Ia masih terbaring di lereng.
Kepalanya sakit, nyeri menusuk. Darah kering di pelipis. Nafas terengah. Ia sadar. Tiga bukit hanyalah halusinasi. Hasil dari benturan, dari tubuh yang kehilangan kesadaran.
Semua bisikan, jeritan, dan tawa itu lahir dari kepalanya sendiri.
Pendaki menatap ke langit. Ada burung melintas. Sayapnya meninggalkan suara tipis, nyata. Untuk pertama kali, ia tahu ia kembali pada dunia yang tidak bergema aneh.
Namun rasa itu tetap menempel. Seolah tiga bukit masih ada, menunggu, mengintai di balik kabut.
Ia memejamkan mata sebentar. Dan dalam gelap matanya sendiri, bisikan samar itu kembali. Lirih.
"Pendaki..."
Ia tersentak, membuka mata lebar-lebar.
Hanya langit. Hanya batu. Hanya dingin. Tapi ia tahu, sebagian dari dirinya masih tertinggal—antara tiga bukit.
Baca cerpen lain:
- Banaspati
- Kabut Menggugat Sumpah
- Matahari Pertama
- Kolektor Kenangan
- Di Bawah Atap Lobo
- Rondo Kuning
- Merariq
- Pulang Sebelum Kenyang
- Bayangan di Dasar Sumur
- Carok
- Alter Ego
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI