Pendaki menunduk. Lembah ini bukan tempat biasa.
Ia mencoba menimbang. Haruskah ia memilih satu bukit untuk didaki? Atau tetap diam di dasar lembah, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang?
Kabut bergerak pelan, seperti menutup jalan yang sempat terbuka. Pendaki merasa terperangkap. Setiap ia melangkah, tanah lembap mengisap sepatu boots-nya. Bau lumut makin kuat, bercampur dengan rasa logam di lidah.
Di atas, suara burung sesekali menembus kabut. Tapi suaranya aneh, seperti burung yang tidak punya nama.
Pendaki berhenti.
Ada yang berbisik, kali ini bukan dari bukit mana pun. Bisikan itu dekat, nyaris menempel di belakang telinganya. Suara lembut, tapi jelas.
"Pendaki..."
Ia terdiam.
Siapa yang memanggil? Kabut makin menebal, dan lembah terasa menyempit.
Kabut tidak hilang. Ia justru makin menebal, seperti kapas basah yang dilempar ke wajah. Pendaki menggigil, meski tubuhnya sudah terbiasa dengan dingin gunung. Rasa dingin kali ini lain, dingin yang menyelinap lewat pori-pori, menyalakan ketakutan di balik kulit.
Ia menatap kembali tiga bukit. Atau... mungkin hanya satu? Bentuknya berubah-ubah. Sesaat ada tiga, sesaat hanya dua, lalu sekejap hilang jadi satu yang besar dan menutup seluruh lembah. Pandangan bermain-main, membuat mata letih.