berdiri di bawah tebing bukit yang dari tadi tertawa.
Tawa itu pecah. Panjang. Menggema di rongga kepala.
Pendaki menutup telinga, tapi tidak ada gunanya. Tawa itu seperti berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Dari paru-paru, dari perut, dari dagingnya yang basah oleh keringat dingin. Ia gemetar.
Kabut bergerak lagi. Pendaki sadar: ia bukan sedang memilih bukit. Justru bukit-bukit itu yang sedang memilihnya.
Ia mencoba berlari menuruni jalur. Nafas memburu, kaki menghantam batu. Kabut menebal, tanah makin licin. Ia jatuh, bangkit lagi, terus berlari tanpa arah.