Pendaki menutup mata. Ia berharap semuanya berhenti. Tapi yang muncul justru gambaran aneh, sandal jepit putus, kucing mati di belakang rumah, wajahnya sendiri di batu nisan. Semua melompat-lompat, berbaur tanpa urutan.
Lalu, sejenak, hening.
Ia membuka mata. Kabut terbelah tipis. Ia melihat tubuhnya sendiri. Terbaring. Di tanah berbatu. Kepala miring, darah tipis mengalir dari pelipis. Tubuh itu diam, hanya dada naik-turun pelan.
Pendaki terperangah. Apakah ia sedang melihat dirinya dari luar? Atau itu sekadar bayangan?
Ia mencoba mendekat, tapi tanah bergeser. Bukit berubah wujud lagi. Jalur yang tadi ia pijak runtuh jadi lembah. Lembah naik jadi bukit. Ia kehilangan pijakan.
Sekejap, tubuhnya melayang. Ia jatuh. Tubuh terbanting. Batu keras menghantam kepala. Sakitnya terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Gelap.
Saat ia membuka mata lagi, dunia lain menunggu. Bukan kabut, bukan tiga bukit. Hanya gelap yang dingin, dengan bunyi pelan, tetesan air. Jauh, bergema, seperti dari dalam gua.
Pendaki mencoba bangun. Tubuhnya berat. Tangannya terikat pada tanah yang basah. Di kejauhan, samar-samar terdengar langkah orang. Atau mungkin hanya gema kakinya sendiri.
Lalu suara itu kembali. Suara yang sejak awal memanggil. Suara yang menyebutnya "pendaki." Tapi kali ini lebih dekat, lebih lembut, hampir seperti panggilan agar ia bangun.
Gelap perlahan pecah. Kabut hilang. Ia membuka mata—dan yang terlihat hanyalah langit gunung yang suram, awan rendah, dan wajah batu yang dingin di sebelahnya.